Oleh; Ibiroma Wamla
Entah dimana pertemuan awal kami, namun sejak pertemuan awal tersebut kami menjadi akrab. Adik yang penuh senyum dan suka bercanda, namun ketika berbicara tentang sebuah topik, ia sangat serius. Itulah Agus Kadepa.
Tahun 2013 Agus bersama Yona Pulalo menginisiasi sebuah organisasi kecil yang di beri nama sekolah anak mama-mama pasar, kemudian nama ini di ubah menjadi Gerakan Mengajar Papua (GPM).
Tujuan GPM tentu sangatlah berbeda dengan organisasi di Jakarta yang namanya hampir mirip. Ide awalnya berangkat dari kegelisahan melihat anak-anak usia sekolah (SD) dari mama-mama yang berjualan di sekitar Expo Waena, yang tidak sekolah dengan baik. Ada yang ikut mama kekebun hingga tak sekolah, atau mereka lambat ke sekolah hingga jarang masuk. Itu membuat mereka tertinggal dalam mengikuti pelajaran sekolah.
Ide itu kemudian berkembang menjadi mimpi, mengakomodir anak muda Papua dari berbagai wilayah yang kuliah di Jayapura, untuk bergabung dalam GPM.
Harapannya ketika anak muda Papua ini selesai kuliah, mereka dapat menjadi motor pendidikan di kampungnya. Ini yang berbeda dengan organisasi yang mengirim guru untuk berwisata satu-dua tahun di Papua. Harapan ini masih berjalan walau merayap seperti siput, sebab pendidikan dianggap sebagai tugas pemerintah, dan bukan kebutuhan masyarakat di kampung-kampung.
Lumayanlah, sebuah sekolah semi permanen GPM sedang di bangun di Buper, Waena. Agus bukanlah pemuda kaleng kosong yang pulang ke kampung, ia mengisi kepalanya dengan berbagai bacaan dan membawa banyak pengetahuan, selain ilmu pengetahuan yang diperolehnya dari kampus Uncen di jurusan Bimbingan Konseling FKIP. Agus sempat patah semangat dan akan berhenti kuliah, padahal ia sudah sampai di semester akhir. Dengan semangat baru, ia berhasil menyelesaikan kuliahnya.
Setelah selesai kuliah, Agus tidak terpikir untuk menjadi pegawai negeri, ia biasa katakan sambil tertawa “PNS tu apa?” Artinya, ia mau katakan, apakah selain PNS tidak bisa kerja, atau tidak bisa hidup?
Tiga tahun belakangan, Agus pulang ke kampungnya di pinggir danau Paniai. Sesekali waktu, kami salin menelepon untuk berbagi cerita.
Anggapan bahwa saat ini orang di kampung-kampung malas kerja, akan di patahkan Agus, setahun lalu ia bersama masyarakat kampungnya mulai menanam kopi, saat itu ia katakan, akan menanam 2000 bibit kopi arabika.
23 Agustus 2020, Agus memposting kopi yang tumbuh subur, ketika ia telepon, saya tanya, apakah kopi yang di tanamnya sudah mencapai 2000. Agus tertawa, “Kaka itu yang lalu, sekarang sudah 14.000 bibit yang kami tanam, dan targetnya 20.000 di tiga kampung.”
Saya diam lalu tertawa kagum, “Luar biasa,” itu jawaban saya.
Saya tidak menyangka, dari 2000 menjadi 20.000, sebuah kerja yang … trada kata lagi.
Sambil bergurau saya katakan “Sa dengar kamu dapat batuan bibit dari BUMN, dorang juga kasi bantuan dana.”
“Siapa yang bilang? Jangan dengar, omong kosong itu, ini kami punya sendiri, trada orang yang datang kasi bantuan macam itu.”
“Hahahaaaa, tes tooo, habis ko tanam banyak sekali.”
Hahahaaaaaaaaa
Selain menanam kopi, Agus tetap menjalankan GPM, dan juga mengajari orang tua yang belum bisa baca tulis, selain di Jayapura, GPM juga di kembangkan di Paniai, Dogiyai dan Deiyai.
Bagi Agus, kampung adalah segalanya, sumber kehidupan yang tak terukur. Sejak moyang hingga kini, dan nanti.
Berikan Komentar Anda