Oleh: Jhon Gobai)*
“Kawan, sa tau sa anak kaco dari dulu. Sa tra pernah terlibat ikut-ikut demo. Tapi sa selalu ikut bantu setiap waktu demo 1 Desember di Jakarta.”
Perempuan itu bicara tak henti-henti.
Pipinya terus membasahi, sulit dibendung walau tangannya terus mengelus air mata yang mengguyur pipinya.
Saya diam saja. Mendengarkan Ia berbicara itu pilihanku saat itu.
“Sob, sa hanya bisa bantu masak”
Itu yang sa buat untuk perjuangan.
Tra lebih, Sob. Sa minta maaf.”
Entah kenapa Saya pun terbawa perasaan dalam semua ungkapannya, ekspresinya wajahnya; terbawa sedih. Saya tak berkuasa bendung air matanya. Untuk kawan, kali ini saja, Saya biarkan pipinya dibasahi air mata.
Lantas mungkin karena itu semua, karena tak bisa menahannya lagi, Saya ikut sedih. Kenapa baru hari ini semua terjadi.
Perempuan itu juga nangis makin kencang sambil Ia mengatakan sesuatu. Tak jelas suaranya. Tampaknya Ia ingin mengatakan semuanya disini, tapi apa daya, tangisan sudah kuasai kontrol.
Disitu saya tak mampu memahami semua ini.
Entah kenapa, usai bicara, dengan tangisnya yang keras, Ia langsung berdiri dan berjalan ke arah pohon ketapang yang berada di taman itu.
Saya masih duduk di sana. Perempuan itu berdiri sejenak, lalu teriak sekuat-kuatnya, berulang kali.
Mungkin semua ini ungkapan perasaan yang terpendam dalam benaknya selama ini. Atau karena persahabatan mereka yang tak seindah dulu, masa kenakalan di Nabire? Hanya Tuhan yang tahu Jawabannya.
Ini pertama kali Ia berbicara seperti itu.
Saya kenal perempuan itu. Ia sahabat sejak kecil dari Papua. Namanya Ike (nama Samaran); dan Saya, Piter, sahabatnya Ike.
Kenakalan remaja di Papua, khususnya di Nabire, tempat saya tumbuh dewasa punya potret tersendiri: miras, isap Aibon, bergadang, baku serang antar kompleks, dan seterusnya. Itu lah dunia kami, waktu itu, bersama teman-teman. Ada Ike, Yosep, Yohana, dan beberapa kawan, mereka sahabat ‘kaco’ sejak kecil.
Pergi ke luar Jawa atau di Papua saja untuk kuliah adalah pilihan semua anak-anak setelah tamat SMA. Saya ada di antara sekian banyak kawan-kawan yang memilih pergi ke Luar Papua.
Di Jawa, kami bertemu lagi: reuni Aibon, tradisi anak-anak Aibon itu tra mungkin begitu saja lepas/tinggalkan saat lepas pelabuhan. Kapal putih bukan tempat penyucian segala Noda menurut kaum suci.
Suatu hari, Saya, Ike, Yosep, Isak, Yohana, kami duduk melingkar di suatu taman di kota Jogja. Pertemuan ini merupakan lepas rindu setelah 3 tahun tak bertemu lagi.
Kami berlima cerita seputar aktivitas masing-masing di kota studi: Yohana dan Isak yang kuliah di Jakarta, mereka lebih banyak habiskan waktu kosong di UKM Mapala. Ceritanya lebih banyak soal naik gunung, tentang lingkungan, dll.
Yosep lebih sudah terlibat jauh di dunia pers. Ia salah satu anggota Pers Mahasiswa aktif di kampusnya. Ia kuliah Surabaya. Sementara Ike, selain kampus Ia habiskan waktu dengan teman-temannya di kos-kosan.
Ia tak terlibat dalam aktivitas UKM atau organisasi apa pun di komunitas mahasiswa. Ia kuliah di Bandung. Saya sejak awal tiba di Jawa lebih banyak ikut terlibat dalam aktivitas Gerakan Mahasiswa di Jawa.
Malam belum berakhir. Terima kasih Anggur Merah sudah temani cerita kami di malam ini. Reuni selesai. Tara lupa kenakalan waktu kecil.
Walau tak seindah dulu, setidaknya kami bisa bertemu lagi. Kuliah buat kami pisah kota. Ahk, sayang.
1 tahun kemudian, saya pergi ke Jakarta dari Jogja menggunakan Motor. Rute kali ini Saya akan tinggal di Bandung selama 3 hari.
12 Jam akan menempuh 544 KM menggunakan Motor Byson. Tak terlalu berat perjalanan sejauh itu. Saya sering melakukannya. Jam 6 Sore tiba di Bandung.
Saya selesaikan urusan selama dua hari. Hari berikut saya kunjungi tempatnya Ike, Sabat saya.
Ia tinggal di daerah Ciloa. Sudah saya beritahu melalui WhatssAp tentang kedatanganku. Gawai saya berdering saat di perjalanan. Sudah saya tebak, itu pasti Ike, Ia membalas Pesan saya di WA tadi.
Melewati beberapa gang dari Jalan Raya saya sudah, Ike sudah tunggu di perempatan Gang. Mudah saya tebak, Ike bukan baru saya kenal. Kali ini Ike gunakan Jaket Kuning, Topi Hitam, celana Jeans Panjang, Sepatu Putih. Ia tampak Ganteng. Tomboinya tidak pernah pudar.
