BERSANDAL jepit sederhana, seorang anak muda wara-wiri menyusuri ruang pameran. Ia menikmati panggung hiburan dalam kegiatan Hari Aksara Internasional (HAI) di Lapangan Karebosi, Makassar, Sulawesi Selatan. Wajahnya khas lelaki dari ujung timur Indonesia, berjanggut panjang dengan rambut keriting, tampak indah ketika diterpa cahaya matahari.
Aleks Giyai, pemuda dari Bumi Cendrawasih, itu seorang pegiat literasi. Ia mengetuai Taman Bacaan Gerakan Papua Mengajar (GPM). Kehadirannya di Makassar, awal September lalu untuk mengikuti peringatan HAI. Di acara itu ia diberikan penghargaan atas kegigihannya membangun budaya baca di Papua.
Taman Baca GPM, sejatinya, bukan semata inisiatif Aleks. Dia menyebut nama Yohana Pulalo sebagai inisiator. Yohana, kata dia, mengumpulkan anggota karena merasa penting membuat taman bacaan untuk masyarakat. Langkah selanjutnya digelar diskusi kecil. Selain Aleks, diskusi dihadiri Agus Kadepa, Andi Tangihuma, Alfonsa Wayap, Hengky Yeimo, dan Arnold Belau.
Sebelum membentuk taman bacaan, Yohana mengumpulkan anak-anak setelah melihat anak-anak dari mama-mama Papua yang berjualan di Expo Waena. Setiap sore ia mengajar. “Itu sampai dua bulan, sehingga teman-teman lain tergerak dan bersama mendorong kelompok belajar,” ujarnya.
Anak-anak yang diajar tidak semua murid sekolah formal. Ada yang tidak sekolah padahal usianya sudah belasan tahun. Kini GMP sudah berjalan lima tahun. Bagaimana Aleks melakukan kegiatan literasi dan mendorong anak-anak di Papua mengenal dan mencintai buku, lulusan STIKOM Muhammadiyah Jayapura, kelahiran 24 April 1990, ini memaparkannya kepada wartawan HARIAN NASIONAL Eko B Harsono di sela-sela peringatan HAI di Makassar.
Bagaimana kondisi literasi masyarakat Papua?
Tidak bisa dimungkiri, saat ini masih sangat terkebelakang, apalagi jika dibandingkan daerah lain. Jika disebut ada anak yang sudah duduk di bangku SMP, tetapi membaca saja masih terbata-bata, itu benar. Saat ini boleh dibilang Papua masih mengalami darurat literasi. Padahal literasi faktor kunci bagi masyarakat untuk bebas dari belenggu kebodohan dan ketertinggalan.
Artinya, diperlukan banyak relawan literasi dan pekerja sosial?
Betul. Saat ini baru 12 pegiat literasi, sebagian besar anak muda. Selusin pegiat literasi itu kemudian membuat Taman Baca atau Pojok Baca. Sebagian lagi membuat perpustakaan di seputar distrik. Buku-buku dari sumbangan gereja, NGO, dan masyarakat. Di Kota Jayapura sekarang Taman Bacaan Masyarakat (TBM) hanya ada tiga, pegiat TBM di pedalaman nyaris tidak ada. Para misionaris atau para pekerja misi gereja yang datang ke pedalaman membawa bacaan, juga membagikan Alkitab bagi masyarakat.
Apa yang menginspirasi Anda membuat TBM?
Inspirasi datang itu ketika saya melihat anak-anak yang tidak terurus. Hampir sebagian besar mereka lalu lalang dan telantar di jalanan. Itu yang menggerakkan saya membuat sesuatu agar mereka tidak seharian berada di jalan dan dapat memanfaatkan waktu lebih baik.
Apa yang Anda lakukan?
Pertama kami membuka TBM. Itu pada 18 Febuari 2013. Kami memberikan nama TBM Gerakan Papua Mengajar. Fokusnya mendidik anak-anak telantar dan tidak mendapat layanan pendidikan formal. Kegelisahan saya juga dialami Yohana Polalo, seorang rekan yang bekerja di Dinas Pendidikan Papua. Kami lalu mengajak enam orang lain berdiskusi dan membuat program bagaimana menyelamatkan anak-anak telantar ini.
