Penunjuk Sentimen Sosial, Ras, Suku, Agama, Politik dan Solidaritas di Tana Papua
Oleh; Izak Morin (PSBE FKIP Uncen Jayapura, Papua)
- Pengantar
Istila amber deng komin adala dua kata dari Bahasa Biak yang kitong pinjam dan skarang kitong pake dalam Bahasa Melayu Papua untuk kas tunjuk sentimen sosial, ras, suku, agama, politik dan solideritas sosial di Tana Papua. Dulu-dulu orang Biak dong pake kata/sapaan amber untuk panggil orang yang su skola tinggi, yang pu pekerjaan (guru, pegawai, dll) ato yang pu jabatan dalam pemerintahan. Ole karna itu, orang tua dong slalu bilang sama dong pu anana begini: “Kam pi skola supa kam lagi jadi amber untuk kitorang”. Untuk jadi amber anana harus pi skola di sup amber (tempat/kota untuk belajar supa dapa ilmu dan ketrampilan). Sup amber juga pu arti ‘tempat yang jau’. Pada masa Blanda anana Biak pigi skola di sup amber sperti Soren Doreri (Manokwari, Miei), Tabi (Jayapura), Serui, dan lain-lain. Dalam era Indonesia, sup amber adala Sulawesi, Bali, Jawa, dan lain-lain. Negara-negara sperti Amerika, Australia, Blanda, Thailand adala juga sup amber.
Kata/sapaan komin terdiri dari dua kata ko = kitong, kita; min = bagian dari. Jadi, komin de pu arti ‘bagian dari kitong’. Misalnya kalimat dalam Bahasa Biak, “John i komin diri.” [John de bagian dari kitong]. Dalam pemakaian sehari-hari di Tana Papua kitong bilang: “John itu kitong pu orang.” Orang Inggris dong bilang: “John is part of us.” ato “John is our man”
Jadi, dalam masyarakat Biak sapaan amber pu makna eksklusif hirarkis, yaitu: kas tunjuk status sosial sedangkan sapaan komin pu makna inklusif simetris, yaitu: kas tunjuk kesamaan/kohesi ato solideritas/kesetiakawanan. Namun, dalam pemakaian di Tana Papua dong dua pu makna su tageser sedikit sesuai deng konteks dimana dong dua dapa pake dalam komunikasi dan tindakan antara manusia.
- Penunjuk ras, suku, agama dan politik.
Dulu-dulu orang Biak dong pake kata/sapaan amber untuk panggil suku-suku lain seperti Sentani, Serui, Mee, Dani, dan lain-lain di Tana Papua yang datang ke Biak. Pada waktu Blanda dong datang ke Tana Papua orang Biak panggil dorang amber dan tamba frasa be pioper [yang berwarna puti] sehingga ada frasa amber be pioper [orang asing yang pu kulit puti]. Kemudian, pada saat Perang Pasifik tahun 1942 tentara Amerika tiba di Numfor dan di antara tentara Amerika ada orang-orang hitam (Black American). Orang Biak panggil dorang amber be paisem [orang asing yang pu kulit hitam]. Pada tahun 1969 Indonesia dong datang ke Tana Papua dan orang Papua panggil dorang amber karena dong pu warna kulit tra sama deng kebanyakan orang Papua.
Jadi, skarang ini pemakaian amber-komin cenderung kas tunjuk bahwa ada perbedaan rasial yang berbasis kulit dan rambut. Misalnya, ada orang Papua yang dapa ajar sampe bangka-bangka dalam sel Brimob di Kotaraja dan waktu de keluar dari sel de pu teman-teman tanya begini: “Brimob yang ajar ko tu amber ka komin?” Kalo de pu jawaban itu komin maka teman-teman yang tanya tadi nan dong pu komentar kemungkinan begini: “Kurang ajar! Komin saja mo” Artinya, mengapa Brimob orang Papua baru mo pukul orang Papua. Tapi, kalo de pu jawaban amber maka kawan-kawan yang tanya tadi dong pu komentar kemungkinan begini: “Amber kurang ajar! Tra tau diri! dst, dst,dst…………….”(dapa maki ancor-ancor).
