Oleh R.B. Baowollo
Tulisan ini mencoba mengelaborasi posting pendek dari sahabat saya Pendeta Rudy Rahabeat yang mengangkat kutipan kritis dari Prof. John Titaley yang berbunyi: “Kolonialisme melarang Gereja berpolitik sehingga saat ini gereja-gereja nyaris gugup dalam artikulasi berpolitik.”
Saya memilih mengelaborasi ide tersebut dalam sebuah tulisan terpisah – dan tidak menanggapi langsung pada thread posting tersebut – karena ide tersebut, setidaknya menurut saya, sangat penting dan tidak cukup dibahas dalam sebuah ruang komentar.
Sikap apolitik Gereja yang berdampak pada lumpuhnya instink, spirit, kecerdasan, dan ketrampilan berpolitik – baik oleh Gereja sebagai institusi/organisasi maupun anggota Gereja sebagai Umat Allah (kita semua) – sudah saatnya ditinjau kembali di bawah terang Roh Kudus.
Secara hipotetis, pilihan sikap apolitik – atau dalam bahasa Prof John Titaley “Gereja dilarang berpolitik” – baik pada masa kolonial maupun post-colonial, berangkat dari pengalaman buruk dalam sejarah dimana urusan politik dan agama sering bercampur-aduk dan berdampak pada ketidak-stabilan politik.
Raja dan Nabi tak mungkin rukun dan tidur nyenyak dalam satu kamar.
Untuk alasan itu dirasa perlu sebaiknya ada pemisahan tegas atas domain kekuasaan pemerintahan sekuler (negara-bangsa) dari domain urusan keagamaan oleh Gereja. Pertanyaan kita: seberapa dalam argumentasi sejarah di masa lalu itu masih aktual dan memiliki relevansi dengan kehidupan politik hari ini?
Apakah relasi asimetris negara-gereja itu lalu perlu dibaca sebagai (a) penegasan kememangan permanen supremasi kekuasaan politik pemerintah atas Gereja sebagai institusi, atau (b) justru Gereja sebagai institusi yang dengan suka hati mensubordinasikan diri di bawah kekuasaan politik dengan berbagai alasan dan sejumlah konsesi politik?
Mari kita lihat relasi dan kontestasi Negara-Gereja dalam rentang sejarah secara singkat.
1. Kolonialisme dan Gereja
Studi-studi missiologi tentang relasi penguasa kolonial dan gereja, baik di Indonesia dan Philipina, di Amerika Tengah dan Selatan, juga di seluruh Afrika, dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Penguasa kolonial membutuhkan peran serta Gereja sebagai perintis jalan penetrasi kekuasaan kolonial ke dalam komunitas-komunitas pribumi, terutama melalui pendidikan, untuk mempersiapkan penduduk pribumi menjadi bagian dari perangkat birokrasi penyelenggara administrasi pemerintahan kolonial;
b. Untuk maksud dan tujuan tersebut, Gereja membutuhkan proteksi dan berbagai dukungan dari pemerintah kolonial, mulai dari urusan pembebasan dan mengamanan tanah-tanah milik rakyat dan/atau penguasa pribumi untuk pembangunan berbagai sarana karya para missionaris – terutama pembangunan sarana pendidikan dan kesehatan -hingga jaminan keamanan bagi pelaksaanaan karya para missionaris di tanah jajahan;
c. Hubungan simbiosis mutualismus antara penguasa kolonial dan Gereja ini telah menciptaan sebuah pola (pattern) relasi Pemerintah-Gereja yang ‘permanen’ dan tertanam dalam memori sejarah dan berlanjut menjadi pola pikir dalam praksis tatakelola kekuasaan post-colonial;
d. Hanya dalam sejumlah kasus terbatas, Gereja terpaksa keluar dari ‘kesepakatan’ relasi kekuasaan itu, melakukan perlawanan, melancarkan kritik keras kepada penguasa kolonial karena tindakan-tindakan penguasa kolonial merugikan bahkan menghancurkan berbagai karya missi di tanah jajahan. Hal ini terjadi juga di Indonesia pasca-kemerdekaan Indonesia (cfr. situasi seputar ‘masa bersiap’ dan agresi Belanda I&II)..
2. Upaya pemisahan (urusan) Gereja dari politik (praktis) lebih dilatarbelakangi oleh praktek perselingkuhan Gereja dan raja-raja di Eropa (dan terbawa sampai ke negeri jajahan) sejak awal abad pertengahan yang berdampak pada terjadinya berbagai konflik kekuasaan yang melahirkan segregasi masyarakat politik menurut afiliasi agama penguasa politik. Cuius regio euis religio: siapa yang berkuasa, agamanya yang berlaku di seluruh wilayah kekuasaan raja.
3. Gereja Katolik, misalnya, melalui Dokumen Konsili Vatikan II “Gaudium et Spes” menekankan bahwa “Berdasarkan tugas maupun wewenangnya Gereja sama sekali tidak dapat di campur adukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sistem politik manapun juga (art.76).
4. Pilihan posisi politik untuk tidak berpolitik ini memiliki dampak serius: (a) di satu sisi Gereja relatif terbebas dari berbagai intrik politik di suatu wilayah, dan karena itu dapat berdiri ‘netral’ terhadap semua pihak; (b) pada saat yang sama Gereja menarik diri ke dalam ‘rumah keongnya’ hingga tidak tahu lagi apa yang terjadi di luar sana, bahkan tidak menyadari kalau rumah keongnya sedang mengalami pengeroposan akibat zat asam politik yang korosif, juga tidak peka lagi terhadap domba-domba yang terjepit di berbagai tebing karang politik.
