Belajar Dari Pigai Nason Bagobii

Kibarkan Sang Bendera Makanan, Gerakan Pemulihan Habitata Untuk Membangun Martabat Hidup Orang Papua Proto Oleh Nason Pigai.
Kibarkan Sang Bendera Makanan, Gerakan Pemulihan Habitata Untuk Membangun Martabat Hidup Orang Papua Proto Oleh Nason Pigai.

Judul: Kibarkan Sang Bendera Makanan, Gerakan Pemulihan Habitata Untuk Membangun Martabat Hidup Orang Papua Proto Oleh Nason Pigai.
Penerbit: Kandil Semesta & Lembaga Studi Meeologi.
Tahun: 2015
Ketebatalan: xviii+171 hlm,
Ukuran: 12×19 cm.
Jenis kertas: bookpaper.

Latar penulisan Buku ini diungkapkan oleh penulisnya sebagai berikut: salah satu materi atau sarana ciptaan Tuhan yang sangat aktif berperan dalam hidup dan kehidupan manusia dari bentukan janin dalam Rahim ibu hingga ke liang lahat adalah makanan.

Dimana makanan berperan sebagai mee komugai- sarana pembentuk manusia, mobu komugai -sarana pembentuk Kesehatan, epi komugai -sarana pembentuk kecerdasan, ipa komugai – sarana beramal, edepede komugai -sarana berbisnis, yuwo komugai -sarana berpesta dan seterusnya hingga seseorang Kembali ke liang lahat dirayakan pula dengan pesta makanan (dagouwoo).

Ia melanjutkan, bahwa makanan sebagai sarana pembawa berkat, makanan juga bisa jadi sarana pembawa petaka dalam kehidupan manusia. Makanan menjadi sumber berkat atau petaka Kembali kepada kemampuan manusia dalam Kelola makanan dalam kehidupan, baik dalam proses adaan, berbagi atau dalam konsumsinya.

Kemampuan bermakanan dari beberapa Orang Papua Proto yang sesungguhnya menjadi panutan, penggerak, atau pembangkit dalam adaan kelengkapan bahan makanan dikebiri atau dilupuh-layukan dengan beberapa kebiasaan atau perilaku hidup tak bermartabat berikut:

1) Pegawai negeri atau swasta kebanyakan hanya tergantung pada gaji dan jatah berasnya, karena dirinya merasa tuan besar dengan status pegawainya;

Bacaan Lainnya

2) Kaum terpelajar hanya tergantung kepada orang tua atau sanak saudara, karena dirinya merasa mahabesar dengan gelar yang diraihnya;

3) Pemda (pejabat Orang Papua Proto) hanya tergantung dan terlena pada hasil produksi dari daerah lain, baik untuk dikonsumsi bagi diri maupun untuk beracara di kantornya, walau ada makanan asli;

4) Hamba Tuhan yang rajin beracara kecil maupun besar hanya mengangungkan makanan datangan dari daerah lain atau pulau lain yang diadakan dengan uang walau ada makanan asli;

5) Penjudi dengan status social apapun, urusan makanan tergantung kepada orang lain atau pihak lain, karena waktu untuk adakan bahan makan dimanfaatkan hanya untuk berjudi;

6) Pemabuk dengan status social apapun, urusan makanan tergantung kepada orang lain atau pihak lain karena dirinya cenderung sibuk dengan kemabukannya;

7) Dtnya.

Ia berasumsi, bahwa suatu suku atau bangsa dikata bermartabat karena sehat, cerdas, berada, bersahabat, beriman, dan seterusnya. Sebaliknya dikata suatu suku atau bangsa tidak cerdas, tidak berada, tidak bersahabat, tidak beriman dan seterusnya. Keduanya diukur dengan tingkat kemampuan produksi dan pemanfaatan kelengkapan bahan makanan yang dikonsumsi kualitas baik maka terjaminlah kemartabatan hidup dari suatu suku atau bangsa, sebaliknya bila bahan makan yang dikunsumsi kualitasnya tak terjamin maka kemartaban hidupnya dipertanyakan.

Buku ini ditulisnya sebagai acuan bagi Orang Mee dan Orang Papua Proto agar memahami makna makanan sejatinya. Dalam rangka itu, Ia menjelaskan tentang fungsi makanan (mee komugai, mobu komugai, ipa komugai, epi komugai, yuwo komugai, edepede komugai, ide komugai, mana komugai, tonowi komugai, emoge komogai), identitas makanan, makanan sebagai berkat atau kutuk (perspektif kisah rakyat Mee, Kisah Nyata, dan Kisah dari Alkitab), julukan bayi raksasa (para pegawai, kaum terpelajar, pejabat pemda, hamba tuhan, penjudi, pemabuk, style man, dan pelancong).

Dan akhirnya Ia menjelaskan tentang kemana seharusnya Orang Mee dan Orang Papua kedepan (rekonsiliasi budaya, berantas penyakit social, pelestarian lingkungan alam, bangkitkan roh yuwo, hidupkan roh sang tonowi, proteksi pasar, pembatasan kiosnisasi, orbitan tanaman atau ternak ungulan, petani sukses dipahalakan, mobilisasi barang dagangan, pemabngunan industry makanan, pembangikitan lembaga ekonomi rakyat, perlawanan terhadap makanan, dan edukasi makanan)

Kelemahan buku ini, penulis belum mengidentitifikasi makanan asli dan makanan baru sebagai satu bahan kajian secara khusus.

Demikian catatan ini dibuat agar Orang Mee bangkit untuk membudidayakan makanan proto Orang Mee Proto. Salam Kreatif Papua: Koyaaaao —aaggoo–

Berikan Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.