Kabar baru di belantara Sima

Alam Piyaiye- Foto Dok.(Rinto)
Alam Piyaiye- Foto Dok.(Rinto)

Oleh: Sesilius Kegou

Setelah cakrawala menetas, langit tetap biru karena musim panas, dalam kesunyian terdengar burung Mambruk terbang gagah kepakan sayapnya di atas rumputan hijau Sima Nabire, cahaya sang surya mulai bersinar menerangi teluk Cendrawasih, pancaran cahaya  masuk celah-celah dedaunan pohon tembus permukaan tanah, juga menerangiku. Nyamuk menggigitku sekujur tubuhku susah mengusirnya aku jadi gila, sunyi diantara menjulan tinggi pepohonan semesta, ciptaan Tuhan.

“Alam ini kau berikan kami orang kulit hitam, untuk menghidupi,” Sepenggal Doaku, aku naikan Pada Tuhan, Simbol ucapan Syukurku disana.

Sepanjang hariku senapan hitam 257 milik Moses menemani dalam genggamanku, tujuanku hanya berburu burung bersama sih gadis ogeihe Imelda dan sahabatku Ronal Magai di alam hutan Sima, bagian barat dari letak pusat kota Nabire. Saat liburan Setelah dengar hasil ujian Nasional dua minggu yang lalu  di SMA Negeri 1 Nabire Papua. Beberapa kawan-kawanku bersama Kori ke pulau Mor bibir teluk Cendrawasih, kunjungi orang tuanya. Kori teman kelasku, dia penulis Puisi.

Pagi hari yang cerah, capung terbang depanku tanpa suara, menanda hari itu semakin siang. sekitarku terlihat burung-burung berkijau, bergegas terbang kejauhan. Ketika itu dalam lubukku terlahir suasana gembira bersama seorang pramuriaku di belantara Sima. Pertamakali aku mengajaknya.

Lagu saugas menemani kami.

Bacaan Lainnya

Gadis Ogeihe dengan penuh senyum di raut wajahya, tatapan cantik seakan bunga angkrek Hitam ditaman liar gunung Weiland Mapia, menatapku. Menjadi terharu, aku menap tajam padanya. Aku benar-benar jatuh cinta padanya. Inilah kisahku, awal lembaran cinta di  alam Papua yang kini eksploitasi oleh penguasa kapitalis militerisme dunia.

***

“Eman, hutan ini punya sejarah. Sejarah para tete, nenek moyang dulu,” kata gadis berbaju biru itu.

Diam sejenak, seakan aku berada dalam mimpi, teringatku mimpi malam tadi, aku menaiki dalam Sabhara oleh beberapa lelaki, mereka memiliki senjata, berbaju ABRI di sebuah pintasan jalan perusahaan. Tarik nafasku, hembuskan, tarik lagi kemudian hembus perlahan. “Tiup  angin segar tiga kali” hanya ini ingatanku.

Aku duduk sambil memnggit peluru tima diatas kayu kering dan memandang tajam Ronal yang sedang menulis karyanya dalam buku harian, dia adalah berhobi minum kopi dan baca Novel, kesukaannya Novel Dillan, Andrea Hirata. Tiba-tiba air mataku tercucur, tetesan air mataku berdinar deraih di pipiku. “Eman, Kenapa?” Ronal menghapiriku.

Letakkan tangannya diatas bahuku.

Kami duduk berjejer, sedangkan Imelda masih duduk di dahang pohon Matoa kering lama ditumbangi oleh perusahan kelapa sawit. Peningkatan produksi CPO di ekspansi yang terus meningkat dari sekitar 6,5 juta hektar di 2006 menjadi 13, 5 juta hektar pada tahun 2013 (sawit wach, 2013). Dengan ini, Indonesia mencataatkan dirinya sebagai negara yang memiliki luasan perkebunan sawit terbesar di dunia. Perkebunan sawit di papua saat ini mencapai 958. 094,2 hektar dengan 79 perusan perkebunan, termasuk disini, kebun kelapa sawit Sima, Nabire.

Tulang-tuangku tak ada daya, hutan itu tak terlihat lagi  pesona sejak aku Sekolah Menengah Pertama. “Eman, Imel, aku ke bagian utara kepala air ini,” kata Ronal ketika pamit bersama senapan hitam.

Hutan  itu kini  hanya aku Imelda. Tanpa perbincangan, Imelda tetesan air mata. Wajah Imelda yang penuh piluh dalam kesedihan, aku menjadi kebingunan, banyak pertanyaan dalam hatiku, “masalah apa yang ia hadapi selama ini?” Secepatnya aku letakan senapan di batang kayu Besi yang telah tumbangi, dan bergegas selangkah merapat depan  gadis lesung itu.

“Sayang, ada masalah apa? Adakah aku bersalah padamu? Ataukah, di hutan ini kamu lihat sesuatu dimatamu yang tak dapat ku lihat?”

Tak ada jawabnya.

Aku mulai memegang  tangannya dengan penuh rasa sayang, kemudian  mencoba memacing berbicara padaku  sambil menghapus air mata yang kini berninar di pipi lesungnya.

“Kenapa, Ah! Bicara,” harapku, aku jadi perlahan gelisa. Ingin mengetahui sebab tangisan Imelda.

Mendengar pertanyaan-pertanyaanku menyentuh hati Imelda, seakan aku mengajak gadis Ogeihe menambah sedih dalam sunyi alam belantara “memang aku salah”. Betapa pilunya gadis ogeihe terus menangis  berseduh-seduh, memelukku.

Batinku terasa, tubuh dan otak Imelda terasa lemas.

