Melayu Papua (Bagian II); Nama, Sejarah Dan Tipologi Linguistik

Oleh: Chrisma Fernando Saragih*

Beberapa kesempatan penelitian yang saya lakukan di beberapa tempat di Kepala Burung dan juga Teluk Cenderawasih, saya selalu menghindarkan diri dari menggunakan Bahasa Indonesia ketika mewawancari informan saya. Proses wawancara biasanya berlangsung dengan menggunakan Bahasa Melayu Papua. Hal ini saya lakukan paling tidak untuk dua hal yakni mempermudah informan saya (i) dalam memahami pertanyaan, dan (ii) dalam menyampaikan jawabannya. Tentunya menyampaikan jawaban dengan menggunakan bahasa yang selalu dipakai sehari-hari (Bahasa Melayu Papua) sangatlah berbeda dengan menggunakan bahasa yang hanya dipakai dalam situasi formal/resmi (Bahasa Indonesia).
Dalam kesempatan lain ketika saya sedang mengajar di kelas terkadang saya juga menggunakan Bahasa Melayu Papua untuk menjelaskan misalnya kata, frasa atau kalimat dalam Bahasa Inggris yang kurang dipahami oleh mahasiswa. Dalam pantauan saya (meskipun belum saya teliti secara ilmiah) mahasiswa lebih cepat memahami ketika saya artikan kalimat Bahasa Inggris, misalnya, They are eating cassava sebagai Dong ada makan kasbi dalam Bahasa Melayu Papua dibandingkan Mereka sedang memakan singkong dalam Bahasa Indonesia. Di sela-sela proses wawancara dengan para informan dan proses belajar-mengajar dengan mahasiswa, saya sering bertanya kepada mereka tentang bahasa yang sedang dipakai. Pertanyaan yang sering saya ajukan adalah “Bahasa yang (bapa) tong ada pake ni kira-kira de pu nama apa?”

Jawaban yang saya terima pun bervariasi. Beberapa jawaban yang diberikan, antara lain: (i) Bahasa Indonesia Papua, (ii) Bahasa Indonesia Logat Papua, (iii), Bahasa Indonesia di Papua, (iv) Bahasa Tana, (v) Bahasa Indonesia sehari-hari, tetapi ada juga yang menjawab (iv) Melayu Papua. Meskipun para informan dan mahasiswa saya (yang merupakan penutur dari bahasa ini) dapat menggunakan bahasa ini dan juga dapat membedakan variasi Melayu ini dengan variasi Melayu yang lainnya (misalnya, Melayu Ambon, Melayu Manado d.l.l.), tampaknya mereka memiliki sedikit permasalahan ketika hendak menamai bahasa yang mereka pakai. Hal ini tentunya bukan sesuatu yang spesial karena hal yang sama juga terjadi dalam kebanyakan masyarakat di seantero bumi. Jadi pertanyaannya, apakah nama dari variasi Melayu yang dipakai di Tanah Papua?

Nama variasi Bahasa Melayu yang digunakan di Papua ini memang dalam beberapa literatur, oleh para pemerhati bahasa, disebut secara beragam. Suharno (1979), misalnya, menyebutnya sebagai Indonesia Irian (Irianese Indonesiaan), Roosman (1982) yang juga dikutip oleh Adelaar dan Prentice (1996) menyebutnya dengan nama Melayu Irian Jaya (Irian Jaya Malay). Tetapi saat ini bahasa ini lebih dikenal dengan nama Melayu Papua. Dalam komunikasi personal dan diskusi saya dengan Wiem Burung tahun 2013 dan 2014, beliau mengaku telah menggunakan nama Melayu Papua sejak tahun 2000 ketika berdiskusi dengan koleganya Norm Mudhenk, seorang pencinta Papua yang sangat fasif berbicara Bahasa Melayu Papua. Menurutnya, nama Melayu Papua diusulkan karena bahasa ini merupakan sebuah bahasa yang berakar dari Bahasa Melayu (Austronesia) tetapi juga memiliki ciri-ciri fonologis dan tatabahasa  bahasa-bahasa di Papua (yang sebagian besar merupakan bahasa-bahasa dari kelompok bahasa Non-Austronesia). Nama Melayu Papua kemudian diperkenal secara lebih intensif oleh Wiem Burung dalam berbagai konferensi Lingustik yang diikutinya di Australia pada tahun 2002. Peneliti luar lainnya misalnya Clouse (2000) juga menggunakan varian nama dalam Bahasa Inggris, Papuan Malay.

Di tahun–tahun berikutnya nama Melayu Papua mulai dipakai oleh para pemerhati bahasa baik dari dalam maupun luar negeri, sebut saja beberapa diantaranya: Sawaki (2004), Warami (2005), Donohue dan Sawaki (2007). Referensi nama Melayu Papua ini pun saya gunakan secara bergantian dengan varian Bahasa Inggrisnya Papuan Malay dalam beberapa tulisan saya tentang Melayu Papua, misalnya Saragih (2009, 2013abc dan 2014b). Sampai dengan perkembangan terakhir saat ini, nama Melayu Papua (atau Papuan Malay) merupakan nama yang sering digunakan baik dalam tulisan-tulisan berdasarkan kajian ilmiah maupun tulisan-tulisan populer lainnya. Jadi, jika namanya Melayu Papua, apakah ini berarti ada hubungannya dengan Orang Melayu? Apa hubungan Orang Papua dengan Orang Melayu sehingga mereka menggunakan Bahasa Melayu? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini yang selanjutnya akan saya bahas pada ulasan berikutnya tentang sejarah Bahasa Melayu Papua.

