Tuhan, Kau Korbankan Jiwa Dan Raga-Mu Tuk Tebus Dosa-Kami
Tuhan, jum’at agung kini tiba…
Ingatan akan derita-Mu,
mengguncang hati dan jiwa lemah ini.
Kau yang esa difitnah…
Kau yang agung disiksi…
Kau yang Ilahi disalib…
Tak ada s’dikit pun marah, tak ada s’dikit pun benci yang kau b’ri pada kami atas salah dan dosa-kami.
Tuhan, tulus dan setia-Mu menembus kami…
Tulus dan setia-Mu menembus Jagad…
Tulus dan setia-Mu pun menembus tahta-Mu…
S’mua karna cinta-Mu pada kami tanpa batas.
Saat detik kau embus nafas-Mu…
Saat detik hendak Kau tinggalkan kami dan bumi ini…
Kau masih mendoakan kami dengan suara lembut-Mu “…ya Bapak, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat…”.
Tuhan, tak berdaya hati ini…
Tuhan, aku malu atas kejam-nya jiwa manusia yang suka iri, benci, jahat, bahkan saling membunuh hanya karna keduniawian yang diselimuti hawanafsu…
Tuhan, ampunilah dosa-kami yang turut memb’rikan beban berat pada salib-Mu.
Walau kisah-Mu ribuan tahun yang silam, peristiwa itu hingga kini menjiwai kami, ampuni dosa-kami Tuhan….
Walau kisah-Mu ribuan tahun yang silam, ajari dan terangi kami tuk bisa mengorbankan jiwa dan raga-kami demi k’selamatan umat manusia dan s’mua karya ciptaan-Mu, s’perti ajaran pengorbanan yang kau b’ri tuk tebus dosa-kami.
Jakarta, Jum’at, 2 April 2021
Anak-Mu, Marthen Goo ( penyair di bumi tuk mengetok pintu sorga-Mu )
Aku Mencintaimu
bukan karna sempurna-nya tubuh-mu…
sadar-ku, tubuh kan kian menua,
mati dan sirna ditelan bumi…
Aku mencintai mu,
bukan karna elok dan indah-nya tubuh-mu…
bukan karna cantik-nya paras-mu…
karna tak ada yang abadi selagi masih di jagad ini.
Aku mencintai mu,
karna karakter-mu yang menyentuh hati-ku,
karna lugu-mu yang menenggelamkan asmara-ku…
karna tulus dan setia-mu yang mengikat hati-ku.
yang ku tahu,
karna cinta itu abadi di bumi dan Sorga…
dan aku pun mencintai mu di bumi dan di Sorga.
Secangkir Kopi Di Menteng & RDP
Siang itu membakar…
Tak satu pun yang dilewatkan,
tidak juga aku dan diri mu.
Sepoìan angin terasa pelit tuk memberikan sehelai sejuk…
Pahitnya kopi pun menusuk hingga dalamnya tubuh terasa..
Setetes demi setetes kopi terhenti sejenak, saat kubaca kian banyak pejabat yang nolak RDP.
Pahitnya kopi tak terasa lagi karna digantikan logika yang sedikit menertawakan lelucon para birokrat.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang wajib untuk rakyat ditolak birokrat, ironi bukan, gelitik hati, mungkin juga nyindir yang diekspresikan dalam senyum.
Kopi, terkadang kau mengajak ku tuk melihat lelocon dibalik upaya tutupnya demokrasi dan upaya mematikan kesadaran kritis rakyat.
Masih di bawah mentari…
Ditemani secangkir kopi tuk melirik pernyataan yang bertentangan dengan legal desentralisasi asimetris yang dimiliki MRP.
Jakarta, 17 November 2020