Apa kegiatan yang digagas kali pertama?
Pertama tentu bukan langsung membuat event atau kegiatan. Kami melakukan pendekatan lebih dulu kepada tokoh adat, tokoh gereja, tokoh masyarakat, dan aparat desa. Kami memberikan pengertian kepada mereka bahwa apa yang kami lakukan ini bukan untuk kepentingan kami, tapi untuk masa depan anak-anak di Jayapura. Setelah itu baru dibuat kegiatan aktivitas membaca, hingga akhirnya banyak orang tahu.
Bentuk kegiatannya?
Kami lakukan banyak kegiatan setiap sore, setelah pendidikan formal. Jadi, anak-anak yang bersekolah dan tidak bersekolah menjadi satu. Awalnya, hanya 14 anak yang hadir, lama kelamaan terus bertambah.
Di mana pusat kegiatan dilakukan?
Pusat kegiatan dilakukan di dekat Expo Wainan di pusat Kota Jaya Pura. Kami tidak difasilitasi oleh pemerintah daerah, tapi kami mendapat tempat di halaman gereja di pusat kota untuk melakukan kegiatan bagi anak-anak jalanan. Pengurus gereja menyediakan lahan yang lumayan cukup besar untuk aktivitas kami. Saat ini tengah dipersiapkan beberapa ruang belajar untuk beraktivitas. Dananya kami cari dengan membuat kegiatan yang diselenggarakan oleh komunitas sastra dan taman baca melalui penggalangan. Gereja juga membantu. Saat ini anak jalanan yang kami tangani sekitar 48 orang.
Bagaimana dengan pengajar?
Ada 14 relawan yang terlibat, tapi yang aktif mengajar hanya lima orang. GPM mengajar di dua tempat, di Buper dan di sebuah kedai di Kotaraja. Dalam seminggu kegiatan mengajar dilakukan tiga hari di Buper dan tiga hari di kedai Kotaraja.
Bagaimana proses belajar mengajarnya?
Anak-anak dibagi dalam dua kelompok dengan tiga aktivitas belajar. Tingkat satu untuk mereka yang benar-benar belum bisa membaca dan menulis. Tingkat ini diajar membaca, berhitung, menggambar, serta pengenalan huruf, dan angka. Tingkat dua diajarkan berhitung, memperlancar membaca, dan menulis yang masih putus-putus. Tingkat tiga atau tingkat atas anak-anak yang sudah bisa membaca. Anak-anak tingkat tiga diberikan arahan dan bacaan novel, cerita rakyat, dan buku pengetahuan. Anak-anak di tingkat tiga umumnya siswa SMP dan SD kelas empat ke atas. Tingkat dua anak-anak yang di kelas formal di kelas 1 hingga 3 SD. Tingkat satu mereka yang belum sekolah dan kelas 1 SD yang belum bisa membaca. Kelas belajar buka pukul 15.30 WIT hingga pukul 18.00 WIT. Sejauh ini anak-anak yang terlibat dalam
kelompok belajar di Buper 20 anak lebih dan di Kotaraja 16 anak.
Terkait koleksi buku, dari mana sumbernya?
Koleksi buku yang kami miliki dikirim para donatur juga pegiat literasi hampir dari seluruh Indonesia. Saya sangat bersyukur ternyata jaringan literasi ini sangat kuat sehingga satu sama lain saling membantu serta menguatkan. Kami dapat ribuan buku dari Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, Medan, dan sejumlah kota lain di Indonesia, juga dari NGO di Papua. Saat ini sekretariat kami penuh buku bacaan.
Apa saja kegiatan di TBM?
