Oleh; Pdt. Dr. Benny Giay )*
- Pendahuluan
Banyak kalangan belakangan ini, khususnya para elit baik Papua maupun non-Papua secara terbuka maupun diam-diam membahas pertanyaan “siapa orang asli Papua”. Ia menjadi masalah ketika perjuangan kemerdekaan Papua melahirkan Ostus pada tahun 2001, terlebih dengan terbitnya SKP MRP No 14, terkait bupati dan wakil dan walikota dan wakilnya. Walaupun sebelum Otsus dan SK MRP diterbitkan, tidak ada yang persoalkan itu. Karena semua tahu siapa bangsa Papua. Tetapi demikianlah anak manusia di mana saja, yang panik atau repot sana sini, saat kenyamanan dan kepentingannya mulai terganggu oleh wacana itu. Terlebih saat-saat menjelang pemilihan anggota MRP atau ketika SK MRP No. 14 yang mengamanatkan agar bupati dan wakil; walikota dan wakil ialah orang asli Papua. Pada saat seperti itu: semua pihak mulai pasang kuda-kuda membuat aturan hukum segala untuk mengaburkan “masalah yang sebenarnya ayam putih terbang siang” untuk meloloskan kepentingannya.
Menyikapi perkembangan ini saya untuk memberi catatan sekitar wacana itu. Pijakan dan kerangka saya menyusun catatan ini ialah sejarah sunyi bangsa Papua, yang secara terus-menerus disembunyikan atau dihapus oleh pemerintah negara ini sejak tahun 1960an dengan berbagai cara dan siasat. Misalnya dengan pembredelan buku-buku sejarah kekerasan negara terhadap rakyat Papua untuk menghilangkan jejak-jejak sejarah sunyi bangsa Papua. Dari sudut pandang dan kerangka sejarah Papua yang dilarang itulah saya menjawab pertanyaan “siapa orang asli Papua”. Berangkat dari kerangka sejarah itulah saya membagi “orang asli Papua” menjadi dua kategori. Dalam kategori yang pertama, saya masukkan warga tanah Papua” yang korban secara langsung karena dianggap sebagai “yang lain” oleh elit pemerintah /rakyat Indonesia sehingga (Jakarta dan rakyat Indonesia) mengangkat dirinya sebagai pihak yang paling beradab dan mendapat panggilan untuk: membangun, memberdayakan, membina, mengendalikan, menghajar dan menghilangkan Papua sebagai pihak ”yang lain”.
Tetapi ada juga “orang asli Papua” kategori kedua yang telah menyelami sejarah Papua dan menjadi bagian dari bangsa Papua yang tersingkir yang secara konsisten berjuang (dari awal sampai akhir) bersama Papua, dan menjadikan penderitaan dan impian Papua sebagai penderitaan idealismenya sendiri. Pembagian kedua kategori ini tidak dimaksudkan untuk mendiskriminasi kategori kedua. Poncke Princen dari Indonesia “yang saya anggap “orang pribumi Indonesia” dalam sejarah Indonesia akan saya sebutkan dalam bagian ketiga untuk memberi contoh konkrit “orang asli Papua” dalam kategori kedua tersebut.
2.Siapa Orang Asli/bangsa Papua: Mereka yang Menjalani Memoria Passionis
Ketika berbicara mengenai “Orang asli Papua”, kita sedang merujuk kepada mereka yang menjalani pengalaman sejarah berikut.
- Orang asli Papua: ialah warga bangsa tanah Papua yang leluhurnya telah bermukim di tanah ini ribuan tahun, jauh sebelum makhluk-mahkluk jahat atau suanggi bernama: negara bangsa seperti Indonesia, Amerika, Belanda lahir. Orang Papua di sini tidak bisa lain dari keturunan suku bangsa-bangsa yang telah bermukim di tanah Papua dengan perangkat aturan /hukum dan agama yang mereka pedomani dalam interaksi social dan hidup dari mengelola sumber daya alamnya, jauh sebelum Indonesia terbentuk dan Negara bangsa lain terbntuk. Itu unsur pertama. Tetapi ini bukan satu-satunya kriteria.
- Kriteria kedua, ialah keturunan dari warga suku bangsa (kategori a di atas) yang leluhurnya (gadis-gadis hitam berambut keriting yang dalam bahasa Tiongoa disebut: jenggi, seng-ki atau tungki”) dijadikan sebagai upeti oleh Sriwijaya pada abad ke 8 dan dipersembahkan kepada Cina[1]. Orang asli Papua ialah keturunan dari 300 orang leluhur bangsa Papua yang dalam tahun 1381 dipersembahkan oleh Majapahit kepada Cina sebagai upeti. Dan tahun berikutnya 100 orang warga bangsa Papua dikirim ke Cina sebagai upeti[2]. Singkatnya “orang asli Papua, ialah keturunan leluhur Papua yang dijadikan sebagai budak oleh Sriwijaya dan Majapahit yang dipersembahkan kepada Cina. Sekali lagi ini baru dua kriteria. Masih ada criteria ke tiga.