Mata hari semakin tinggi, tak lama lagi Imelda melepaskan tangannya yang setadi meletak di bahuku dan bergeser kesamping kananku. Aku diam, Imelda menatap ke angkasa menjepitkan jari-jarinya di wajahnya hapus air matanya.

“Lihat aku, hutan yang membisu di tempat ini, udara yang sejuk sempurna membawaku segar,” ujar Imel sambil menghapus air matanya.

Diam sejenak, memetik beberapa daun Matoa di sampingnya.

“Eksploitasi dan eksplorasi Papua semakin membumi, memakan tanah Papua oleh bangsa-bangsa duni yang berkuasa. Seandanya, Papua ini Tuhan menyimpan disurga, para kapitalis tak ada gunanya,” Ucapan keluh padaku. Cukup menarik.

***

Terdengar unggaspun ikut bernyanyi bagaikan seluring, aku dan Imelda menjalan hubungan berpacaran menjalan empat bulan, setelah bulan Maret.

“Akankah, diriku menjadi kekasihmu hingga ajal tiba? Aku anak yatim dan piatu, ibundaku tiga hari yang lalu telah pulang Menghadap Pengadilan tertinggi Takhta di Sorga. Tak tahu siapa Ayahku, seperti apa wajah-Nya. Ayahku saat aku berumur satu tahun, dihanyut oleh Sungai Adai ‘sungai letak di Piyaiye’ saat ia meyebrang tujuan menjemput Pastor Krismadi.”

Diam sejenak.

“Apakah akan saya lanjut kuliah dengan keadaan saya yang saya rasakan? Saya ingin tak lanjut kuliah karena latar belakang saya begini nyatanya. Itu komitmenku! Tak mampu menerima kenyataan ini. Magapai! Ah! Berikan aku solusi.”

Semua perkatan yang dilontarkan oleh Imelda memang fakta, aku duduk menatap tajam dan bisu mendengar, tercucur air mataku di kelopak mataku, raga semakin tak ada daya. Seusai Imelda membuka pintu hati lebar dan menusuk pulas semua isi hati yang pernah pendam menyimpan lekat dalam lubuknya, selama hidupnya. Semuanya nyaris!

Diam membisu mengoleh ke kanan selama beberapa menit sambil memetik daun pohon petik satu buang satu. Aku  merapat padanya, duduk berjejeran. Dengan suara yang lembut hati yang ikhalas, aku ingin membangkitkan gairah juang.

“Sudahkah Pembicaraanmu, Oumau?”

“Ia, sudah. Begitulah apa yang ku rasa selama ini Magapai.”

“Sengaja Imelda mengajakku ke Sima,” batinku. Imel sudah tahu, aku adalah salahsatu seorang Pelajar yang pandai di Sekolah kami. Aku tak terlepas dari Ronal, dia adalah guruku, lagi pula  penuh perhatian pada diriku.

“Imel?

“Apakah aku boleh bicara?”

“Boleh.”

“Tuhan mempertemukan kita disini hari ini. Situasi berdua ini, tak satu pun datang menggodai. Hanya ada membagi pemahaman diantara kita berdua, kau dan aku,” aku mencoba memberi solusi, “Pandanglah burung dilangit, yang tak menabur dan tak menuai dan tidak mengumpulan bekal dalam lubang, namun diberimakan oleh bapa di Sorga apakah kamu jauh melebihi burung-burung? (Matius 6:26).” Aku mengambil salah satu perumpamaan ia mulai meguras kedalam.

Imelda senantiasa menerima semua uraian kata-kata  itu, hati yang penuh pilu, semua pandangan-pandangan baru datangku bagaikan arus air yang mengalir menghanyut ranting-ranting rangkaian pedih yang terpendam dalam diri Imelda. Tak lama lagi Emanuel mengambil perumpamaan yang lain serupa dengan tadinya.

“Lihat, semut mera sedang berbaris diatas ranting pohon yang kau megang itu, mereka pun mempunyai harapan hidup, mereka diberi makan oleh Allah Bapa di Sorga. Apalagi kita, manusia. Saya tahu Adindaku” aku terus berbicara bermacam sudut pandang, “Saat ini kita sudah  dengar hasil Ujuan Nasional, aku telah tembus SBMPTN dapat di Semarang dan impianmu akan jadi orang sukses. Aku masih ingat, pernah kamu uraikan cita-citamu jadi Seorang Pilot pesawat wings Air nantinya,” aku sudah tahu, dua minggu yang lalu Imelda sudah daftar dan telah ikut test Penerbangan melalui online study di Inggris. Namun,  Imelda tak yakin akan  diterima, imelda. Imelda tak lupa doa agar dapat diterima.

Semua pedih di hantam hanyut oleh tangisan di hulan belantara, wajah yang cantik bagi polesan butiran air embun pagi diatas dedaunan, suasana yang sepih hening diantara mereka.

“Kemaring saya ke warnet Purnama, saya kunjungi webstte. www.flybest.co.id/, kamu telah di terima sebagai mahasiswi Universty Of Liverpol, jurusan Penerbangan. Nama-nana yang telah lolos sudah tempel di mading Dinas Pendidikan Nabire.” Kataku sambil perlihatkan nama-nama yang telah tembus study penerbangan tersisip dalam galeryku.

Imelda tersenyum datang memelukku, terimakasih padaku, tibanya Ronal dan segera bergegas pulang ke Kota Nabire bersama sahabat Ronal bercita-cita Sastrawan itu. Eman lelaki idaman Imelda.

Penulis adalah: Wartawan Suarameepago

Berikan Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.