Segerah saya parkir Motor dan bersalaman dengannya. Ketemu sahabat rasanya tak terbebani. Tak seperti dua hari kemarin, yang berbicaranya harus di konsep, serius, juga fokus.
Gurau kami mulai ceplas-ceplos, panggilan sayang dengan nama hewan pun mulai keluar semua.
Hahahaha
“Sob, kitong duduk di taman sebelah sini.”
Kami pergi ke taman yang tak jauh dari tempatnya. Ike sudah sediakan Anggur Merah dua Botol. Wah! Ike tahu, dan selalu tahu apa yang mesti Ia sediakan untuk temani pertemuan ini.
Kami duduk kepung AM sambil cerita apa saja. Kali ini Ike banyak mendengarkan dan biarkan Saya cerita apa saja. Ia justru banyak bertanya. Saya tahu Ike bukan anak gerakan. Ia tak pernah bersentuhan dengan apapun menyangkut dunia pergerakan. Apa lagi soal politik Papua merdeka dan nkri harga mati yang polemik di Dunia saat ini.
Mungkin, bisa saja itu asumsi saya terhadapnya. Tetapi saya selalu pilah topik yang jauh dari dunia gerakan.
“Sobat, ko bikin apa ke Jakarta?”
Tanya Ike sambil tuang Anggur dalam gelas takaran berukuran setengah dari Aqua gelas itu.
Kali ini Saya harus menipunya. Saya beritahu kepadanya kondisi tubuh saya yang makin kurus; dan sisanya Saya ajak Ia bercerita kenangan masa kecil di Nabire. Tetapi tetap saja tampaknya cerita masa lalu tak menarik baginya. Biasanya Ike yang memulai cerita masa lalu, kuasai bicara, tapi kali ini tidak.
“Sob, Sa lihat foto satu di Fesbuk. Ko dapat pukul dari Polisi di Jakarta kah? Pas kam ada demo kah, apa kah, itu.”
Pertanyaan ini Saya jawab ada apanya. Saya menceritakan apa saja yang terjadi waktu itu.
“Sob, sa dengar, Ko biasa pimpin Demo kah? 1 Desember lalu.”
“Bah, Sob Ko tau dari siapa?”
Saya mulai hati-hati terhadap setiap pertanyaannya. Bukan mencurigai dia Intel atau apa pun. Tapi Ia sepertinya ikuti jejak saya selama ini.
“Iyo, Sob. Benar. Sa biasa ikut-ikut demo.” Jawab Saya sesingkat itu.
“Sob, 1 Desember kemarin itu sa mau ikut tapi.” Ike mulai bercerita.
1 Desember 2017 Ike tiba di Jakarta untuk ikut aksi peringatan 1 Desember, Hari Nasional Bagi orang Papua. Bagi Ike pertama kali Ia ingin terlibat dalam massa aksi demonstrasi damai Mahasiswa Papua. Tetapi keinginan itu tak terukir. Ia membatalkannya. Padahal sudah di Jakarta. Ia memutuskan untuk membantu tim masak saja.
Kini giliran Ia ungkapkan apa saja yang Ia bendung di benak. Apa saja yang Ia lakukan di setiap 1 Desember.
Rupanya tiap 1 Desember Ia pergi ke Jakarta untuk membantu masak buat massa aksi. Dan kali ini pun Ia memutuskan untuk terlibat dalam tim konsumsi saja. Itu pun hanya bantu masak, tidak sampai distribusi makanan ke massa aksi. Padahal Ia sudah memutuskan komitmennya bahwa peringatan 1 Desember kali ini Ia mesti ikut. Membatalkan rencana itu tampaknya mengundang kekecewaan yang mendalam.
Saya memahaminya jika membandingkannya dengan kawan-kawan yang lain. Mungkin membatalkan ikut aksi demonstrasi, masih ada aksi-aksi di hari-hati berikut yang bisa mereka terlibat. Tapi tidak bagi Ike.
Ike punya dunia sendiri. Dan memutuskan ikut aksi 1 Desember adalah sesuatu yang berharga. Karena mungkin saja itu momentum berharga baginya. Apa lagi ikut aksi di momentum hari nasional bagi bangsa West Papua.
Momentum yang selalu ditunggu-tunggu oleh orang Papua. Hanya terjadi sekali dalam setiap tahun. Karena itu dasarnya, membatalkan ikut aksi 1 Desember mengundang kecewanya yang Ia tumpahkan dalam cerita dan tangisannya malam ini.
“Ahk, sayang, Kawan Ike.
Saya baru tahu semua ini setelah Ia cerita semuanya.
“Sob, Sa tau sa anak nakal, tra tau apa-apa soal Papua Merdeka.”
Diam sejenak.
Saya hanya mendengarkan saja. Itu pilihan terbaik untuknya buat malam ini.
“Hanya ini yang sa bisa buat untuk perjuangan. Hanya bisa bantu masak saja.” Lanjutnya.
Ia bercerita sambil elus air matanya yang perlahan turun di dinding pipinya.
“Tra lebih, Sob. Sa minta maaf.”
Penulis lepas di sastrapapua.com, suarapapua.com, juga di laolao-papua.com