- Ketiga, warga yang tinggal di tanah Papua yang leluhurnya telah lama yang dijadikan sebagai obyek perampokan, pengayauan dan perbudakan oleh Tidore dan Ternate melalui hongi: armada khusus yang dikirim oleh Sultan itu; untuk menangkap (anak laki-laki dan perempuan, tua dan muda) warga bangsa Papua dan menjualnya sebagai budak[3]. Sehingga menurut I.S. Kijne di Maluku Utara dan Maluku secara umum istilah “Papua” identik dengan budak”[4]. Siapa saja yang menjadi korban dan mewarisi trauma ini, yang menurut Eliezer Bonay sampai generasi ke generasi ke delapan[5] dialah “orang asli Papua” Sekali lagi masih ada unsur lain.
- warga bangsa ini (butir a di atas) yang selama puluhan dan ratusan tahun menjadi sasaran serangan politik stigma seperti: bodoh, malas, separatis, dll; atau warga bangsa Papua (butir a diatas) yang hingga sekarang ini menjadi korban rasisme Indonesia; yang mengidentikkannya dengan “kete” (monyet). Siapa “orang asli Papua” warga bangsa Papua yang sering menerima arahan dari orang Jawa untuk ‘kawin aja dengan orang Jawa biar bisa perbaiki keturunan”[6]. Sehingga siapa saja Papua yang menjadi korban rasisme dan stigma politik yang disebutkan di atas dialah “orang asli Papua”.
- Kriteria ke 5 orang asli Papua ialah mereka (a s/d d) yang sejak awal tahun 1960an (hingga dewasa ini) meratap dan terusik saat tentara/pemerintah Indonesia membakar/membredel semua dokumen dan buku yang ditulis mengenai Papua baik yang ditulis penulis Papua maupun Barat; yang dimulai dengan pembredelan buku: Ik ben Een Papua yang ditulis oleh Zacharias Sawor, disusul dengan pembredelan Benteng Jen bekaki (yang ditulis Ds Jan Mamoribo) dan Djajapura Ketika Perang Pasifik (Arnold Mampioper), Tenggelamnya Rumpun Melanesia oleh Sendius Wenda, hingga Pemusnahan Etnis Papua yang ditulis Socrates Yoman. Orang Papua asli yang terganggu dan emosi saat mendengar buku karya anak adatnya dilarang beredar atau dibredel oleh pemerintah NKRI (Neraka Kesatuan Republik Iblis).
- Orang asli Papua, ialah mereka yang harkat dan martabatnya dihancurkan atas nama pembangunan. Mereka yang mengalami dampak langsung dari ideologi dan kebijakan pembangunan yang bias pendatang: migrant biased development policy. Kebijakan dan ideology pembangunan yang dibuat semata-mata untuk dan demi kesejahteraan dan kepentingan pendatang di Papua; dan menyepelekan kepentingan dan masa depan bangsa Papua (yang sudah tinggal di tanah ribuan tahun sebelum Indonesia, dan Negara bangsa lainnya lahir). Contoh kebijakan terakhir yang berbau bias pendatang ialah: rencana pengiriman transmigrasi ke Pegunungan Tengah dan pemekaran Kabupaten untuk (menampung orang Indonesia yang keluar dari Timor Leste, korban Lumpur Lapindo di Sidowardjo, rakyat miskin dari Jawa atau provinsi lain di Indonesia) yang sekaligus membunuh Papua secara perlahan tetapi bertahap dan pasti. Orang asli Papua adalah mereka yang hidup dan masa depannya terancam oleh kebijakan pembangunan yang diskriminatif ini sehingga bangkit melakukan perlawanan terhadap peraturan dan kebijakan pembangunan yang berbau rasisme dan pemusnahan etnis ini.
- Siapa orang asli Papua? Mereka yang tinggal di tanah ini yang sering menjadi korban dan sasaran pengejaran dan pembunuhan sebagai bagian dari operasi-operasi militer berikut[7]:
- Operasi Sadar (dimulai 27 September 1962 sampai 15 November 1962 untuk mengantisipasi penarikan pasukan Belanda dengan tugas (a) mengamankan penyerahan Irian Barat dari Belanda ke NKRI 9 (b) pengerahan semua angkatan untuk duduk dalam posisisi strategis dalam UNTEA di Irian Barat: angkatan yang terlibat adalah: AURI, KEPOLISIAN, ANGKATAN DARAT yang secara terbuka maupun tertutup mengedalikan kebijakan UNTEA bagi kepentingan NKRI (c) penguasaan Irian Barat.