Untuk mempermudah alur pemahaman kita tentang sejarah Bahasa Melayu Papua, baiklah saya membagi masa-masa perkembangan Bahasa Melayu Papua ke dalam tiga tahap, yaitu: (i) Masa Sebelum Kedatangan Bangsa Eropa, (ii) Masa Setelah Kedatangan Bangsa Eropa, dan (iii) Masa Pemerintahan Indonesia. Kapan pertama kalinya Bahasa Melayu digunakan di Papua masih menjadi pertanyaan bagi pemerhati bahasa ini. Tetapi satu hal yang pasti, banyak ahli berpendapat bahwa Bahasa Melayu telah digunakan oleh Orang Papua (khususnya kelompok masyarakat di pesisir pantai jauh sebelum masuknya orang Eropa ke Papua). Roosman (1982 dalam Adelaar dan Prentice, 1996), misalnya, menyebutkan bahwa Melayu Papua (Roosman sendiri menggunakan nama Melayu Irian Jaya) merupakan pijin dari Bahasa Melayu yang telah digunakan kurang lebih selama seratus tahun (sebelum masuknya Bangsa Eropa) sebagai “bahasa pemersatu” (lingua franca) di sepanjang pesisir pantai (Papua) sebagai akibat dari hubungan kontak dagang dengan pedagang-pedagang Melayu dari wilayah barat. Meskipun demikian, keterangan Roosman tentang “pedagang-pedagang Melayu” dari barat, dalam pandangan saya, perlu untuk dikaji lebih lanjut kebenarannya.

Bacaan Lainnya

Orang Papua khususnya penduduk pesisir pantai memang telah lama membangun hubungan dengan dunia luar. Tetapi, hubungan ini pada dasarnya dapat dikatakan sebagai hubungan tidak langsung, karena Orang Papua saat itu tidak bertemu langsung dengan para pedagang dari barat jauh, apalagi Orang Melayu. Hubungan langsung yang pernah dibangun oleh Orang Papua, dalam pengetahuan saya berdasarkan literatur yang saya baca, adalah melalui Bacan, Misool dan Onim (lihat, Lapian, 1984).

Hubungan Orang Papua dan dunia luar semakin intensif pada abad 17 ketika Kerajaan Maritin di Indonesia Timur (termasuk wilayah Papua) dikuasai oleh Kerajaan Tidore. Tetapi hubungan antara Orang Papua dengan pedagang-pedagang Melayu akan menjadi benar seperti yang dikatakan Roosman, apabila kita beranggapan bahwa Orang Tidore, Bacan dan Ternate juga adalah kelompok Orang Melayu atau setidaknya ada keterangan jelas yang menyatakan bahwa pedagang-pedagang Melayu berdagang sampai ke Papua atas dasar ijin dari Kesultanan Tidore. Sehingga, kontak dagang Orang-orang Papua dengan pedagang-pedagang dari barat dalam hal perdagangan barang maupun manusia (budak) dihubungkan melalui Kesultanan Tidore. Di sisi lain, hubungan antara pedagang dari barat dengan Orang Tidore (juga Bacan dan Ternate) juga sudah terjalin sejak lama dan pada dasarnya dibangun dengan menggunakan alat komunikasi Bahasa Melayu (lebih tepatnya apa yang disebut oleh Adelaar dan Prentice (1996) sebagai East Indonesia Pidgin-Malay Derived “Pijin yang berasal dari Bahasa Melayu di Indonesia Timur”. Pijin ini juga yang kemudian digunakan oleh Orang-Orang Papua di pesisir pantai saat berhubungan dagang dengan Orang-orang Tidore dan Ternate termasuk dengan Orang Arab (misalnya di Fakfak) dan Orang Cina.

Berbagai informasi tentang hubungan Tidore – Papua pada masa lalu telah banyak disajikan dalam berbagai literatur (beberapa diantaranya: Lapian, 1984; Muller, 2008; Drooglever, 2010; Sinaga, 2013 d.l.l.) dan juga diceritakan secara lisan oleh penduduk pesisir pantai Papua (misalnya, Pantai Barat dan Utara Papua). Bukti-bukti hubungan ini sampai saat ini dapat terlihat dari nama-nama keluarga dari penduduk pesisir pantai Papua (misalnya Raja Ampat – Teluk Cenderawasih) yang diadopsi dari nama-nama gelar yang diberikan oleh Kesultanan Tidore. Pada masa setelah kedatangan bangsa Eropa (terutama masa pekabaran injil), banyak guru injil lokal dari Sanger, Ambon dan Manado yang didatangkan oleh para misionaris Belanda untuk mengajar dan mendidik Orang Papua. Kedangan para guru lokal ini disertai juga dengan Bahasa Melayu mereka. Itu sebabnya, Bahasa Melayu Papua mendapat pengaruh yang sangat besar dari Bahasa Melayu Ambon, Sanger dan Manado. Salah Satu contoh yang nyata dapat kita melihat pada penggunaan persona orang (kata ganti orang). Dan akhirnya, pada tahun 1963 setelah melalui upaya aneksasi yang dilakukan pemerintah Indonesia, Papua akhirnya masuk ke dalam wilayah NKRI. Dengan diterapkannya penggunaan Bahasa Indonesia di Papua, Bahasa Melayu Papua pun semakin berkembang dengan mengadopsi beberapa kosakata bahkan tatanan grammatika Bahasa Indonesia.