Kitong harus akui bahwa sentimen amber-komin masi ada di kitong pu Tana Papua. Tampa lain juga ada sentimen seperti ini tapi deng kata ato ungkapan ato tindakan yang beda. Misalnya, kampanye Brexit (British) untuk keluar dari Uni Eropa dan kampanye Donald Trump untuk larang orang Timur Tenga jadi pengungsi dan pencari suaka politik di USA adala bentuk tindakan dan pernyataan politik. Jadi, dari sisi politik, Teresa May di Inggris (British) dan Donald Trump di USA adala orang-orang yang pu orientasi pada sentimen komin dan abaikan amber. Demo terhadap Gebernur DKI Ahok di Jakarta dan pembubaran ibada Natal di Bandung adala dua conto fenomena nasional yang merefleksikan sentimen amber-komin dari sisi agama. Dari sisi politik nasional, pembentukan kelompok Melindo (Melanesia Indonesia) adala usaha penyemaian sentimen amber-komin sedangkan pembentukan ULMWP (United Liberation for West Papua) adala usaha pemisahan kedua sentimen tersebut.
- Penunjuk kesamaan, kohesi dan solideritas sosial (dari perspektif komin)
Interaksi sosial yang baik dan akrab antara Papua dan non-Papua bisa bawa perubahan dari makna rasial menjadi makna solidaritas sosial. Untuk itu, pertama-tama sa mo bikin de pu skala sperti di bawa ini:
AMBER________________________________KOMIN
Rasial ================================ Solidaritas
Orang amber bisa sampe ke titik komin kalo su lewat sala satu dari syarat-syarat sosial yang bersifat konvensional di Tana Papua. Pertama, lewat hubungan perkawinan. Laki-laki amber nika deng perempuan komin. Ato, laki-laki komin nika deng perempuan amber. Kedua, lewat kelahiran. Anana yang pu bapa mama amber tapi lahir besar Papua dan slalu bergaul deng anana Papua sejak anana. Ketiga, lewat adopsi. Anana amber yang dapa adopsi dari keluarga komin. Keempat, lewat jaringan sosial dan politik. Individu maupun kelompok amber yang bangun jaringan kesetiakawanan sosial dan politik deng individu maupun kelompok komin. Misalnya, kelompok ‘FRI West Papua’ dan ‘Papua Itu Kita’ dan beberapa kelompok dan/ato lembaga lain dong su bisa pinda dari posisi amber ke posisi komin karena dong su kasi tunjuk dukungan lewat pernyataan lisan/tulis dan tindakan-tindakan nyata.
Bukti-bukti yang bersifat sosiolinguistik yang nan kas tunjuk bahwa dua orang yang baku bicara ada pada posisi amber adala kalo dong dua pake sapaan-sapaan sperti mas, daeng, mbak, ibu dan bapak. Sedangkan, pada posisi komin adala kalo dong dua su pake sapaan-sapaan sperti kaka, ade, bapa, mama, mama ade, mama tua, bapa ade, bapa tua, om, tanta, dll. Tiga conto berikut mo kas tunjuk bagemana proses sapaan amber bisa menjadi sapaan komin.
Pertama, Mas Eko adala orang Jawa yang suka cari-cari bestu (besi tua) untuk beli. Pertama kali de datang cari-cari bestu di kampung Pokhouw anana dan orang besar panggil de mas karna de bukan orang Papua. Daeng Udin orang Makasar yang pake motor dan jual-jual ikan cakalang di kampung Pokhouw. Pertama kali de datang jual ikan anana dan orang besar panggil de daeng karna de bukan orang Papua. Setelah berkali-kali dong dua datang dan akhirnya ketahuan bahwa Eko pu maitua dari Biak dan Udin pu maitua dari Serui maka terjadi perubahan sapaan antara penjual dan pembeli.
Mas Eko waktu de beli bestu di orang Biak dong pu ruma de kas tau bahwa de pu maitua itu orang Biak. Trus, terjadi dialog dan dong tanya-tanya de pu maitua pu silsila. Ternyata, mas Eko pu maitua ada hubungan keluarga maka sapaan mas bruba jadi kaka dan ipar. Anana dong panggil kaka (tanpa nama Eko) dan orang tua dong panggil ipar Jawa (tanpa nama Eko).
Daeng Udin pu cerita juga sama. Waktu de jual ikan sama orang Serui de dengar-dengar begini dong pu cara bicara sama deng de pu maitua pu bahasa. Trus, de tanya-tanya begini ternyata de pu maitua deng pace Serui de pu maitua dong dua ade kaka. Akhirnya, sapaan daeng bruba jadi bapa tua dan kaka. Anana dong panggil bapa tua (tanpa nama Udin) dan pace Serui panggil kaka (tanpa nama Udin). Jadi, setiap kali dong dua datang ato lewat ruma-ruma ini dong dua pu posisi su bruba ke komin. Smua orang kampung panggil dong dua ipar Jawa dan ipar Makasar karna sama-sama kawin orang Papua. Posisi su bruba dari amber ke komin.