- Operasi Wisnamurti (dimulai 5 Januari 1963) untuk menyadarkan masyarakat Papua bahwa masa depannya ada di tangan pemerintah RI.
- Operasi sadar (mulai tanggal 3 Agustus 1965 sampai tahun 1967) untuk menumpas OPM
- Operasi wibawa (dimulai tanggal 22 Februari 1969 dengan tujuan untuk (a) menyelesaikan gangguan keamanan oleh Gerombolan separatis: Ferry Awom di Kepala Burung (b) menumbuhkan dan memelihara kewibawaan Pemerintah sebagai kelanjutan dari Operasi sadar.
- Operasi Wibawa ini dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara:
- Operasi tempur menghancurkan kekuatan fisik lawan
- Operasi territorial mendukung aparatur Negara dalam operasi wibawa.
- Operasi Intelligence: untuk membongkar jaringan/unsure pendukung Gerakan separatis. Dalam pelaksanaannya Oprasi Wbawa ini dibantu oleh:
- Jon satgas pelaksana 713/Merdeka
- Jon Satgas 724/Atasan Udin
- Jon satgas 732/Pattimura
- Jon satgas 741 Udajana
- Ki Satgas Jon 700/LINUD
- TON ARHANUD
- JONIF 590 Brawijaya
- Jonif 516 Brawidjaja
- Don Zipur VIII/Brawidjaja
- Den dipiad
- Den Kavser
- Den Penerbad
- Unsur Perbekud
- Denpashanda
- Unsur AURI
- 1 pesawat Dakota dan 1 pesawat B26.
Operasi ini dilaksanakan dalam 4 tahap (triwulan I sampai triwulan IV)
- Operasi Pamungkas
- Operasi keras
- Operasi No. 009 (mulai tanggal 20 September 1969) dengan tujuan menyusup ke daerah pedalaman membawa misi kemajuan dan peradaban. Sasarannya ke daerah Lembah X yang masih terkebelakang.
- Operasi No. 007 ke Lembah X yang sama untuk mendokumentasi kehidupan Masyarakat di Lembah X
- 1 Juli 1970, Operasi Pamungkas untuk menyikapi perlawanan yang dilakukan Melkias Awom dan Nataniel Awom di Biak Utara. Operasi ini menewaskan banyak masyarakat tak berdosa, lantaran ketidak-berdayaan TNI menguasai medan[8].
- 25 Oktober 1979, „operasi pembersihan“ di Biak Barat dan Biak Utara.[9]
- 1979 -1982 Operasi Sapu I dan II bersih atas Pangdam Mayjen Ci. I. Santoso yang kemudian menjadi Sekjen Menteri Transmigrasi[10].
- 1981 Operasi Galang I dan Galang II, dibawah Panglima Mayjen C.I. Santoso
- Akhir 1983 – awal tahun 1984, operasi Tumpas yang dilaksanakan dibawah Komando Pasukan Kopasanda (Kopasus).[11]
Orang asli Papua ialah warga keturunan leluhur Papua yang menjadi korban langsung maupun tidak langsung operasi-operasi militer ini.
- Siapa orang asli Papua? Mereka yang masuk dalam kategori (a) di atas yang dalam 1960an meratap dan berkabung selama 3 hari saat Indonesia mengambil alih pemerintahan dan kemudian setelah Pepera dimenangkan Indonesia. Seperti Amapon Jos Marey yang meratap di atas pesawat saat membaca Isi perjanjian New York. “Hanya Tuhan yang mengetahui masa depan kami bangsa Papua dan tanah ini. No body knows the troubles I’ve seen, no body knows my sorrow”[12]; dan puluhan pengungsi Papua di pulau Manus (PNG) yang berkabung selama beberapa hari saat mendengar PEPERA 1969 dimenangkan Indonesia[13].
- Orang asli Papua: warga keturunan leluhur bangsa Papua yang telah hidup di tanah ini jauh sebelum Sriwijaya dan Majapahit lahir, yang sejak Indonesia menduduki Papua, menjalani sejarah pengungsian dan menjadi bangsa pengungsi. Simak catatan singkat kronologi sejarah pengungsi Papua Barat ke PNG 1962 sampai 1986 seperti yang dikutip dalam Penelitian tadi oleh Glazebrook.