5. Dalam kerangka pemahaman KV. II di atas masalah politik adalah urusan warga negara. Gereja tidak ikut berpolitik. Tetapi Gereja dapat memiliki sikap politik dan sikap politik itu perlu dan harus disalurkan melalui warga Gereja (awam) yang terlibat dalam politik praktis. (bdk. art. 73&74).
6. Sebagai konsekuensi logis dari pemisahaan ruang partisipasi politik tersebut, Gereja berkewajiban memberi pendampingan pastoral kepada kaum awam melalui sebuah reksa pastoral Kerasulan Awam bagi para politisi dan pejabat pemerintah maupun pelaku bisnis agar mereka efektif menjadi garam dan terang dalam dunia politik, bisnis dsb. dengan standar moral dan etika politik serta etika bisnis yang tinggi.
7. Apakah fungsi itu sudah berjalan? Fungsi pendampingan pastoral Kerasulan Awam itu tidak optimal. Gereja tidak perlu malu mengakui kegagalannya jika Gereja mau bercermin pada fakta-fakta tak terbantahkan bahwa: banyak politisi Kristen justru terperangkap dalam berbagai pusaran skandal politik dan korupsi, menjadi sumber masalah dalam dunia politik dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan di beberapa daerah tertentu justru terjadi ketegangan yang melahirkan relasi tidak bersahabat antara pejabat pemerintah dan politisi di satu pihak dengan institusi Gereja di pihak lain.
8. Ketidak-puasan pun muncul atas sikap apolitis Gereja – atau malah menjalankan politik perselingkuhan dengan penguasa dan pengusaha kapitalis dan para tuan tanah – akibat masyarakat/umat terintimidasi. Pada titik ini, ketika para pelayan Tuhan yang menjadi gembala bagi domba-domba merasakan beban penindasan atas umat yang tidak tertahankan maka muncullah revolusi dengan berbagai nama yang dapat dibungkus dalam satu nama kolektif “teologi pembebasan”.
Kematian Uskup Romero atau pembangkangan sejumlah imam untuk melawan Roma, terjun langsung dalam politik, bahkan mengangkat senjata (kasus Philipina dan Amerika latin) adalah bukti yang menyakitkan betapa sikap apolitik Gereja dan perselingkuhan Gereja dengan penguasa – sebuah relasi kekuasaan yang diwariskan dari jaman kolonial itu – berbuah penindasan berkelanjutan.
9. Terlepas dari praksis tatakelola gereja dan hubungannya dengan penguasa kolonial seperti diuraikan di atas, ada baiknya kita mengajukan pertanyaan ke level yang lebih substansial: apakah sitem pendidikan imam dan pendeta (formation system) jaman kolonial juga berkontribusi bagi pewarisan residu sikap apolitik dalam pola pikir dan tatakelola Gereja post-colonial?
Cacatan: dimensi ini menjadi semakin menarik jika kita mau memeriksa berbagai catatan tentang proses pendidikan imam-imam pribumi, proses transfer kepercayaan kepada imam-imam pribumi dari para mentor ‘kolonial’ untuk menjadi tenaga pendidik dan/atau pemimpin pada lembaga-lembaga pendidikan imam di tanah bekas jajahan.
10. Ketertundukan Kultral. Uskup Belo dari Timor Timur (kini Timor Leste) suatuketika secara menggebu-gebu membawa suara politik Gereja Timor Timur ke dalam Sidang KWI dan berharap mendapat dukungan politik untuk melawan penindasan terhadap rakyat Timor Timur. Namun suara kenabian dari Timur yang mencoba merambah wilayah politik Jakarta itu hilang ditelan senyap dalam rapat-rapat KWI yang dominasi kultur komunikasi dan tatakelola Gereja Indonesia yang ‘teposeliro’, tidak provokatif, tidak adigang-adigung, selalu mencari yang aman, tidak ingin cari masalah dengan penguasa rejim Orde Baru, dst. Dan anda tahu, kultur politik dominan mana yang saya maksudkan. Yang jelas bukan budaya komunikasi Timor, Ambon atau Papua.
11. Pertanyaan: Apa yang perlu dilakukan agar Gereja kembali menemukan momentum dan aksentuasi bertindak yang pas dengah suara kenabian untuk mengawal perjalanan politik di negeri ini – tanpa bayang-bayang cengkeraman pola pikir Gereja kolonial?
a. Bentuk dan efektifkan think tank Gereja dengan memanfaatkan putra-putri Gereja yang tersebar di semua sektor dan lini kehidupan berbangsa dan bernegara, tanpa membedakan dan/atau memandang latar belakang afiliasi politik atau profesi mereka. Pola kepemimpinan one man show sudah harus disingkirkan! (simak berbagai tanggapan tentang mundurnya Uskup Merauke)
b. Gereja perlu terus-menerus mencermati berbagai perkembangan politik melalui putra-putri Gereja, dan mencari jalan keluar untuk ikut berpartisipasi dalam menyelesaikan berbagai persolan politik di ruang publik.
c. Banyak lidi yang diikat menjadi sapu akan lebih kuat dibanding setiap batang lidi bekerja sendiri membersihkan sampah segunung.
Gitu dulu ya
Yogyakarya, 13 Juli 2020.
RBB