PR dari penjaga warung Burjo

Penjaga warung Burjo –Doc.Guideku.com
Penjaga warung Burjo –Doc.Guideku.com

Oleh: Bastian Tebay

Rabu (18/07) siang, panas sinar matahari rasanya membakar sekujur tubuhku. Tetes-tetes keringat menghiasi wajah, dan jatuh membasahi busana yang kukenakan. Berlahan, kukayuh sepeda tuaku. Beberapa waktu kemudian, sampailah aku di Gedong Kuning, Jl.Perkutuk, Yogyakarta, di kontrakan Dogiyai.

“Ah, Bastian, ko keringat sekali…. Kamu  dari mana baru datang ini?” Tanya Yustinus, seorang teman seangkatanku dari Papua.

”Adu nogei… saya baru datang dari saya punya kos, di Pringwulung, di  belakang apartemen Sejahtera, di belakang kampus II Sanata Dharma di Mrican, pake sepeda tua ini, nogei…”

Saya langsung ke belakang, dan mencari air. Ternyata air habis, padahal saya haus.  Di depan kontrakan itu ada warung Burjo kecil. Bergegas aku ke warung itu, dan meminta air putih.

Setelah minum segelas, kusodorkan uang Rp.1.000,00. Penjual itu hanya tersenyum menolaknya. Kutambah segelas. Kuminum airnya, dan kusodorkan lagi uang yang masih di tanganku itu. Ia menolaknya. Saya masih haus, dan meminum air untuk gelas yang ketiga.

Bacaan Lainnya

“Pace, kayanya ko haus sekali. Ko dari mana?” Tanya penjaga warung itu dengan nada selidik. Saya kaget mendengar logat Papuanya yang begitu kental itu.

“Mas, kayanya mas perrnah tinggal di Papua ini,..” kataku kepada penjaga warung itu, yang saya perkirakan orang Jawa asli.

“Pace, saya ini orang jawa, tapi lahir besar Papua, makanya ko pu kaka-kaka Papua itu biasa pake logat Papua saja bila bicara dan datang ke warung saya ini.”

Pace, saya harus panggil ko siapa ini?” tanyanya dengan tersenyum. Dan mulailah kuperkenalkan namaku. Mas itu juga memperkenalkan identitasnya. Kemudian ia mulai memberondongku dengan beragam pertanyaan.

Dia bertanya mengapa saya pilih Yogya sebagai kota studi. Mengapa memilih prodi Akuntansi. Mengapa masuk UTY. Mengapa tinggalnya di kos, bukannya di kontrakan dogiyai. Mengapa lalu naik kapal, tidak pake pesawat dari Papua untuk datang ke Yogya. Bagaimana keadaan Papua. Bagaimana kesannya saya terhadap kehidupan di kota Yogya. Dan beragam pertanyaan lainnya. Kujawab seperlunya saja.

Setelah mendengar semua jawabanku, ia menarik nafas panjang. Kursi tempat duduknya mulai ia geser, mendekati tempat dudukku. Saya hanya menanti apa yang akan dikatakannya. Dan ia memberiku banyak nasehat.

Ia jelaskan perbedaan karkter orang Papua, dan karakter orang Jawa, menurut pemahamannya. Ia jelaskan cara mendekati dan bersikap dan bertuturkata dengan orang-orang di Yogya. Ia juga menjelaskan, bagaimana hidup yang layak itu harus diperjuangkan sampai ketika kita dipanggil Dia yang di Atas. Ia memberiku pemahaman, bagaimana harus belajar dan memanfaatkan waktu dengan kegiatan yang bermanfaat di Yogya. Banyak hal yang dikatakannya padaku. Dia, yang semula kupandang hanya penjaja warung, kini mulai berhasil merubah pandanganku terhadapnya menjadi seorang ‘bapa’ yang memberiku petuah hidup untuk berjuang.

Dia telah mengatakan hal-hal yang penting untuk kuketahui, sama seperti yang dijelaskan oleh kaka Longgi  Pekey, kaka Jhon Kuayo, dan kaka Yerino Maday pada beberapa waktu lalu.

“Bastian, 3 setengah tahun itu waktu minimal kamu kuliah di Universitas.  Selama itu, di samping kuliah, kamu harus fasih berbicara menggunakan bahasa inggris. Ini PR tambahan dariku untukmu, Bastian. Waktumu mengerjakannya sampai kamu wisuda. Setelah wisuda, datanglah ke tempatku ini, dan kita akan berbincang-bincang lagi menggunakan bahasa inggris. Ketika itulah akan saya tentukan, kamu lulus atau tidak.”

Setelahnya ia jelaskan pentingnya menguasai bahasa yang satu itu. Tetapi saya bingung akan belajar bahasa ingris dimana. Lagi pula, saya  masih belum menguasai banyak kosakata bahasa inggris, sehingga membuat saya susah untuk memahani, apalagi berbicara dengan menggunakan bahasa inggris.

“Sering-sering mampirlah ke warung ini. Kita akan mencoba berbicara pake bahasa inggris. Saya dulu pernah bekerja sebagai pemandu wisata di candi Prambanan. Saya mengerti bahasa inggris. Datanglah ke istanaku ini sering. Bila ada waktu,” katanya.  “Daripada ko ikut kursus dan bayar mahal. Hehehe… ”, sambungnya berkelakar.

“Iya mas,” kataku menjawabnya.

“Tapi ingat, hafal kosakata bahasa inggris, 3 kata sehari ee… Bastian.”

Tidak terasa sudah jam 5 sore. Saya masih belum menguasai jalan pulang ke kos. Daripada tersesat, lebih baik saya bergegas pulang sebelum gelap, pikirku dalam hati. Setelah berpamitan dengan mas penjaga warung itu. Saya bersiap pulang ke kos.

Kuambil sepedaku. Dan berlahan, kukayuh lagi sepeda tuaku itu menuju kos.

Penulis adalah Warga Papua Tinggal di Papua