- 1962 – 1968
- Agustus 1962, setelah Belanda menandatangani perjanjian New York untuk menyerahkan Papua Barat kepada pemerintah Indonesia ribuan orang Papua mengajukan permohonan tinggal kepada pemerintah Australia untuk di PNG.
- Akhir Agustus 1962, 350 orang Papua Barat mengungsi ke Weam, PNG
- Juni 1963, Ratusan orang Papua Barat mengungsi ke tempat-tempat pemukiman warga PNG di sepanjang perbatasan PNG RI: Jayapura Vanimo (bagian Utara) di Skotiau
- Oktober 1968, 40 orang pengungsi politik dari Papua Barat dipindahkan dari Vanimo dan Wewak ke pulau Manus.
- 1969
Pengungsi dan pencari swaka Papua sangat besar jumlahnya dalam tahun 1969, sebelum dan menjelang Pepera 1969, walaupun Pemerintah Indonesia menawarkan amnesty. Barangkali karena amnesty ini diikuti oleh kegiatan Kampanye Operasi Sadar (Operation Awareness Propaganda)
- Januari, 51 orang yang mengungsi dan mencari swaka
- Februari, 77 orang
- Maret, 25 orang
- April, 196 orang
- Pertengahan April, 111 orang
- Mei, 402 orang
- Juni, 188 orang
- Dalam bulan Juni jumlah pengungsi di tiga tempat di PNG dicatat sebagai berikut: (a) Yako: 112 orang; (b) Morehead: 280 orang; (c) Manus: 50 orang
- Juli, 140 orang
- Agustus, 616 orang
- Desember, 326 orang
- 1977 – 1982
- Mei 1977, 490 orang Papua menyeberang ke perbatasan RI dan PNG sebagai pengungsi. 290 orang di Kwari Barat Daya Daru) 200 orang di Wawol di Western Province. Kemudian dalam bulan yang sama 60 orang menyeberang ke Bewani, PNG
- Agustus 1978, 50 orang Papua menyeberang ke Yako, PNG; 30 orang dari mereka mencari swaka dari PNG, dll
- Juni 1979, 145 pengungsi Papua Barat di PNG dipindahkan oleh Pemerintah PNG dari Kam Pengungsi di Yako, Oksapmin, Madang dan Weam
- Desember 1980, 120 warga masyarakat mengungsi ke Morehead, Western Province, PNG
- 1982, 29 orang pengungsi Papua Barat dipindahkan oleh Departemen Luar Negeri PNG dari Yako ke Wutung dan Bewani, PNG.
Orang asli Papua: warga keturunan leluhur yang telah tinggal di tanah ini jauh sebelum Tidore dan Ternate lahir, yang sejak Mei 1962 menjalani sejarah kehilangan dan pengungsian di atas.
- keturunan leluhur Papua yang sejak 1880an hingga dewasa ini dicatat terus memperjuangkan impian jaman bahagia melalui gerakan-gerakan mesianis/keagamaan: seperti: koreri (makan di satu piring), hai (jaman bahagia), ayii (jaman kseteraan dan semuanya berkecukupan), dll[14].
- Warga yang Papua yang menjadi target dan korban dari kebijakan Pengkondisian yang dimuat dalam Dokumen sangat Rahasia yang dikeluarkan pada tanggal 9 Juni 2000 oleh Dirjen Kesbang dengan nomor 578/ND/KESBANG/D IV/VI/2000. Dokumen tsb memberi perintah agar dilakukan operasi dengan melibatkan semua institusi Negara maupun swasta (baik langsung maupun tidak langsung untuk mengendalikan Papua yang separatis dan yang berpotensi menjadi separatis); dengan sifat operasi :terbuka maupun tertutup) di seluruh Provinsi dan Kabupten/kota. Siapa saja yang menjadi korban dan sasaran operasi: merekalah “orang asli Papua”.
- keturunan leluhur Papua yang sejak awal tahun 1980an dipaksa/diteror dan ditembak TNI POLRI karena bermasa bodoh, enggan atau terlambat mengikuti upacara hari kemerdekaan 17 Agustus, seperti yang telihat dalam kasus dan pengalaman berikut.
- Dua warga suku Mee warga yang ditembak Koramil Obano (Paniai Barat) lantaran terlambat mengikuti upacara perayaan hari kemerdekaan 17 tahun 1983. Satu diantara korban tewas ditempat; sementara yang lainnya luka berat di kaki kanan karena tiba di tempat upacara 30 menit setelah upacara dimulai.
