Tinus Logo

Pengungsi Nduga, Tinus Logo dan Ibiroma
Oleh; Ibiroma Wamla
Tinju menjadi pilihan olahraga yang saya ikuti saat masih di kelas satu SMP, saya tertarik mengukuti olahraga tinju mengikuti jejak Kakak kelas saya, Tinus Logo. Selain saya, teman sekelas, Yunus Pahabol dan Dani Mofu juga ikut latihan tinju. Kami mungkin angkatan ketiga, setelah Tinus Logo, Rumere, John Tabo, diatasnya ada Karsiman Yeleget dan Amon Mabel yang menjadi utusan Irian Jaya dari Wamena dalam kejuaraan nasional tinju, dan mereka sering membawa pulang medali, minimal medali perak.
Selain Tinju, saya juga pernah mengikuti karate, namun umurnya tidak panjang, hanya sampai pada ujian pindah ke ban kuning. Kalau bola sepak jangan ditanya, latihannya hampir tiap hari, kalau tidak gawang satu langkah, ya main pata kaleng (sebuah kaleng menjadi gawang, dan setiap pemain harus menendang tepat pada kaleng yang menandakan bahwa gol telah di buat).
Kakak Tinus sering tinggal di rumah saya, malam sebelum tidur ia pernah cerita, kedua orang tuanya sudah meninggal. Ia tinggal bersama saudara dari bapaknya.
Saya pernah dengan Tinus naik motor ke rumahnya di Tulem, Jiwika, melewati bukit Supula yang saat ini dikenal dengan nama bukit Pasir Putih dan saat itu jalan masih belum diaspal.
Setelah pulang dari Tulem kami menuju pasir putih, motor saya parkir di pinggir jalan Pikhe. Lalu kami berjalan menuju puncak bukit pasir putih. Dari puncak bukit, dikejauhan tampak kota Wamena, pemandangan yang indah.
Di puncak bukit itu, Tinus bercerita tentang budaya Hubula, pergeseran budaya dan filosofi dalam bahasa Hubula yang mulai hilang.
Diatas puncak bukit Pasir Putih juga terdapat tempat keramat, tempat melakukan ritual untuk leluhur dan tempat membaca perubahan lingkungan di Lembah Balim.
Tinus membawa saya pada masa lalu, saat orang Hubula masih tinggi dan besar, hampir mencapai dua meter lebih. Dan memang Tinus adalah generasi yang masih membawa gen “kasta” tersebut. Hipiri (suburuk, petatas) masih besar, sebesar lingkar perut orang dewasa, babi juga masih besar-besar, karena ketersediaan pangan yang banyak.
Saat malam, di dalam honai laki-laki, orang tua (kakek dan buyut) pernah mengatakan bahwa akan ada benda-benda yang berbunyi berjalan di darat dan di udara (itulah motor, mobil dan pesawat yang saat ini banyak melintas di jalanan dan di atas langit kota Wamena).
Orang tua itu selalu bercerita tantang akan datangnya perubahan, kami hanya mendengar tanpa mengerti.
Saat ini kami mengerti, tetapi orang-orang tua itu sudah tiada, dan kami tak pernah tahu apa lagi yang akan terjadi, semuanya hilang bersama perubahan yang terjadi.
Kata Tinus, “Kami seperti anak-anak ayam yang kehilangan induk, banyak nilai adat dan budaya yang sudah hilang, dan terkikis, kini kami berjalan dengan rupa yang bukan orang Balim.”
Saat Tinus masih berusia enam tahun, terjadi peristiwa 1977, banyak orang di kampung-kampung di sekitar kota Wamena mengungsi, untuk menghindari operasi militer yang di lakukan saat itu. Katanya itu operasi untuk mengamankan pemilu.
Tinus dan keluarganya mengungsi ke arah Wolo, bagian utara Lembah Balim. Dalam perjalanan ia tak kuat lagi, tidak ada yang bisa menggendong Tinus. Akhirnya ia di masukkan dalam sebuah kayu besar yang lapuk, dan ia di minta untuk nanti mengikuti jejak yang ditinggalkan dalam perjalanan ke arah Wolo. Keesokan harinya ia mengikuti jejak yang di tinggalkan dan dapat bertemu dengan saudara-saudaranya.
Saya masih berumur empat tahun, kala peristiwa 77 terjadi, hanya potongan-potongan cerita yang di ceritakan ulang saat saya SMP. Kata mama, pesawat OV-10 Bronco, pesawat pemburu itu selalu bermanufer diatas langit Kota Wamena. Ada juga pesawat yang menjatuhkan bom.
Mama cerita, kalau mendengar suara pesawat Bronco, saya selalu menangis ketakutan, dan mencari bapak, atau kakak Lukas Ekopere yang tinggal bersama kami. Dan juga ada seorang guru di Piramid, Nico Costa yang dibunuh oleh orang tak dikenal, jenazahnya di kirim pulang ke kampungnya di Timor.
Pengungsi, guru dan pegawai dari “pos” di kabupaten Jayawijaya di buatkan rumah sementara yang terbuat dari seng di jalan SD Percobaan. Dua rumah panjang ini dikenal dengan nama kompleks barak pengungsi.
Setidaknya ada 4.146 orang Papua dari 15 distrik di pegunungan tengah diklaim terbunuh ditulis dalam laporan Asian Human Rights Commission mengenai peristiwa itu dalam ‘Kekejaman di Pegunungan Tengah Papua 1977-1978’ (2013).
Dalam peristiwa 77, ada juga sebuah cerita umum tentang Dirk Wabiser, seorang pilot OV-10 Bronco asal Biak. Ia membangkang, tidak menjatuhkan bom di kampung-kampung di sekitar Lembah Balim, ia membuang bom di lautan Pasifik, pembangkangan ini membuat pangkatnya tertahan beberapa kali.
Potongan cerita lainnya menyebutkan, selama berbulan-bulan orang tidak bisa memancing ikan dan udang di sungai Balim karena banyak mayat yang dibuang di sungai Balim.
Kisah Tinus mengungsi, masih berulang pada masyarakat di Nduga dan Intan Jaya. Ada anak dari Nduga yang di lahirkan di bawah pohon dan dinamakan Pengungsi. Memori pengungsi ini akan selalu diingat, menjadi memoria passionis dalam kehidupan masyarakat pegunungan tengah Papua.
Mereka mengungsi seperti Yusuf dan Maria yang di buru tentara Romawi karena Yesus. Dan Imanuel beserta mereka para pengungsi. Inilah potongan kisah yang nyata dari kitab samawi kaum imamat yang am, namun terlewatkan dalam kemeriahan dan hiruk pikuk perayaan kelahiran Yesus.
+-+-+-+-+-+-+
Potongan cerita mengenang Kakak Tinus Logo yang meninggal karena kecelakaan tahun 2005 di Jayapura, dan para pengungsi Nduga dan Intan Jaya.
Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.