Dari mana asal orang Papua?

Pemateri saat menyelenggarakan diskusidi abepura -kosapa doc
Pemateri saat menyelenggarakan diskusidi abepura -kosapa doc

Sejak beberapa tahun terakhir beberapa alumni Antropologi Universitas Cenderawasih menggagas sebuah pertemuan, untuk mendiskusikan asal-usul orang asli Papua (OAP).

Gagasan ini muncul di tengah perdebatan tentang teori monogenesis dan poligenesis ihwal persebaran manusia, terutama orang Papua masa prasejarah. Teori ini pun merujuk pada teori Out of Africa, mitologi lokal, dan perspektif teologi.

Diskusi kemudian dihelat pada Sabtu, 16 Maret 2019, di Museum Loka Budaya Uncen, Abepura, dengan pembicara Andy Tagihuma, Daniel Randongkir, dan peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Papua, Marlin Tola, dan dihadiri beberapa komunitas, lulusan Antropologi Uncen, pemerhati budaya, dan masyarakat umum.

Salah satu peserta diskusi, Aleks Giyai, menyebutkan menurut cerita orang-orang tua, leluhur orang Mee bermigrasi dari wilayah Wamena, Jayawijaya.

Namun, dalam mitologi setempat, diyakini beberapa subsuku berasal dari keturunan ular (dinapa) batu (mogopa), dan tanah, seperti marga Giyai, Pakage, dan beberapa lainnya.

“Kita itu tidak dari mana-mana. Kita sudah di sini (sejak lama),” katanya.

Bacaan Lainnya

Sebelum injil (misi dan zending) masuk, lanjutnya, masyarakat bahkan meyakini ada dunia atas, dunia bawah, dan bumi yang ditempati manusia. Hal ini dikemukakan dalam diskusi sebagai pandangan lokal mengenai asal-usul orang Papua.

Daniel Randongkir, salah satu pemateri usai diskusi kepada Jubi, berujar dari riset yang diperolehnya, nenek moyang orang Melanesia, termasuk yang tinggal di Papua, meninggalkan Afrika sejak 72.000 tahun yang lalu. Mereka berkelana dari Asia 47.000–35.000 tahun yang lalu. Kemudian mereka berpisah dengan orang Aborigin di Australia, dan orang Papua menetap di daratan Papua hingga sekarang.

Sekitar 255 suku asli mendiami Papua. Tiap suku mempunyai pandangan tersendiri tentang asal-usulnya.

“Itu kita sebut sebagai pandangan lokal dan yang tadi migrasi itu pandangan globalnya,” ujar Randongkir.

Namun demikian, literatur tentang pandangan lokal, katanya, masih terbatas. Maka jika berbicara tentang identitas orang Papua, ada pada tiap suku atau marga.

“Tapi identitas Papua secara keseluruhan itu belum ada, karena berbeda pemahaman antara masing-masing suku. Itu juga menjadi tantangan buat kita,” katanya.

Selain itu, lanjutnya, belum ada cendikiawan Papua yang berani memublikasikan hasil studinya. Kalau pun ada, studi tentang Papua dibuat ilmuwan Barat dan berbasis pada masing-masing suku. Masyarakat juga disebut kesulitan untuk mengakses referensi yang sahih.

Maka dari itu, diskusi yang digagas pihaknya, meski baru pertama kali, sedianya menjadi stimulan bagi orang Papua dan pemerintah, untuk menggiatkan penelitian ilmiah tentang asal-usul orang Papua.

Peneliti dari Balar Papua, Marlin Tola, berpandangan bahwa diskusi seperti ini merupakan wadah bersama, untuk memikirkan dan men-sharing-kan pengetahuan soal asal-usul orang Papua, mengingat karakteristik dan suku di Papua beragam.

“Wadah seperti ini sangat bagus sekali untuk menyatukan pendapat, visi (dari berbagai latar belakang ilmu),” kata Marlin.

