Oleh: Julian Howai
(Dari Aktivis 98, Staf DPR RI, Penulis-Penjual Buku, Staf Ahli DPR Papua, Juru Bicara Gubernur Papua, hingga merantau ke AS)
“.Laki-Laki Buton-Papua kelahiran Abe Pantai, Jayapura, Tanah Papua, satu di sebelah saya ini memang de aslii skalii ! Kalo sa mo tulis tong dua pu kisah pertemuan hingga menjadi kawan karib yang dimulai dari menjadi wartawan dan penulis pejalan kaki di Abepura, Jayapura, Tanah Papua, lalu memutuskan nekad merantau jauh hingga menaklukan jalanan kota New York, New Jersey, Atlanta (Georgia), dan kota-kota lain di Amerika Serikat, mungkin bisa menjadi kisah yang menarik.
Laki-laki ini de pu kisah hidup memang menarik & dapapt memberi inspirasi tentang lika-liku suatu perjuangan hidup. Dia lahir dari keluarga komunitas Buton kurang mampu di Abe Pantai (Abepura Pantai) yang berprofesi sebagai petani plus nelayan tradisional.
Sempat menyelesaikan SD di kota kelahiraannya Jayapura. Lalu lari dan merantau ke Ambon Maluku. Di Ambon dia hanya hidup di jalanan, pasar dan terminal untuk mencari nafkah sambil bertahan hidup. Beruntung, dia sempat berhasil menamatkan pendidikan SMP di kota ini. Lalu dia memutuskan lari ke Dili Timor Leste lagi di awal 1990an dan bersekolah hingga menamatkan SMA di kota tempat para pejuang Timo Leste seperti Ramos Horta danXanana Gusmao tinggal.
Dari Dili, ibu kota negara Timor Leste sekarang, dia memutuskan merantau & kuliah di Jakarta, dengan bekal uang receh yg di dapat dari hasil menjual ayam curian milik tetangga. Hahahaaaa. Di Jakarta, dia tinggal bersama komunitas pelajar & mahasis Timor Leste, lalu berkuliah di Universitas Muhammadiyah, Ciputat. Kesehariannya dia kadang lakoni dengan menjadi juru parkir bersama para preman di Stadiun Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, & beberapa tempat.
Selama di Jakarta, selain kuliah dan hidup bersama komunitas Timor Leste, sesekali bergabung dengan kawan-kawan Papua-nya. Dia pernah menjadi aktivis 98, menjadi pengurus besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), menjadi ketua Mahasiswa Muslim Timor Leste dan sempat terlibat bersama mahasiswa Timor Leste dalam perjuangan kemerdekaan di tanah rantau Jawa. Pengalaman hidup ini membuatnya punya beberapa teman yang pernah menjadi menteri dan orang penting di jajaran kabinet negara Timor Leste merdeka.
Setelah lulus kuliah, dia sempat menjadi staf ahli Anggelina Sondakh (mantan puteri Indonesia, artis dan anggota DPR RI). Ia juga sempat kuliah Magister (S2) jurusan Filsafat di Universitas Indonesia (UI) Depok. Namun tdk sampat selesai krn persoalan biaya, dan lain-lain. Dia juga terpaksa berhenti staf staf ahli di DPR RI, lalu memilih merantau balik ke tanah kelahirannya, Jayapura, Tanah Papua, setelah selama hampir 20 tahun tidak pernah pulang.
Pengalamannya selama menjadi seorang aktivis yang gila membaca buku (kutu buku), berdiskusi, debat, sempat menjadi wartawan, pernah mengorganisir demonstrasi besar saat huru-hara aktivisme gerakan reformasi 1998/1999, telah membentuknya menjadi seorang penulis berbakat!
Dengan bekal itu dia memutuskan pulang kembali ke Jayapura, Tanah Papua. Di kota kelahirannya ini, dia bekerja sebagai penulis kolom opini (kolumnis) lepas di beberapa media lokal dan bersama istrinya menjual buku-buku yang dikoleksi. Alhasil, dari kumpulan tulisannya selama menjadi kolumnis, terbitlah sejumlah karya buku. Salah satunya buku berjudul “Bola Liar Kegagalan Otsus” yang berisi catatan esai-esai pendek yang kritis mengenai pelaksanaan Otonomi Khusus Papua yang maju-mundur.
Sebelumnya, dia sempat memberanikan diri menulis biografi dari Lukas Enembe (kini Gubernur Papua dua periode), yang waktu itu masih menjabat wakil bupati & bupati Puncak Jaya. Awal mula rencana penulisan buku biografi kaka LE berawal ketika Lamadi bertemu pace LE di Jakarta dan menawarkannya untuk menulis biografinya yang kemudian populer dgn judul “Jalan Terjal Anak Koteka Meretas Impian.”
