Tentang Aibon

Anak-anak pengguna lem aibon di Papua - IST
Anak-anak pengguna lem aibon di Papua - IST

Oleh: Jhon Gobai)*

Setiap kali hari semakin gelap, selalu saja ada anak-anak muda yang duduk menemani sunyi di Emperan-emperan toko, jalanan tua di perkotaan. Mereka berkelompok: berjumlah 4 orang keatas. Duduk berkelompok-kelompok itu sudah menjadi tradisinya.

Duduk melingkar kepung jerigen/kantong 5 liter Milo (misalnya Bobo, di Nabire). Milo alias Minuman Lokal, tawaran terakhir ketika Minuman tokoh habis. Duduk bandar sambil cerita: baku curhat, baku sedih, baku marah, baku pukul; esok baku cari, malam duduk kembali lagi.

Seringkali juga mereka adalah keamanan komplek/gang. Duduk melingkar di deker, atau di mata jalan. Ketika polisi razia, dikejar, dipukul, Masuk penjarah, itu sudah menjadi hal biasa.

“Penjarah itu buat kami tambah nakal” kata mereka. Trada penjarah di Papua yang bikin orang bertobat.

Kata mereka, Kami Nakal, tapi kami tau kami anak-anak Aibon, itu yang buat bangga untuk Papua.

Bacaan Lainnya

Aibon, sebutan ini tak asing di kalangan masyarakat Papua. Merupakan stigma sosial yang dialamatkan kepada anak-anak usia remaja dan pemuda asal Papua. Stigma tersebut terkandung pandangan negatif kepada mereka, yang sudah lama terkonstruksi dalam struktur (pemikiran) sosial.

Maka, imajinasi Aibon dalam pemikiran sosial-masyarakat adalah kelompok (kaum muda, remaja, anak-anak Papua) yang tak punya masa depan, hidup dalam lingkungan bebas tanpa terkontrol oleh arus energi positif.

Mereka terbentuk satu kelompok sosial berdasarkan stigma, juga oleh karena realita marginalisasi, dan proses penjajahan yang membuat “berketergantungan” kepada Uang dan tawaran kolonial.

Stigma sosial sendiri terbangun atas basis materinya tersediah. Misalkan perdagangan miras sangat bebas di Papua, tetapi tak ada aktivitas publik yang dijamin oleh Pemerintah untuk kelolah energi positifnya mereka, bahkan semua lapangan (sarana-prasarana) penunjang untuk mengembangkan SDM (selain sekolah Formal) tidak tersedia.

Lalu hantu yang paling besar adalah ruang demokrasi yang sangat tertutup, orang berdiskusi tentang realita saja tak boleh, atau nongkrong berdua di pinggir-pinggir kota saja tak boleh, kalau miras boleh.

Itu realitasnya. Lalu stigma sosial juga membentuk gaya hidup mereka: suka miras, gimbal berantakan, baju compang-camping, mereka jalan tanpa beralas-kaki (kaki kosong) dalam kelompok-kelompok.

Kelompok ini sudah lama hidup, bahkan saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar hingga SMP (2009), pernah menjadi bagian dari kelompok ini.

Tapi banyak kalangan yang menyimpulkan, dalam stigma yang sudah terbangun, mereka ini merupakan penyakit sosial, kelompok yang berada di titik kehilangan arah kehidupan. Tentu tidak! “dong bilang, barang su terlanjut. Sa hitam, keriting, sa aibon, sa bahagia.” Setiap kalangan punya kesimpulan tersendiri, termasuk dari mereka sendiri, tentang kebahagiaan.

Kaum akademis dan intelektual menyimpulkan bahwa generasi yang punya masa depan itu ialah mereka yang gemar membaca buku, pergi ke sekolah, gereja, dengar-dengaran orang tua, dan tak keluar malam. Tentu berbeda pandang juga dari kaum religi, pemerintah, dan seterusnya. Sehingga setiap kelompok mengalirkan solidaritas kepada Aibon, cara dan bentuknya datang dari masing-masing sudut pandang. Mulai dari bantuan sosial, seminar, kelompok peduli anak-anak aibon, penyediaan pondok penampung, dan sebagainya.

Tetapi, dalam isi kebahagiaan yang mereka peroleh, hal itu datang dari gaya hidup mereka. Mereka berada di jalan-jalan, di emperan tokoh, berkelompok duduk bandar, baku pukul, baku menangis, baku peluk, baku cari, dan seterusnya, dan seterusnya: di situ kebahagiaan mereka di rukir.

Jauh dari itu, penyebutan Aibon sudah menjadi bagian dari hidup dalam penemuan jati diri anak-anak mudah Papua diatas tahun 2000 an. Aibon menjadi modal awal kesadaran keterhinaan oleh stigma, dan terus mencari akarnya untuk sebuah jalan keluar.

Kenapa begitu? Bagaimana prosesnya suatu stigma negatif menjadi semangat baru/semangat perlawanan mereka? Apa situasinya ketika dengan gagah mereka nyanyikan “hitam kulit, keriting rambut, sa anak aibon”?

Aibon, stigma sosial yang dibangun oleh kekuasaan untuk memperburuk mental “kepapuaan” lalu, kini, Aibon menjadi simbol jati diri dalam kerangka bangun diri dari keterpurukan. Bagaimana bisa?

Bersambung …

Penulis adalah: Penulis Lepas Tinggal di Jawa

Berikan Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.