Nabire, Jubi – Penyair Manfred Kudiai meluncurkan antologi puisinya yang berjudul “Jalan Pemberontak” pada Jumat (26/2/2021). Antologi itu berisi kumpulan puisi yang ditulis Kudiai hingga pertengahan 2019 lalu.
Kudiai menceritakan peluncuran antologi puisi pertamanya itu terkendala sejak 2019 lalu. “Untuk mencetak buku itu, saya [menjadi tukang] ojek. Hasil dari ojek kemudian saya kumpulkan [untuk biaya] mencetak buku. Suatu ketika, telepon genggam saya jatuh dan hilang, saya sempat bingung mau ganti telepon genggam atau mencetak buku,” ujar Kudiai tersenyum.
Kudiai menuturkan, aktivitas menulis baginya merupakan perenungan yang panjang. Kudiai menyebut, ia memiliki terlalu banyak persoalan yang memenjarakan jiwanya, dan menggunakan proses kreatif menulis untuk mengurai beragam pikirannya.
“Saya tuangkan dalam bentuk puisi sampai buku ini terbit,” katanya.
Kudiai mengatakan banyak pihak yang memotivasinya untuk menulis serta mencetak buku. Ia menyampaikan rasa terima kasihnya kepada semua pihak yang selalu membantu penerbitan antologi puisi “Jalan Pemberontak”.
“Saya sangat berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung peluncuran buku puisi saya, terutama kepada Apro Publisher dan Fawawi Club yang telah menyelenggarakan kegiatan ini, yang telah menghadirkan penyair Indonesia [seperti] Bapak Joko Pinurbo dan Vonny Aronggea, serta pembawa acara Aprila Wayar,” katanya.
Kudiai berharap buku itu membawa harapan yang dicita-citakan, yakni pembebasan.
“Buku yang saya tulis dengan judul ‘Jalan Pemberontak’ itu bukan buku puisi, tapi kata-kata yang lahir karena derita, yang mengoneksikan sejumlah hal,” kata Kudiai.
Ia mengatakan seluruh pembaca dapat memberikan kritik dan sarannya atas karya Kudiai itu. “Ini awal bagi saya, untuk menulis buku. Adik-adik yang lain juga harus bisa menulis buku,” katanya.
Penyair Joko Pinurbo yang menjadi pembedah antologi puisi “Jalan Pemberontak” mengatakan suasana prihatin pada masa perayaan Paskah harus menjadi perhatian bersama. Suasana pandemi COVID-19 juga penuh ketidakpastian, membuat dampak persoalan terasakan berlipat ganda.
“Di tengah banyak persoalan itu, Manfred Kudiai hadir dengan buku puisi berjudul ‘Jalan Pemberontak’. Di tengah situasi yang penuh dengan penderitaan dan keprihatinan, kita mempunyai puisi sebagai alat ucap dan sarana untuk menyalakan harapan,” katanya.
Jokpin, panggilan akrab Joko Pinurbo, mengatakan pada masa pra Paskah umat Kristiani menghayati penderitaan Yesus Kristus, namun umat di Papua mengalami penderitaan sesungguhnya.
“Kumpulan puisi Manfred Kudiai itu merupakan gambaran situasi Papua hari ini. Tubuh Kristus yang bercucuran darah, itulah intisari dari puisi yang dituliskan oleh Manfred Kudiai,” katanya.
Menurut Jokpin, Kudiai sebagai pengikut Kristus tidak ingin menyerah kepada kekalahan. Ia bukan hanya melakukan “perlawanan”, tapi juga “pemberontakan”. “Pemberontakan terhadap sistem kekuasaan yang membuat bangsa Papua kehilangan harkat dan martabatnya, yang membuat bangsa Papua tidak bisa damai. Saya menangkap bahwa puisi-puisi itu manifestasi dari penghayatan Manfred sebagai orang Kristiani,” katanya.
Jokpin mengatakan jalan yang penuh duri, sebagaimana jalan salib yang penuh penderitaan dan pengorbanan, tidak boleh membuat penyair menyerah dan putus atas.
“Manfred masih percaya pada kekuatan puisi. Puisi memang tidak bisa mengubah situasi, tidak bisa mengubah kondisi masyarakat. Akan tetapi, puisi bisa menginspirasi orang,” kata Jokpin.
Menurut Jokpin, kekuatan dari seorang penyair puisi adalah bagaimana kata bisa didayagunakan untuk menggugah kesadaran orang. “Khususnya generasi muda Papua,” kata Jokpin. (*)
Di ambil dari Portal Jubi Papua No. 1 News
Editor: Aryo Wisanggeni G