Kegiatan sangat beragam. Selain belajar biasa, juga lebih banyak berkesenian, berdiskusi, bercerita, dan berinteraksi. Kami membuat kegiatan yang menyenangkan sehingga anak-anak tidak bosan dan besok kembali lagi. Kegiatan dilakukan di dua tempat di gereja dan juga di Taman Budaya. Karena jumlah relawan kurang, hanya 14 orang, maka dalam satu minggu hanya dilakukan tiga kali kegiatan dan pertemuan. Khusus untuk anak jalanan yang tidak bersekolah, kami melaksanakan program pendidikan kesetaraan. Ke depan kami juga ingin membuka PAUD khusus bagi keluarga tidak mampu, tapi masih menunggu sarana dan prasarana memadai.
Apa saja yang diajarkan di TBM?
Pembelajaran yang kami lakukan lebih banyak muatan lokal atau berdasarkan konteks kehidupan sehari-hari yang memang biasa anak-anak Papua lihat. Kalau mengikuti buku kurikulum yang diberikan dinas pendidikan, ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan konteks di Papua. Misalnya, di sana tidak ada menara, jadi kalau ada soal matematika menghitung tinggi menara, kami mengganti dengan menghitung tinggi pohon kelapa atau tiang listrik. Atau soal transportasi, kami tidak mengenal kereta api, jadi kami menggunakan yang lain. Pembelajaran kesetaraan dilakukan sesuai aturan yang ditetapkan pemerintah, berapa banyak tatap muka dan berapa jam harus didapat anak-anak sebelum ikut ujian.
Bagaimana perhatian Pemda Papua untuk kegiatan literasi?
Saya harus jujur, saat ini perhatian yang diberikan Pemerintah Daerah Papua dan Papua Barat masih sangat terbatas. Jika dibandingkan dengan provinsi lain, berdasarkan penjelasan teman-teman di komunitas Forum Taman Bacaan Nasional, saya iri karena perhatian kepada gerakan literasi di tempat mereka sangat baik.
Harapan Anda?
Harapan saya, pemerintah daerah harus peka terhadap persoalan literasi. Hanya dengan literasi kita dapat membangun Papua dan Papua Barat lebih baik. Jika Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat ingin berhasil melaksanakan pembangunan sumber daya manusia, yang harus diperhatikan literasi. Kemajuan suku bangsa di mana pun di dunia ini hanya dapat ditempuh lewat literasi. Bukan dengan cara lain. Terus terang untuk Papua kemajuan pendidikan tidak hanya bisa diharapkan lewat jalur pendidikan formal atau persekolahan, tetapi juga lewat gerakan masyarakat secara masif, melalui gerakan literasi.
Kabarnya Anda juga membentuk komunitas sastra?
Kalau TBM kami lebih banyak kegiatan untuk anak-anak usia sekolah 6 hingga 17 tahun, komunitas sastra untuk mahasiswa dan pemuda di Papua yang tertarik dengan sastra. Kegiatan bersifat sastra dan budaya seperti diskusi, pemutaran film, baca puisi, teater, dan kesenian lainnya. Kami juga punya kegiatan bedah buku dan menulis. Yang menarik, saat ini sudah ada 5 mahasiswa yang kami bina jadi wartawan di sejumlah media di Papua. Bukan itu saja, yang membanggakan kami, ada beberapa sudah menulis buku, berani menulis artikel, cerpen, dan lainnya. Kami dalam pelatihan juga melibatkan sejumlah wartawan lokal. Kami banyak melahirkan kader-kader wartawan, juga sastrawan. Buku yang dihasilkan lebih dari empat, penulis sastra dan puisi ada delapan orang yang sudah jadi.
Nama : Aleks Giyai
Tempat/tanggal lahir : Onago, Papua, 24 April 1990
Aktivitas :
– Ketua Taman Baca Masyarakat Gerakan Papua Mengajar
– Ketua Komunitas Sastra Papua (Ko’SaPa)
Pendidikan :
– Sekolah Dasar YPPK Diyai, Puncak Jaya
– SMPN 1 Mulia Puncak Jaya
– SMA YPK IPA’Iye Nabire, Papua
– Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Muhammadiyah Jayapura
Hobi : Baca buku dan mencintai alam.
Sumber: HARNAS (Harian Nasional)