Jadi rangkain kesatuan Kreol Melayu Papua dapat dijabarkan sebagai berikut: Berawal dari pijin yang berakar dari Bahasa Melayu yang dipakai oleh Orang (pesisir) Papua sebelum kedatangan bangsa Eropa ketika berhubungan dengan Orang Tidore kemudian mengalami proses kreolisasi (dengan mengadopsi beberapa satuan lingual dari Bahasa Melayu Ambon, Sanger dan Manado dan juga Bahasa Indonesia, yang secara politis diajarkan di Papua sejak 1963) serta tatabahasa/grammatika bahasa–bahasa di Papua) dan akhirnya menjadi Bahasa Melayu Papua yang kita gunakan saat ini di Tanah Papua. Bahasa Melayu Papua dapat juga disebut sebuah kreol karena bahasa ini berasal dari sebuah pijin. Seperti apa fitur-fitur tipologi linguistik dari Bahasa Melayu Papua, dalam perkembangannya saat ini, akan saya paparkan dibawah ini.

Melayu Papua adalah Bahasa Melayu yang dipakai di Papua. Bahasa secara luas dipakai di pesisir Pantai Barat dan Utara Pulau Papua. Melayu Papua berkembang melalui proses pijinisasi dari Bahasa Melayu yang pada masa lalu dipakai oleh penduduk-penduduk bagian timur Indonesia dan menjadi pijin yang secara khusus digunakan oleh pedagang Tidore dan Ternate dalam berkomunikasi Orang (pesisir) Papua, dan kemudian melalui proses kreolisasi, pijin ini menjadi kreol setelah digunakan oleh generasi penerus dari orang-orang Papua sebagai bahasa pertama mereka. Secara singkat, tipologi Bahasa Melayu Papua adalah sebagai berikut.

Tata Bahasa Melayu Papua saat ini telah dibuat atau ditulis oleh Angela Kluge, mahasiswa S3 di Universitas Leiden Belanda sebagai disertasi doktoralnya (Kluge, 2014). Oleh karena itu, deskripsi tentang tipologi Bahasa Melayu Papua ini adalah sebuah gambaran secara umum tipologi dari Bahasa Melayu Papua.

Melayu Papua, secara sintaksis, memiliki tatanan kata SVO (subjek – verba – objek), seperti pada kalimat sa pukul dorang [sa, orang pertama tunggal, memiliki fungsi sintaksis sebagai subjek; pukul berfungsi sebagai verba predikatif/kata kerja; dan, dorang, orang ketiga jamak, berfungsi sebagai objek]. Tatanan kata ini merupakan tatanan kata yang dimiliki oleh sebagian besar bahasa yang berasal dari proto Bahasa Austronesia. Tetapi dalam kasus tertentu (misalnya untuk fungsi topikalisasi) struktur kata SVO dapat berubah menjadi OSV misalnya dalam klausa nasi sa makan. Melayu Papua, secara genetis, dapat diafiliasikan kedalam kelompok Bahasa-Bahasa yang berasal dari Proto Bahasa Austronesia. Burung (2008) mengatakan bahwa, secara fonologis, beberapa fonem (bunyi) yang terdapat dalam Bahasa Melayu Papua, baik konsonan maupun vokal secara berturut-turut adalah b, p, d, t, k, g, m, n, ny, ng, s, h, c, j, r, l, w, y dan  i, e, a, o, u. Dan bila dipandang dari sisi morfologis, Bahasa Melayu Papua tergolong bahasa isolating atau analitis dengan tingkat infleksi gramatika pada nomina (kata benda), verba (kata kerja), maupun adjektiva (kata sifat) yang sangat jarang. Beberapa imbuhan (affiks) yang terdapat di Bahasa Melayu Papua antara lain, imbuhan awalan (prefiks) ta- seperti pada kata ta-tutup dan ba- seperti pada kata ba-jalan.

Demikianlah sedikit gambaran singkat tentang Bahasa Melayu Papua yang dapat saya berikan. Dalam bagian selanjutnya, saya akan memaparkan situasi dan status sosiolinguistik dari Bahasa Melayu Papua yang mana telah membentuk dan menjadi sebuah identitas baru bagi Etnik Nusantara Papua yang hidup di Tanah Papua.

*Chrisma Fernando Saragih, Dosen Linguistik pada Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Papua.

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.