Andy Tagihuma[1]
Kata sastra bagi masyarakat di Papua terasa asing, namun dalam kehidupan sehari-hari, sastra sangat berkaitan erat dengan kehidupan orang Papua. Dalam konteks ini, sastra yang dikenal tersebut adalah tradisi lisan atau sastra lisan[2]. Hingga saat ini tradisi lisan yang masih dituturkan di sebagian masyarakat Papua misalnya; cerita rakyat (dongeng, mitos, legenda, pantun, fable), cerita lucu, teka teki, nyanyian rakyat, bahkan syair yang di lantunkan saat perkabungan dalam satu keret atau klan, pengelompokan.
Papua dengan lebih dari 250 suku dan bahasa sangat kaya akan sastra lisan. Tiap suku, klan dan keret memiliki cerita, kisah asal usul dan kehidupan sosial yang penuh dengan nilai moral, kearifan dalam kosmologi kehidupannya.
Sastra lisan ini di kelompokkan dalam folklor atau folktale, yang mencakup kategori dan jenis yang sangat beraneka ragam dan masing-masing sulit dapat dibedakan dari yang lain. Termasuk di dalamnya cerita-cerita duniawi dan babad-babad tradisional, di mana tidak dapat ditemukan sisa suasana keajaiban yang menjadi ciri khas mitos dan dongeng. Akan tetapi dalam sebutan folktale tercakup juga dongeng, tradisi, dan legenda, yang sedikit banyak berciri suasana keajaiban. (J. van Baal 1987), dan (Danadjadja, 2002).
Mitos Nabula Kabula, Nabelan Kabelan dari Lembah Baliem dan Lani, Beorpict, Fumiripict (Asmat), Manarmakeri (Byak), Waoi Iram (Nimboran) di Papua secara umum konsepnya tidak berbeda dengan mitos di Yunani. Mitos-mitos merupakan alegori yang disusun oleh para penyair tentang perjuangan antara unsur-unsur atau lambang-lambang berbagai-bagai bakat dan watak manusia seperti rasio, kebodohan, cinta, dan lain-lain. Untuk alegori semacam itu ada topangannya dalam kenyataan, bahwa beberapa dewa tidak dapat dipungkiri lagi ada kaitannya dengan segi-segi tertentu dari alam atau sifat-sifat dan kegiatan manusia seperti Poseidon dan Neptunus dengan laut, Helios dengan matahari, Diana dengan perburuan, dan Athena dengan kebijaksanaan.[3] Di Selatan Papua, Suku Marind-Anim di Merauke menyebutkan tentang rasa hormat yang ajaib yang biasa ditunjukkan oleh orang-orang Marind-Anim dalam menceritakan mitos-mitos mereka. Ada juga sastra lisan yang di tuturkan sebagai cerita-cerita lelucon, yang menimbulkan gelak tawa. Kebudayaan menuturkan cerita lucu merupakan salah satu bagian dari kebudayaan di kawasan Melanesia. Di Papua cerita lucu ini kemudian di kenal dengan nama MOP, dalam tiap suku, MOP mempunyai tempat tersendiri dengan masing masing istilah. F.J.F. van Hasselt mengatakan “Mereka membuat lelucon, dan tidak seorang asing pun yang melihat atau mendengar mereka, akan menyebut mereka tidak tidak bahagia; terdengar banyak orang tertawa.”
Dari Sastra Lisan ke Sastra Tulis
Perkembangan kemajuan dari sastra lisan menuju sastra tulis di Papua, di mulai saat dua orang pemuda usia duapuluahan, Carl Williem Ottow (1826-1862), dan Johan Gottlod Geissler (1830-1870) menginjakkan kakinya di Tanah Papua pada 5 Februari 1855. Dua tahun kemudian, tahun 1857 saat sekolah pertama di buka di Mansinam, Nyonya Ottow menyediakan sebuah sebuah bilik kamar di rumah Ottow untuk dijadikan ruang kelas tempat anak belajar.
Setelah murid bertambah banyak dan terbiasa dengan berlajar dalam ruang kelas barulah sekolah permanen dibangun. Pdt. Geissler membuka sekolah di Mansinam, dalam sekolah itu ia memberikan pelajaran bahasa Melayu kepada anak-anak asli di Mansinam[4].
Dalam pendidikan waktu itu, selain membaca agar cepat membaca Alkitab, di ajarkan pula pengetuahuan lainnya, menulis, berhitung dan pendidikan budi pekerti.[5] Anak-anak ini menerima pelajaran dari jam 8 sampai jam 12. Sesudah itu bebaslah mereka untuk makan, bermain atau tidur, tetapi dari jam 4 sampai jam 6 mereka harus belajar bekerja.