Selain menjadi penulis, Lamadi juga sempat menjadi dosen paruh waktu di FISIP Universitas Sains & Teknologi Jayapura (USTJ). Namun dia tidak bisa bertahan lama sebagai dosen di kampus ini, lantaran ditolak untuk mengajar karena dia hanya berpendidikan strata satu (S1) ilmu ekonomi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta. Penolakan ini pun pernah dia alami saat saya membawanya bertemu beberapa dosen senior di FISIP Uncen, untuk meminta agar Lamadi bisa mengajar dengan skill yang ada pada dirinya.
Dari bekal skilnya menulis dan dikenal di kalangan wartawan, aktivis dan penulis Papua, Lamadi akhirnya diangkat menjadi staf ahli DPR Papua yang membantu Ruben Magai, dkk, di komisi mereka. Tidak lama kemudian dia diangkat menjadi juru bicara (spoke person) oleh Lukas Enembe, yang ketika itu baru terpilih menjadi Gubernur Papua periode pertama (2013-2018).
Sebagai seorang kawan karib, saya mau bilang bahwa mungkin karena dari goresan tangan seorang Lamadi de Lamato lah, lewat buku “Jalan Terjal Anak Koteka Meretas Impian,” sosok kaka Lukas Enembe, sebagai anak koteka yg dlm dinamika politik lokal Papua saat itu kurang diperhitungkan, bisa dikenal (populer) hingga merintis jalan menjadi seorang Gubernur Papua.
Kaka LE telah melangkah dengan pasti hingga mampu menyingkirkan kedigjayaan kelompok SOS (semua orang Sorong, semua orang Saireri dan semua orang Sentani) yg selama bertahun-tahun mendominasi jabatan dan struktur birokrasi Provinsi Papua (dulu Irian Jaya). Tidak hanya itu, kaka LE lantas menjadi sosok inspirator bagi politisi dan generasi anak-anak koteka dari Pegunungan Tengah Papua untuk melangkah maju dgn percaya diri.
Tak lama atau hanya kurang lebih dua tahun menjadi seorang juru bicara LE sebagai Gubenur Papua, Lamadi de Lamato dipecat dengan tidak hormat. Ada kasak kusuk yg berkembang bahwa seorang Lamadi dipecat krn tdk disukai dan karena sempat berkonflik kepentingan dengan beberapa pejabat dan orang dekat Gubernur LE.
Saat dia dipecat, saya masih berstatus mahaiswa jurnalistik di Scottsdale, Phoenix area, Arizona, AS, yang studi dengan beasiswa Aminef Fulbright lewat CCI Program. Jadi saya hanya membaca & mengetahui lewat postingan koran di facebook dari teman-teman di Jayapura bhw Lamadi de Lamato, seorang juru bicara Gubernur LE, yang nota bene penulis beberapa buku biografi Gubernur dipecat.
Saat diangkat sbg staf khusus dan juru bicara Gubernur, Lamadi punya dasar hukum berupa surat keputusan (SK) Gubenur LE ttg pengangkatan dirinya. Tapi saat dipecat, dia tdk menerima surat pemecatan/pemberhentian sbg juru bicara, hingga tak mendapat sepeser pun uang pesangon! Akibatnya, dia harus kembali menjalani hidup apa adanya seperti dari awal.
Usaha toko buku bernama ‘Lakeda Corner Book’ yg bertempat di sekitaran kampus Uncen Camp Walker, Waena, perlahan mulai gulung tikar. Soalnya, Lamadi dan istrinya tak mampu lagi memperpanjang biaya kontrakan ruko yg disewa bagi operasional toko buku karena nilainya puluhan juta rupiah per tahun.
Padahal, letak strategis toko buku itu sangat membantu para mhs/i maupun dosen Uncen dlm mendptkan buku-buku sosial-politik berkualitas. Keberadaan toko buku ini juga telah menjadi tempat berdiskusi bagi kalangan aktivis mahasiswa dan mereka yang tertarik menjadi penulis dengan bekal bacaan yg bermutu.
Ketika saya kembali dari studi di Arizona AS di awal Mei 2017, saya menyempatkan diri mengunjungi Lamadi, istri dan dua anaknya, di ruko toko buku mereka di Camp Walker Waena yang mulai lesu karena sudah dekat tenggat wkt habis masa kontrakan. Di sinilah Lamadi dan istrinya menumpahkan semua isi hati mereka. Soal lika-liku hidup mereka selepas seorang Lamadi dibuang, lewat pemecatan tak hormat sebagai juru bicara gubernur LE.
Saya cukup iba mendengar kisah ini. Seraya mencoba menghibur & menjadi kawan sekaligus keluarga mereka dlm situasi senang dan jatuh. Usaha toko buku mereka akhirnya dipindahkan ke rumah mertua Lamadi di Cigombong Kota Raja Dalam, Abepura, Jayapura. Sambil mereka terus meneruskan usaha jualan buku dan usaha-usaha lain yang memungkinkan.
Beberapa bulan setelah saya kembali dari AS ke Jayapura, hampir setiap minggu saya selalu menemani Lamadi, istri dan dua anaknya, berjualan buku keliling di sekitaran kampus Universitas Cenderawasih (Uncen) Abepura dan kampus Universitas Ottow-Geissler Kota Raja Dalam. Kami sempat mendapat pinjaman bantuan mobil pick-up utk berjualan buku keliling dari kk dosen Fakultas Teknik Uncen, Dr. Jonatan Numberi, yang telah berbaik hati bersama istrinya meminjamkan mobil mereka.
