Oleh: Felix Degei )*
“Saya bangga, ketika saya berbicara dengan bahasa daerahku.Karena hanya dengan mendengar pembicaraanku, orang lain akan mengenalku lebih awal, sebelum aku memperkenalkan diriku kepada mereka.Terlebih khusus adalah tentang siapa saya dan dari mana saya berasal.”
Setiap orang tentu berasal dari latar belakang budaya yang berbeda-beda. Perbedaan latar belakang budaya tersebut adalah, menyangkut tujuh unsur yang terdapat dalam budaya itu sendiri. Ketujuh unsur budaya tersebut, antara lain; sistem teknologi dan peralatan, sistem mata pencaharian dan sistem-sistem ekonomi, sistem organisasi kemasyarakatan, sistem bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi.
Pada tulisan ini, bagian unsur budaya yang akan dibahas adalah menyangkut unsur budaya yang keempat. Unsur budaya yang keempat adalah sistem bahasa. Sorotan khusus dalam tulisan ini adalah tentang bahasa daerah sebagai identitas diri setiap orang.
Sistem bahasa daerah yang digunakan oleh suatu suku bangsa, tentu berbeda dengan yang lainnya. Karena bahasa daerah tersebut adalah merupakan produk khas dari manusia sebagai homo longues yang hidup dan tinggal di daerah tersebut.
Bahasa manusia pada mulanya diwujudkan dalam bentuk tanda (kode) yang kemudian disempurnakan dalam bahasa lisan dan akhirnya menjadi bentuk bahasa tulisan. Bahasa ini biasanya diwarisi sejak zaman nenek moyang. Pewarisannya lebih banyak dilakukan secara lisan dari generasi ke generasi. Bahasa daerah ini juga yang biasanya dikenal oleh setiap orang sejak kecil. Oleh karenanya, bahasa ini juga biasa disebut bahasa ibu.
Bahasa daerah sebagai penunjuk identitas diri. Dikatakan sebagai penunjuk identitas diri, karena hanya dengan mendengar pembicaraan kita, orang akan mengenal dari mana kita berasal. Proses pengenalan itu pun akan terjadi dalam waktu sekejap. Betapa kayanya kita, jika menguasai bahasa daerah kita. .
Dengan menguasai bahasa daerah, kita juga akan diterima oleh sesama kita. Akan tetapi, jika kita tidak menguasainya, maka kita akan merasa dikucilkan atau pun terkucilkan. Situasi itu pun akan menjadi jurang pemisah antara sesama kita yang sebenarnya berasal dari satu suku bangsa. Saat itu pula sadar atau tidak, sebenarnya kita sedang mengalami krisis identitas diri kita.
Selain itu, bahasa daerah juga sebagai pemersatu suku bangsa. Persatuan dan kesatuan dalam suatu kelompok akan kuat, apabila mereka memiliki satu visi dan misi serta pandangan hidup yang sama. Bahasa yang mereka gunakan adalah salah satu faktor juga yang sangat berpengaruh terhadap kekompakkan dalam suatu komunitas. Karena bahasa ini yang akan menjadi sarana antara mereka dalam menyatukan segala persepsi dan pandangan mereka.
Kendatipun demikian pentingnya, namun realita saat ini sebagian besar Bahasa Daerah di Papua terancam punah. Sebagaimana seperti yang dikemukakan oleh Kepala Balai Bahasa Jayapura, Provinsi Papua, Supriyanto Widodo seperti dikutip ANTARA News (2/07/2012) mengatakan, eksistensi sejumlah bahasa daerah yang ada di Wilayah Papua terancam punah. Sejumlah bahasa daerah yang ada di Papua sangat memprihatinkan dan bisa menuju ke arah kepunahan jika tidak secepatnya mendapatkan perhatian yang serius. Sejumlah Bahasa Daerah Papua yang terancam kepunahan yakni di Kabupaten Supiori, Teluk Wondama, Kaimana, Merauke dan sejumlah daerah lainnya. Seperti Bahasa Mapia di Kabupaten Supiori yang tinggal menyisakan satu orang penutur bahasa. Bahasa Miere di Kabupaten Kaimana yang tinggal menyisahkan tiga orang penutur bahasa. Di kabupaten Teluk Wondama yakni Bahasa Dusner yang penuturnya tinggal dua orang. Dan, di Merauke juga demikian. Kami telah melakukan berbagai penelitian terkait bahasa daerah tersebut, dan rata-rata penuturnya sudah usia lanjut.
