KADANG kata-kata—sebagai lambang-lambang bunyi—tidak cukup mampu menggambarkan (mengekspresikan) secara utuh pengalaman batin manusia tentang rasa sedih, senang, marah, cinta dan takjub.
Arnold Mampioper dalam bukunya “Amungme, Manusia Utama dari Nemangkawi Pegunungan Cartenz” menuliskan, orang Amungme akan mengeluarkan bunyi-bunyian yang khas (siul), ketika berdiri dari atas sebuah bukit dan menatap gunung Nemangkawi yang dilatarbelakangi langit bersih dan sedikit awan Cirrus, dan dilerengnya terlihat asap mengepul dari rumah-rumah penduduk. Bunyi-bunyian yang dilakukan dengan cara melipat lidah ini sebenarnya merupakan ekspresi dari rasa gembira menyaksikan alam raya yang sangat megah ini. Rasa gembira yang tergugah karena melihat keindahan alam biasanya juga diekspresikan orang Amungme dengan menyanyikan sebuah lagu Tem.
Terutama untuk mengingat heroisme laki-laki ketika melakukan perburuan dan membawa pulang hasil buruan untuk dimasak oleh ibunya dan disantap seluruh keluarga besar. Salah satu syair yang biasa dinyanyikan untuk menggambarkan situasi ini adalah Kele Wawunia kele, ae, ao, baa. Niare Wawnia niare, ae, ao, haa.
Selain itu, menurut Arnold, ada lagu purba Suku Amungme yang mungkin sudah tidak dipahami lagi oleh orang Amungme generasi sekarang. Misalnya lagu purba yang syairnya Angaye-angaye, No emki untaye. Angaye bao, aa, bao. Angaye-angaye wagana nikaro. Morae banago, bao, aa, bao. Antok anu ae anago, bao, bao. Jilki untae bawano, bao, bao.
Menurut Kepala Kampung Amkayagama, Eko Kelanangame, syair lagu ini berisi pujian pada gunung, lembah, hutan dan rimba tempat Suku Amungme hidup dan mengembara. Artinya dalam Bahasa Indonesia kurang lebih, “Kukasih gunung-gunung, yang agung mulia. Dan awan yang melayang, keliling puncaknya. Kukasih hutan rimba, pelindung tanahku, kusuka mengembara di bawah naungmu.”
Aktifitas Suku Amungme untuk mengekspresikan perasaannya tentang manusia dan alam, tempat hidupnya sebenarnya merupakan bentuk-bentuk sastra lisan. Dalam bahasa yang sangat sederhana, sastra dapat dipahami sebagai cara manusia mengekspresikan pengalaman batinnya tentang rasa senang, rasa sedih, rasa dicintai, atau merasa marah karena sebuah penolakan atau pengingkaran. Sastra lisan biasanya mengandung gagasan, pikiran, ajaran dan harapan masyarakat yang biasanya didengarkan dan dihayati bersama-sama. Suku Amungme yang sejak dahulu belum mengenal tulisan menurunkan ajaran-ajaran dan petuah-petuah adat ini secara lisan (dari mulut ke mulut) ke generasi berikutnya.
Menurut sejarahnya, sastra lisan berkembang lebih dahulu daripada sastra tulis. Dalam keseharian, aktivitas ini terjadi ketika seorang ibu memberi nasehat kepada anaknya, atau para tetua adat memberi petuah kepada anggota-anggota masyarakatnya.
Dalam hal ini, bahasa menjadi media untuk menyatakan gagasan atau menyampaikan suatu nilai. Menurut seorang filsuf Yunani yang sangat terkenal, Plato, bahasa dipakai untuk membuat tiruan (menirukan) gambaran dari kenyataan yang sebenarnya. Aktivitas satra (lisan) juga merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus model dari kenyataan ideal (yang diharapkan).
Aktivitas sastra lisan dalam Suku Amungme juga dapat diamati pada kebiasaan masyarakat Amungme menggunakan kiasan untuk menyatakan gagasannya.
Menurut Arnold Mampioper, Mozes Kilangin Tenbak yang mendampingi Pater Michael Kamere untuk menyelesaikan konflik antar warga Amungme di lembah Noemba-Wea-Tsinga pada 1953 pernah menggunakan kiasan, ”Kalian sudah menangkap kuskus di Tsinga dan Wea lantas membunuhnya, sekarang mau menangkap kuskus di Noemba lagi?”
Kuskus, adalah hewan buruan yang sangat disukai kelompok-kelompok masyarakat suku di pegunungan tengah Papua. Mozes Kilangin menggunakan kuskus sebagai personifikasi dari anggota masyarakat yang selalu korban dari konflik antar warga.
Kiasan lainnya, diungkapkan oleh seorang Kepala Kampung Akimuga menanggapi seruan petinggi militer agar masyarakat tidak mudah dihasut. Kepala Kampung ini memakai kiasan, “Bapak, kami ini seperti ubijalar yang tumbuh antara dua buah batu. Kami ditekan dan dimarahi di sini dan di persalahkan di sana. Mendengar di sana, tetapi dihantam di sini, jadi susah kami ini!”
Ubijalar yang termasuk makanan pokok masyarakat dipakai untuk menggambarkan situasi riil masyarakat Amungme menghadapi tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan. Situasi sulit yang dihadapi ini digambarkan dengan kiasan “ubijalar yang tumbuh antara dua buah batu”.
Sebagai sastra lisan, banyak syair oleh tokoh-tokoh suku terdahulu kemudian digubah menjadi lagu untuk menggambarkan suasana sukacita, duka cita, atau penyembahan. Tetapi menurut Arnold Mampioper, salah satu syair yang menimbulkan kesan terdalam adalah syair yang digubah menjadi lagu duka. Berisi syair ratapan dan kesedihan mendalam dari orang-orang terdekat dan kerabat.
“Nyanyian ratapan itu laksana paduan suara dengan harmoni, solo, sopran, alto, tenor dan bas. Terdengar sangat merdu dan menyayat hati,” tulis Arnold.
Mozes Kilangin, termasuk salah tokoh yang mengembangkan syair-syair dalam sastra lisan Amungme untuk lagu-lagu di sekolah dan ibadah natal. Karya sastra, yang lisan maupun yang tulis—memang hanya kumpulan dari bunyi dan lambang bunyi, tetapi dibalik simbol-simbol bunyi ini tersimpan semangat, ajaran, dan nasehat yang sangat penting untuk generasi masyarakat berikutnya. (Tjahjono Ep)
Sumber: LPMAK
Sastra Lisan dalam Tradisi Amungme
Berikan Komentar Anda