Kedua, Dr. Budi Hernawan, peneliti di Institut Abdulrachman Wahid Jakarta, adala orang Jogya yang slalu dapa sapaan-sapaan kaka, sobat dan bapa dari kebanyakan orang Papua. Sa panggil de sobat Budi karna kitong dua pu umur betis (beda-beda tipis). Dalam konteks lain orang Papua bisa panggil de pace Budi ato pace Hernawan karna sobat ini de su lama tinggal dan kerja di kantor keuskupan Jayapura. Kalo sobat Budi datang ke Canberra ato Melbourne (Australia) anana Papua dong biasa panggil de kaka (tanpa nama) karna waktu de kulia untuk de pu titel Doktor di Australian National University (ANU) di Canberra de slalu ikut kegiatan-kegiatan orang Papua. Ole karna itu, sobat Budi su tageser dari posisi amber ke posisi komin.
Ketiga, Surya Anta, juru bicara, ‘Front Rakyat Indonesia (FRI) West Papua’, dan Veronika Koman, pengacara ‘Papua Itu Kita’, lambat ato cepat dong dua su pasti dapa sapaan-sapaan sperti kaka, kaka bos, kaka ibu kalo anana Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) se Jawa Bali dong pu umur ada di bawa Surya dan Veronika. Jadi, secara individu dong dua sedang tageser dari posisi amber ke posisi komin. Sedangkan, secara organisasi kedua institusi ini su ada pada posisi komin sejak lahir.
- Penutup.
Dari sudut sosiolinguistik, bahasa itu de cakadidi. De dinamis. De tra bisa statis ato tadudu ato bakarat di satu tampa saja karna bahasa itu de bagian yang tra bisa talapas dari manusia. Orang Biak dong pu teka-teki tentang bahasa bilang: kora mura ryamura (kemana saja kitong pergi de slalu sama-sama deng kitong). Ole karena itu, pemakaian kata-kata amber dan komin juga su tageser dari Bahasa Biak ke Bahasa Melayu Papua karna bebrapa orang Biak pigi kemana-mana di Tana Papua dan slalu pake dua kata ini. Dan kalau para penyusun Kamus Bahasa Indonesia rasa bahwa kata dua ini bisa kasi kaya perbendarahan kata Bahasa Indonesia maka dong dua bisa dapa pili sebagai kata-kata yang pu nuansa lokal. Dengan demikian dong dua pu nama nae di tingkat nasional.
Sentimen amber-komin masi ada di Tana Papua dan tampa lain di Indonesia dan dunia. Di Tana Papua sentimen ini de pake nama lain seperti pantai-gunung, ikatan keluarga Wondama – panguyuban Jawa Timur, dll. Sentimen-sentimen ini tra bisa hilang tapi tong bisa kas kurang dong pu tensi negatif. Secara nasional, demo Ahok pada bulan November dan Desember 2016 kas tunjuk gambar yang jelas bahwa tensi negatif masi tinggi di NKRI walaupun ada slogan ‘Bhinneka Tunggal Ika’. Ole karena itu, Presiden Jokowi de inisiatif untuk bikin blusukan ke smua komponen bangsa supa kas kurang tensi tersebut.
Beberapa institusi pemerinta dan masyarakat juga gelar macam-macam kegiatan di Jakarta dan daera lain untuk tujuan yang sama. Secara lokal, demo HAM pada tanggal 10 Desember 2016 di Wamena, Jayapura, Manokwari, Sorong dan kota-kota lain juga adala gambaran bahwa Jakarta-Papua pu tensi masi tinggi. Orang Jakarta bilang: “NKRI harga mati” tapi orang Papua bilang “NKRI mati harga”. Pertanyaan dari orang Papua adala Apaka Presiden juga mo bikin blusukan yang sama di Tana Papua dalam konteks HAM? Kalo presiden pu mulut masi takancing kuat-kuat maka tensi yang ada skarang ini tra mungkin dan tra akan turun-turun. Dengan demikian cela antara amber dan komin tra bisa dan tra akan tatutup. Justru tamba bokar dan bokar.