Pengerjaan awal sastra tulis di lakukan Ottow pada tahun 1857, mereka berhasil menyusun suatu daftar kata dalam bahasa Numfor yang berisi ratusan kata-kata. Pada tahun berikutnya mereka dapat menyerahkan suatu daftar yang terdiri dari 1.000 kata kepada dua peneliti yang datang ke Doreh (Doreh atau Dore terletak di Teluk Wondama di Papua Barat) dengan kapal Etna. Tetapi Ottow menulis bahwa ia “terpaksa menggunakan banyak kata-kata Melayu, karena dalam bahasa Numfor tak ada kata-kata untuk hal-hal rohani. Ia mengeluh juga bahwa apabila ia mendengar sepatah kata yang tak dikenalnya dan ia menanyakan artinya, jawabnya selalu: “Ya fau i ba” (Saya tak tahu).[6] Selain menulis daftar kata, dalam bulan Januari 1857 mereka mulai menulis “Tinjauan singkat tentang negeri dan penghuni pantai Nieuw Guinea timur laut”. Artikel ini merupakan inventarisasi yang hampir lengkap, sekalipun masih kurang dalam hal yang terpenting, yaitu dalam organisasi sosial. Ternyata data-data yang dikemukakannya cukup dapat dipercaya.
Di luar dugaan, Ottow dan Geissler, tapi terutama yang pertama itu, secara sadar telah mengamati dan mencatat apa yang mereka temukan di sana. Metode mereka bukanlah suatu metode penyelidikan yang sistimatis dengan menggunakan daftar pertanyaan dan model-model, seperti yang dipraktekkan oleh ahli jaman sekarang, melainkan metode yang di dalam antropologi budaya disebut: observasi dengan partisipasi[7].
Walaupun kesulitan dalam menerjemahkan bahasa Melayu ke dalam bahasa Numfor, namun Ottow di tahun 1858, ketika ia sudah sedikit bisa berbahasa Numfor, ia mulai berkhotbah dalam bahasa Numfor. Dengan kemampuan yang terbatas itu, Ottow berani menterjemahkan empat buah lagu,[8] Ottow kemudian mengarang enam lagu lagi, kemudian kumpulan lagu tersebut di terbitkan tahun 1861. Dalam kurun 78 tahun (1857-1935), telah di terbitkan puluhan buku, diantaranya;
- Spel-en leerboekje voor de scholen op Nieuw-Guinea [4 vol.]. (1867) [author unknown] Utrecht: Kemink & Zoon. (Buku ini berisi permainan-permainan dipergunakan di sekolah dasar di Nieuw Guinea)
- Fajasi Rjo Refo Mansren Allah Bjeda: (Tjeritera Alkitab) kar. Geissler 1868. (Buku yang mengisahkan cerita Alkitab dalam bahasa Numfor)
- Is orne refo rijo Markus kiawer kwaar ro woois woranda be woois Noefoor: het evangelie van Markus overgezet uit de Nederduitsche in de Papoesch-Noefoorsche taal. (Masmur ma Dou Numfor), J.G. Geissler (1871) Utrecht: Kemink & Zoon. (Injil Markus dalam bahasa Numfor dan nyanyian Mazmur dalam bahasa Numfor).
- Allereerschte beginselen de Papoesch-Mefoorsche taal. J.L. van Hasselt (1868) Utrecht: Kemink & Zoon. (Buku ini berisi petunjuk dasar bahasa Numfor).
- Hollandsch-Noefoorsch en Noefoorsch-Hollandsch woordenboek. J.L. van Hasselt (1876a) Utrecht: Kemink & Zoon. (Kamus bahasa Belanda-Numfor dan Numfor-Belanda).
—————————————
[1] Pegiat sastra Papua, pernah menjadi wartawan di beberapa media di luar Papua dan di Papua
[2] Konteks Sastra Lisan dalam tulisan ini merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002); 1. Hasil kebudayaan lisan di masyarakat tradisional yang isinya dapat disejajarkan dengan sastra tulis di masyarakat modern, 2. Sastra yang di wariskan secara lisan seperti, pantun, nyanyian rakyat, dan cerita rakyat; Selain itu, yang juga berkaitan adalah Susastra; Sastra yang isi dan bentuknya sangat serius berupa ungkapan pengalama jiwa manusia yang di timba dari kehidupan kemudian direka dan disusun dengan bahasa yang indah sebagai saranya sehingga mencapai syarat estetika yang tinggi.
[3] Baal 1987, Ilmu Antropilogi I
[4][4] Bahasa Melayu yang di pakai pada saat itu adalah standar Bahasa Melayu Malaysia, sehingga beberapa buku terbitan Papua masuk dalam catalog buku Bahasa Melayu di Malaysia. Saat ini bahasa Melayu tersebut telah berkembang menjadi Melayu Papua.
[5] Rumainum, Sepuluh Tahun GKI Sesudah Seratus Tahun Zending di Papua
[6] Kamma, F.C., Ajaib di Mata Kita I: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat Dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, Jilid I, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia,1981.
[7] Metode pendekatan pastisipasi saat ini di gunakan pula dalam penulisan antropologi etnografi.
[8] Kamma, F.C., Ajaib di Mata Kita I: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat Dilihat dari Sudut Pengalaman Selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, Jilid I, Jakarta: B.P.K. Gunung Mulia,1981.