Oleh; Anwari WMK )*
NEGARA yang telah kehilangan sensibilitasnya terhadap sastra adalah negara yang tengah menegasikan potensinya sendiri dalam hal menumbuhkembangkan kreativitas dan otentisitas.
Sudah menjadi aksioma, persaingan ekonomi dan industri pada abad ke-21 berbasis inovasi. Sementara inovasi itu sendiri berpijak pada kreativitas dan otentisitas. Tanpa inovasi, mustahil daya saing ekonomi dan industri dapat diwujudkan. Begitu pun tanpa kreativitas dan otentisitas, mustahil inovasi dapat digelorakan. Sementara tak dapat dielakkan, sastra merupakan lahan subur tumbuhnya ”pohon” kreativitas dan otentisitas.
Sudah lebih dari cukup berbagai penjelasan menyebutkan, negara-negara berteknologi maju dewasa ini adalah negara dengan warisan (legacy) sastra. Hampir tidak ada negara maju kini miskin karya sastra. Bahkan sebuah negara mampu beranjak maju tatkala elemen ekonomi dan industri negara tersebut mampu mereguk ilham dari narasi-narasi sastra.
Tidak mengherankan pula jika biografi tokoh-tokoh bisnis dan korporasi dipenuhi penceritaan tentang kekaguman mereka terhadap buku-buku sastra. Dengan mengambil jalan estetika, sastra menginspirasi timbulnya kemajuan sebuah bangsa.
Adalah filosof Immanuel Kant yang pernah menyebutkan tentang pemanusiaan manusia melalui karya-karya sastra. Dalam diri manusia terus-menerus timbul kerentanan justru karena relasi manusia yang tiada henti dengan ruang-waktu.
Logika yang berkuasa atas ruang-waktu acap kali menyudutkan manusia untuk terbentur serangkaian kesulitan. Logika yang mendikte ruang-waktu sedemikian rupa mengaduk-aduk perasaan manusia. Logika yang bekerja dalam ruang-waktu menyeret eksistensi manusia ke dalam pusaran keterpecahan dan keberkepingan perasaan.
Sastralah yang pada akhirnya mengutuhkan kembali perasaan manusia yang telanjur tersuruk ke dalam keterpecahan dan keberkepingan itu. Itulah yang dapat menjelaskan mengapa manusia menemukan keutuhan dirinya seusai menyimak karya-karya sastra. Melalui karya sastra, manusia berpeluang menemukan partikularitas dirinya yang hilang terporakporandakan oleh logika ruang-waktu.
Modal kultural
Ketika masyarakat pada suatu negara terlatih memanusiakan dirinya melalui jalan sastra atau karya-karya sastra, sesungguhnya sebuah negara memiliki modal kultural yang tiada tara untuk mengimajinasikan makna dan hakikat hidup adiluhung. Negara tersebut tidak akan menghadapi kesulitan superpelik tatkala harus masuk ke dalam agenda peningkatan daya saing ekonomi dan industri, berhadapan dengan negara-negara lain di dunia.
Di sini kita berbicara ihwal relevansi sastra terhadap timbulnya the ideas of progress dalam kehidupan masyarakat di sebuah negara-bangsa.
Dewasa ini kita menyaksikan secara terang benderang betapa produk-produk berteknologi tinggi suatu negara yang berdimensi humanistik dalam penggunaannya justru semakin diwarnai oleh penampilan yang estetik. Tampak menonjol dalam produk-produk tersebut pengaruh sastra dan kesusastraan dalam totalitas proses inovasi.
Sebuah karya sastra memang tak harus dimaksudkan mengawal lahirnya sebuah produk teknologi tinggi. Namun, keagungan narasi dan keindahan literasi dalam karya sastra merupakan ilham penciptaan bagi lahirnya produk-produk berteknologi tinggi yang nikmat dalam penggunaan serta indah ditatap.
Sayang, tidak semua negara memiliki kejelasan posisi terhadap sastra. Bahkan muncul dialektika yang sedemikian rupa mengondisikan negara berjalan tanpa sastra.
Dengan menyebut ”negara tanpa sastra”, bukan berarti di negara tersebut sama sekali tidak lahir karya-karya sastra. Sangat mungkin justru karya-karya sastra telah berakumulasi menjadi warisan kesusastraan oleh suatu perkembangan jangka panjang dari generasi ke generasi. Negara tanpa sastra merupakan frasa yang mengilustrasikan tak adanya perhatian rezim yang tengah berkuasa di suatu negara terhadap arti penting sastra bagi kemajuan masyarakat dan pemerintahan di negara tersebut.
Tak pelak lagi, Indonesia sesungguhnya masuk ke dalam kategori negara tanpa sastra. Tersingkapnya fakta di seputar penelantaran Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin merupakan bukti hadirnya negara tanpa sastra di Indonesia.
Melalui penyikapan pemerintah sendiri, sastra belum dikondisikan berfungsi sebagai dasar tumbuhnya kreativitas dan otentisitas mendukung berlangsungnya inovasi ekonomi dan industri. Jangan heran pula jika ke depan Indonesia masih akan terseok-seok dalam arena persaingan antarbangsa di dunia.
)* Anwari WMK, Peneliti Filsafat dan Kebudayaan di Sekolah Jubilee, Sunter, Jakarta
Sumber: Kompas, Kamis, 24 Maret 2011