Selain itu, kepunahan bahasa daerah juga ditemukan di Jayapura Ibu Kota Provinsi Papua. Ada Enam Bahasa Daerah di Teluk Humbold Jayapura yakni; Bahasa Sentani, Bahasa Nafri, Bahasa Kayu Polu, Bahasa Skouw, Bahasa Tobati-Enggros dan Bahasa Moso. “Dari Enam Bahasa ini, hanya Bahasa Moso yang tidak punah.”Kata Kepala Balai Bahasa Sastra dan Budaya Provinsi Papua dan Papua Barat, Supriyanto Widodo, seperti yang dimuat di Tabloidjubi.com, (13/11/2012).
Kedua fenomena tersebut di atas adalah potret kecil dari masalah besar yang sedang terjadi di seluruh Tanah Papua saat ini. Masalah kepunahan ini ibaratnya sama seperti gunung es yang belum nampak seutuhnya di permukaan. Data dan fakta di atas ini adalah hanya dari daerah yang sudah dilakukan penelitian. Tidak tahu dengan daerah yang belum dilakukan penelitian juga studi kasus. Oleh karena itu, Orang Papua kini sudah sedang mulai mengalami krisis identitas diri.
Kepunahan bahasa daerah, pada hakekatnya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berikut adalah kedua faktor utama yang sangat memperngaruhi, antara lain; perkawinan antar etnis atau kawin campur (mix married) dan lingkungan sosial yang heterogen atau multi etnis. Hasil dari perkawinan antar etnis atau kawin campur (mix married) lebih banyak anak-anaknya yang tidak mengenal budaya bapaknya juga ibunya. Sehingga, kondisi seperti ini, bisa membuat anak tidak mengetahui bahasa daerah dari kedua orang tuanya.
Selain itu, lingkungan sosial yang heterogen atau multi etnis juga sangat besar peluang untuk anak-anak muda tidak memahami dengan budaya yang dianut oleh orang tuanya. Akan tetapi, kedua faktor penyebab ini, semuanya kembali kepada kedua orang tuanya untuk bagaimana mau mewariskan adat istiadat ke anak-anaknya atau tidak. Karena, kita ketahui bersama bahwa lingkungan sosial pertama bagi setiap individu adalah keluarga. Sehingga, saat masa kanak-kanak adalah momentum yang sangat tepat untuk mewarisinya.
Ketika ada masalah pasti ada solusinya. Karena masalah ada solusi menyusul. Oleh karena itu, masalah kepunahan bahasa daerah ini juga harus memiliki langkah-langkak kongkret sebagai solusinya. Berikut adalah beberapa langkah-langkah yang harus diambil untuk mengatasi kepunahan, antara lain; pertama: dalam lingkungan keluarga. Keluarga sebagai lingkungan komunitas kecil yang akan dikenal oleh anak pertama kali setelah kelahirannya.
Oleh karena itu, kedua orang tua harus bertanggung jawab penuh dalam mewarisi budaya yang dianutnya. Termasuk salah satunya adalah bahasa daerah. Kedua: lingkungan sekolah. Pihak sekolah juga harus berperan aktif dalam mempertahankan budayanya. Termasuk bahasa daerah yang dianut oleh setiap peserta didik. Pelestariannya bisa diaplikasikannya dalam kegiatan belajar mengajar. Sebagai contoh, di Jawa ada Pelajaran Bahasa Daerah Jawa.
Hal tersebut di atas bisa dijadikan sebagai model untuk daerah lain juga. Karena sebenarnya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum yang diberikan kewenangan sepenuhnya kepada tingkat satuan pendidikan masing-masing untuk menerapkan sistem pendidikannya.
Akhirnya, pelestarian bahasa daerah bukanlah hanya tugas dari segelintir orang. Akan tetapi, semua orang harus berperan aktif dalam mempertahankan identitas dan jati diri kita tersebut.
Bagi Anda yang hingga saat ini tidak tahu berbahasa daerah, maka marilah mulai saat ini untuk belajar. Karena bahasa menunjukkan identitas diri. Bahasa menunjukkan bangsa. Dan, bahasa adalah pemersatu suku bangsa.
* Published: MS (29 April 2013).