Cerpen:Sesilius Kegou) *
Di bukit danau Hitam Keriting, akududuk merenung dari matahari terbit hingga terbenam di barat daya. Aku bersaksi keruntuhan dunia. Danau pemakan Nyawa dalam sejarah oleh pendahului. Gelap semakin gulita. Angin berhembusberseliweran perlahan di sela-sela dedaunan. Di langit sang rembulan begitu mempesonadiantaragugusan awan putih yang tengah berarak. Sementara di kejauhan si hantu meneriak.Sekali dengar lolong anjing saling bersatuhan.
Di dalam rumah kayu tua, beralas serat kayu, sedikit berdebu, beberapa tiang mulai rapuk, tanpa jendela kaca. Gubuk itu terletak di pinggir kampung.Beberapa pohon jati mengelilingi mendominasi.
Suasana semakin mencekam.
***
Pepohonan menjadi suram, hanya kelelawar terbang kepakkan sayapnya hendak mencari buah pisang, matoa,pepaya di samping gubuk setengah tua. Terimakasih dengan tergesah menata kertas diatas meja yang ada di tengah ruangan. Cukup,hanya sebatang lilin terpasang samping kertas yang aku tulis. Sedangkan tolong sedari tadi, hilir mudik di depan pintu sambil sesekali matanya melirik jam yang tergantung di dinding rumah. Sesaat kemudian, pintu itu terbuka. Maaf, Peduli dan Hormat, tergopoh-gopoh masuk.
“Maaf, kami terlambat,” Ujar maaf, mewakili teman-temannya. Kemudian mengaru kepalanya, entah mengapa.
“Tidak mengapa kawan, kami juga sedang bersiap-siap,” jawab Terimakasih sambil mempersilahkan tamu-tamunya duduk.
Sesaat suasana hening.
“Pertemuan malam ini adalah hal yang penting untuk kelangsungan hidup kita,” kata terimakasih membuka percakapan.
“Tentu kalian sepakat, saat ini kita sudah menjadi kelompok minoritas. Kelompok kecil yang sewaktu-waktu bisa di singkirkan begitu saja.”
“Benar, aku juga merasakannya. Orang-orang tidak lagi kepeduliaan. Baik dengan lingkungan, sesama bahkan dengan Tuhan. Mereka membuang sampah sembarangan, menguras kekayaan, meresap uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan kroninya sementara sama berkubang dengan kemiskinan, melakukan banyak Dosa tanpa memikirkan keberadaan Tuhan. Benar-benar menyedihkan!” sambung Pribadi.
“Apalagi dengan aku!” sela Hormat. “orang-orang saat ini juga sudah kehilangan rasa hormat dengan sesamanya. Maunya membuat segalanya jadi seragam. Jika ada yang berbeda, Negara saja di perangi dengan menggunakan bermacam-macam alasan!”
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki berderap-derap.
“Kalian yang berada dalam rumah, ayo segerah keluar!” teriak sebuah suara.
Segera Terimakasih membuka pintu diikuti Tolong, Maaf, Peduli dan Hormat. Diluar rumah banyak orang berdiri dengan muka marah. Beberapa membawa membawa obor. Bajak juga membawa pentungan dan senjata tajam. Terlihat dari barisan depan Fitnah, Caci-Maki, Bunuh, Eksploitasi dan bakar.
“Ada apa kalian kesini?” tanya terimakasih berusaha menguasai keadaan.
“Kalian telah melakukan makar. Kalian berusaha menghasut banyak orang untuk mengikuti kehendak kalian. Kalian harus dilenyapkan!” tegas Fitnah dan Caci-Maki hampir bersamaan. Dan orang-orang itu pun bergerak.
Bunuh memberi komando untuk bunuh semua orang sementara bakar menyiramkan bensin ke sekeliling rumah kayuku. Karenah jumlah tidak seimbang, Terimakasih, Maaf, Peduli, Tolong dan Hormat akhirnya mati karena serang oleh sekelompok itu. Tubuh mereka bercabik-cabik. Darah menetes bagaikan aliran mata air di musim hujan. Malam beranjak pagi, ketika semuanya benar-benar berakhir. Tinggal puting-puting yang masih mengumpulkan asap.
Hening. Sunyi. Papua berduka.
)*Penulis adalah mahasiswa Papua kuliah di Semarang