Selama menjadi penjual buku keliling di sekitaran kampus Uncen Abe, sejak pagi hingga sore, saya bersama Lamadi telah menjalin komunikasi dgn sejumlah mhs/i & dosen. Baik mereka yg ingin membeli buku atau pun yang sekedar datang untuk berdiskusi sambil meneguk segelas kopi di warung kecil di samping Gedung Administrasi Paska Sarjana Uncen.
Ini merupakan moment yg menyenangkan karena saya bersama Lamadi bisa menjadi partner diskusi selama berjam-jam dengan beberapa mahasiwa/i, alumni dan staf pegawai Uncen, dosen, bahkan guru besar (profesor) tentang buku maupun tentang berbagai fenomena sosial yang terjadi.
Setelah selama beberapa bulan membantu Lamadi menjadi penjual buku keliling dan pembaca buku yang tak produktif serta membosankan lantaran tak ada pekerjaan bagi saya yang saat itu baru pulang dari AS, saya memutuskan utk kembali lagi ke Amerika Serikat, untuk melanjutkan studi atau mencari pekerjaan.
Saat itu saya belum memutuskan untuk mengajak Lamadi ikut bersama saya. Tapi dalam suatu kesempatan diskusi yang panjang bersama Lamadi, saya memutuskan untuk mengajaknya ikut bersama saya merantau & merubah nasib di Amerika Serikat. Saya tidak peduli, entah nanti kami tinggal atau makan apa setelah sampai di AS. Atau mendapat uang dari mana untuk mengurus berkas dan membeli tiket untuk bisa ke AS lewat jalur Bandara JFK New York.
Bagi saya, mengajak Lamadi merantau dan mencari tantangan baru ke AS adalah suatu pilihan terbaik saat itu. Kami tidak peduli, entah kami nanti harus berkeringat, berdarah-darah, kedinginan, kelaparan, kehausan, atau situasi negatif apa pun yg nanti kami alami. Bagi kami itu tidak masalah. Sebab percuma kami harus menetap di Papua, dengan nasib yang tidak jelas.
Akhirnya, dari sejumlah usaha dan perjuangan, saya bisa membawa Lamadi terbang selama belasan jam menerobos batas berbagai negara, benua dan lautan hingga tiba di bandara internasional John F. Kennedy, New York, pada 2 Mei 2018 dgn selamat. Hidup kami yang baru di negara ini, coba kami rintis dan jalani setelah menginjakan kaki di New York City, seraya mencoba bertahan meresapi denyut nadi kota ini.
Selama hampir setahun saya membawa seorang Lamadi merantau ke AS & mulai menjejali jalanan sejumlah kota mulai dari New York, Atlanta Georgia, New Jersey, Washington DC, Virginia, North Carolina, South Carolina, dan lain-lain, kami mulai yakin bahwa negara ini bisa kami taklukan dengan semangat kerja keras dan mental baja dalam menghadapi setiap tantangan.
Kami telah melewati pengalaman pahit sebagai buruh yg bekerja di gudang raksasa (ware house) milik perusahaan bernama Colgate di Atlanta Georgia. Menjadi tenaga relawan (volunteer) paruh waktu, berpetualang sebagai diplomat/tukang lobby berkaki abu dengan kantong kosong, menjadi tuna wisma (homeless) yang tidur di pinggir jalan dan terminal, hingga menjadi buruh tukang cuci di restoran India di New Jersey, bagi seorang Lamadi de Lamato.
Dari semua pengalaman ini, menjadi seorang buruh imigran yg terjajah dan terhisap di negara Kapitalis AS adalah sesuatu yang sangat menyakitkan ! Namun itulah resiko dan tantangan yang harus dihadapi. Sebab seorang buruh yg terjajah karena upah/gaji, harus memberikan semua waktu dan tenaganya dikuasai oleh perusahaan hanya untuk menyambung hidup. Sering kali seorang buruh imigran di AS harus merasa tertekan oleh tekanan pekerjaan, di maki-maki supervisor hingga dapat dipecat sewaktu-waktu tanpa pesangon.
Itulah mentalitas dan semangat yang harus dimiliki oleh para imigran dari negara mana pun yang ingin merantau dan menaklukan negara Amerika Serikat. Mental inilah yang harus dimiliki oleh para pelajar dan mahasiswa Papua di AS maupun generasi Papua yg ingin merantau ke negara super power yang kini dipimpin Donald Trump.
Akhirnya, saya akan merasa bangga dan adalah suatu kehormatan, jika kelak Lamadi de Lamato menjadi seorang yang namanya besar, mungkin saya lah orang yg tepat utk menggoreskan kisah hidupnya dalam sebuah buku biografi. Atau pun sebaliknya.
Bersambung.
(Batavia, Kamis, 1/24/2019)