- Warga pos 7 Sentani yang rumahnya menjadi operasi target penggeledahan pada tanggal 16 Agustus 2006. Saat operasi pagi hari (sekitar jam 5 sampai 6 pagi) berlangsung warga yang tidak mengibarkan bendera merah putih di halaman rumahnya dihajar dan diinterogasi dan disuruh pergi membeli bendera merah putih di Pasa Baru Sentani. Penghuni rumah-rumah yang kedapatan menyimpan bendera/gambar bendera bintang kejora didaftar namanya setelah dipukul babak belur gerombolan TNI POLRI.
- Demikian juga warga Kelapa Lima, Merauke; sekitar jam 5 pagi yg diangunkan gerombolan TNI POLRI yang melakukan operasi memantau kampong-kampung mana yg tidak menaikkan bendera merah putih.
- Staf Lurah Hedam yang diteror dua orang Indonesia (anggota Kopassus) karena tidak menaikkan bendera merah putih pada tanggal 16 Agustus 2007..
Ini kriteria lain siapa orang asli. Mereka yang dipaksa merayakan penjajah yang merebut harga diri dan masa depannya.
(*) Orang asli Papua ialah yang menurut laporan Yale University (November 2003) dan Sydney University (Agustus 2007) sedang menuju kepunahan.
(*) Kategori yang terakhir ialah perempuan dan laki-laki orang Indonesia yang menikah dengan orang asli Papua” di atas (kategori a sampai l) yang sering dimarahi orang Indonesia lain, “mengapa menikah dengan orang Papua yang bodoh, pemabuk dan primitif? Apakah tidak ada laki-laki (atau perempuan) lain di Jawa, Sulawesi, Maluku, dll, kah?
Kriteria “orang asli Papua” di atas harus dilihat/dibaca secara utuh, tidak dibagi-bagi dan dilihat secara sepotong-potong. Siapa “orang asli Papua”? Siapa “orang asli Papua”? Siapa saja yang memenuhi criteria di atas, mari silahkan bergabung. Tetapi orang Papua tidak hanya itu.
[1] Souter Gavin (1978). New Guinea. The Last Unknown. Sydney: Angus and Robertson, hal.17
[2] Martin O’Hare (1986). Majapahit’s Influence Over Wwanin in New Guinea, MA Thesis: Hal. 37
[3] N. Miklouho Maclay (1982), Travels to New Guinea. Moscow: Progress Publishers, hal. 19 – 21.
[4] F.C. Kamma (1953) “Land en volk der Papoea’s”, dalam F.C. Kamma. Kruis en Korwar. Den Haag: Voorhove.
[5] [5] Eliezer Bonay, Nasionalisme Papua Barat, Catatan 2 halaman, tidak diterbitkan, tt; (Lihat juga, John Jansen Van Galen, (1984), Ons Laastse Oorlogje: Nieuw Guinea: De Pax Neerlandica, de Diplomatieke Kruistocht en de Vervlogen Droom van Een Papua Natie. Weesp: H&W Dossier. hal. 24
[6] Rk, Jayapura, 12 Mei 2010
[7] Diambil dari berbagai sumber: MABES ABRI Pusat Sejarah dan tradisi ABRI (1995) Jakarta, TRIKORA PEMBEBASAN IRIAN BARAT; PRAJA Ghupta Vira (Ksatrya Pelindung Rakyat), Dinas Sejarah Militer, KODAM XVII Tjenderawasih, 1971.
[8] Jarahdam XVII/Cenderawasih (1983), Praja Ghupta Vira Membangun Bakti TNI AD di Irian Jaya Pada Periode Tahun 1970 – 1982. Jayapura (hal. 238)
[9] Jarahdam XVII/Cenderawasih (1983), Praja Ghupta Vira Membangun Bakti TNI AD di Irian Jaya Pada Periode Tahun 1970 – 1982. Jayapura (hal. 238)
[10] Carmel Budiardjo Liem Soei Liong (1984), West Papua: An Obliteration of a People, London: Tapol: hal.80
[11] Carmel Budiardjo & Liem Soei Liong (1984), West Papua: An Obliteration of a People,hal.86
[12] Amapon Jos Marey, Menangis di Atas Pesawat, dalam Leontine Visser, Amapon Jos Visser (2008) Bakti Pamongpradja Papua. Jakarta: Kompas, hal.361
[13] Wawancara dengan Adolfine Zonggonao, Sydney/Canberra, 4 Desember 2001
[14] Lihat, Peter Worsley (1968) The Trumpet Shall Sound. Schocken Books: New York;
)* Ketua Sinode Gereja Injil (Kingmi) Di Tanah Papua