Dia mengaku Balar Papua tidak cukup data untuk mengungkapkan teori Out of Africaatau Out of Taiwan. Karena itu, dia berharap agar dapat terungkap pasca penelitian tentang migrasi dengan spesialisasi soal morfologi dikaitkan dengan material budaya, yang sedang dikerjakan pihaknya.

Dalam melakukan riset di Papua, Balar tentu terkendala dengan kondisi geografis yang menantang. Apalagi penelitinya hanya delapan orang.

Lain halnya dengan Andy Tagihuma, yang menyebutkan memang menurut teori Out of Africa, orang Papua bermigrasi dari Afrika ini berdasarkan temuan fosil tertua di Afrika, seandainya ada fosil yang lebih tua ditemukann di Papua, tentu saja nanti teori tentang Out of Afrika akan berubah menjadi Out of Papua.

Namun, tiap suku mempunyai pandangan tersendiri tentang awal mula kehidupan. Misalnya, ada suku yang mengatakan Amungme, Anim-Ha, Asmat O, Ap Yali, Ap Hubula, ini artinya bahwa mereka adalah manusia sejati, manusia yang utuh. Mereka manusia yang hadir di wilayah tersebut sejak dahulu kala dan tidak berasal dari luar Papua.

“Konsep itu juga menunjukkan bahwa suku tersebut menghargai keberadaan suku yang lainnya, mereka tidak akan masuk ke wilayah suku lain, sehingga tidak ada suku yang memonopoli suku yang lain. Masing-masing berada di wilayahnya, dan saling menghargai,” kata Andy.

Dia menyarankan agar tiap suku dengan pandangan lokalnya didokumentasikan dengan baik. Dengan begitu tiap suku saling mengenal sejarahnya masing-masing. Pemerintah juga harus mendorong upaya tersebut, sehingga sejarahnya ada–sejarah masa lalu Papua yang utuh.

Meski terdapat jejak prasejarah berupa lukisan dinding batu di Fakfak, Raja Ampat, Biak, Wamena, dan Jayapura, serta beberapa fosil tertua, Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dianggap belum memfokuskan penelitiannya di Papua.

Deputi Direktur Bidang Penelitian Fundemental Lembaga Eijkman, Herawati Sudoyo, saat dikonfirmasi mengatakan Eijikman pernah melakulan tes DNA bagi orang Papua, tetapi belum selesai. Hal itu disebabkan karena masih harus menyelesaikan riset lainnya.

“Belum selesai hasilnya karena masih menyelesaikan yang lain terlebih dahulu,” kata Ketua Tim Unit Identifikasi DNA Forensik Lembaga Eijkman itu, ketika dihubungi Jubi dari Jayapura, Sabtu malam, 16 Maret 2019.

Ketika menyentil teori Out of Africa, beliau mengatakan, “Kita semua Homo Sapiens berasal dari Afrika, moyang kita sama.”

Jika merujuk hal tersebut, tampak bahwa secara fisik orang Papua (dan NTT dan Maluku), tentu memiliki ciri-ciri fisik berbeda dengan orang Indonesia di bagian barat (Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan).

Herawati tak menampik hal tersebut dan asal orang Indonesia sama semua, tetapi dalam perjalanannya terjadi adaptasi terhadap lingkungan. Hal itu sedang dipelajari.

“Betul, orang Papua dan Aborijin migrasi ke paparan Sahul (Papua dan Australia yang masih menyatu) sekitar 50.000 tahun lalu. Semuanya itu tentu saja tidak hanya sekali. Kalau Kepulauan Asia tenggara mengalami 4 gelombang migrasi, yang membentuk kita (Nusantara) sekarang,” ujarnya.

Yang kedua, katanya, terjadi gelombang migrasi sekitar 30.000–20.000 tahun lalu dari daratan Asia; dan ketiga 6.000 tahun lalu dari Taiwan ke selatan, dan zaman sejarah mulai 1.300 tahun lalu, dengan kehadiran perdagangan dari India, Arab, China (Tiongkok) dan Eropa.

“Kesemuanya ini membentuk kita. Kalau NTT sudah (tes DNA) kita selesaikan,” katanya. (*)

Sumber : Jubi.co.id

Berikan Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.