Dari perspektif komin, sapa pun yang injak kaki di Tana Papua seharusnya ikuti pepata Indonesia yang bilang: kalo maso kandang kambing ‘mengembik’ dan kalo maso kandang ayam ‘berkotek’. Kenyataan di Tana Papua kas tunjuk bahwa kebanyakan orang-orang sipil bisa aplikasikan makna yang ada dalam pepata ini deng cara menghormati dan menghargai orang-orang Papua dan dong pu adat-istiadat. Tetapi, aparat negara bersenjata tra perna aplikasikan makna yang ada karna dong sembunyi di blakang slogan ‘NKRI haga mati’.
Orang Papua menganut prinsip ‘kalo mo supa orang lain hormati dan hargai ko maka ko harus lebe duluan kas hormat dan hargai dorang’. Atas dasar prinsip ini, orang Papua buka tangan lebar-lebar untuk trima orang-orang dari Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Bali, Jawa, Sumatra, NTB, NTT. Atas dasar prinsip yang sama, orang Papua trima Freeport, MIFEE dan Kebun Kelapa Sawit di mana-mana.
Ironisnya, kebaikan dapa balas deng kejahatan sehingga pepata Indonesia yang bilang: air susu dibalas dengan air tuba su terjadi, sedang terjadi, dan mungkin akan trus terjadi di kitong pu tana ini. Misalnya, peristiwa-peristiwa perampasan tana adat, penembakan, penyiksaan dan pembunuhan di Timika, Merauke, Kerom, Paniai dimana ada kebun kelapa sawit dan tambang emas adala gambaran yang jelas bahwa sekelompok kecil orang sipil dan perusahaan negara tetap ada pada skala amber. Dong terus pertahankan status quo sehingga trada usaha sama skali untuk pinda pelan-pelan dari status amber ke status komin. Conto lain, Pemerintah Jokowi-JK datang deng pendekatan infrastruktur dan ekonomi.
Ini adala pendekatan amber karna ada pernyataan miring dari Gubernur dan Wakil Gubernur dalam berita Jubi beberapa waktu lalu yang kas tunjuk bahwa pemerinta pusat bangun infrastruktur tanpa kansultasi yang komprehensif deng provinsi. Buktinya, Tempo (30 Juni 2016) kas tau bahwa proyek jalan kreta stop karena pembebasan tana blom rampung. Yang hanya bisa kas beres tana adat adala pemda Papua dan MRP. Sebaliknya, Pemerintah Papua juga datang ke Jakarta deng draft UU OTSUS PLUS. Ini adala pendekatan komin. Tapi, Jubi (9 Desember 2016) kas tau bahwa draft UU Otsus Plus tra maso dalam Prolegnas DPR RI 2017. Jadi, kalo pemerinta pusat masi pake sentimen dan/ato pendekatan amber dan tra mo pusing deng sentimen dan/ato pendekatan komin maka cela yang su bokar ini de tra akan perna tatutup.
Akhirnya, presiden su sadar juga. De bilang begini: ‘Saya ingatkan, pelaksanaan pembangunan Papua juga harus perhatikan nilai-nilai hak asasi manusia’ (Tempo, 9 November 2016). De juga bilang ‘pendekatan budaya pun mesti diperhatikan. Pasalnya, masyarakat Papua merupakan subyek terpenting dalam pembangunan’ (Tempo, 9 November 2016). De tra mo masyarakat Papua hanya jadi penonton tapi harus terlibat dalam pembangunan Papua. Kalo pernyataan-pernyataan ini cuma retorika politik maka tahun depan kitong pasti masi jalan di satu tampa karna jarum amber pada skala amber-komin tra bagarak menuju ke ara titik komin.
Tapi, seandainya, pernyataan di atas datang dari hati yang dalam maka sentimen komin yang merupakan bagian dari pendekatan budaya akan dan bisa bawa hasil yang signifikan bagi orang Papua. Kalo ini yang akan terjadi maka sapaan ‘Mas Jokowi’ yang su bolak-balik kampung-kampung di Tana Papua pada tahun ini akan bruba jadi sapaa ‘Kaka Jokowi’ ato ‘Ipar Jokowi’ (karena de pu maitua IRIANA dari Papua). Dengan demikian, orang Papua akan bilang “Kaka Jokowi itu kitong pu orang” ato “Ipar Jokowi itu kitong pu orang”. Dan juga, konsep kekeluargaan dari antropolog Marshall Sahlins (2014) yaitu: mutuality of belonging (saling memiliki, saling membutuhkan, saling mencintai, saling menghargai dan saling menghormati) akan jadi satu kenyataan yang melukiskan satu keluarga yang harmonis dan beradab dalam ruma ‘Bhinneka Tunggal Ika’
Jow suba!!!
Wa wa wa!!!