Komunitas Sastra Papua (Kosapa) menggelar pelatihan menulis. Selama ini, komunitas sastra yang bermula dari akun di Facebook ini telah membuka kelas menulis puisi, cerpen, dan esai. Melalui pelatihan menulis, Kosapa mendambakan kelahiran sastrawan Papua yang dikenal tak hanya di Papua, tapi juga di mancanegara.
Untuk informasi selengkapnya, silakan membaca berita yang pernah dipubikasikan di Papua Today pada 24 Juni 2018 berikut ini.
Benediktus Tigi mengaku senang bisa mengikuti pelatihan menulis yang diadakan Kosapa (Komunitas Sastra Papua) di Jayapura.
“Saya senang karena bisa mengikuti kegiatan Kosapa seperti latihan menulis puisi karena pelatihan itulah beberapa tulisan saya bisa dimuat di media Kosapa,” ujarnya.
Tigi berharap Kosapa terus menggelar pelatihan kepenulisan untuk pemuda Papua agar mereka tidak ketinggalan.
Kosapa berdiri pada Juni 2009. Proses pendiriannya sederhana, diawali dengan diskusi dua pendiri, Gusti Masan Raya dan Andi Tagihuma di Facebook. Bentuk pertamanya pun grup Facebook dengan singkatan Kosapa.
“Lahir dari kegelisahan karena melihat perkembangan sastra di Papua yang berjalan di tempat, tidak ada progres, padahal sebenarnya orang Papua hidup di tengah kekayaan kesusastraan,” kata Tagihuma ketika ditemui Jubi di Perpustakaan Kosapa, Minggu, 17 Juni 2018.
Tapi kemudian singkatan itu dipendekkan dengan menghilangkan satu huruf “s” menjadi Kosapa. Ini agar maknanya lebih banyak.
“Ko’sapa kalau dalam Melayu Papua bisa berarti kata untuk menanyakan suatu identitas “sapa eee..”, atau bisa juga untuk menantang, “Ko sapa jadi..”, sapa dalam pengertian harafiah adalah menyapa, memberikan sapaan atau salam, “apa kabar” dan seterusnya,” kata pria kelahiran Wamena ini.
Kedua bentuk pemaknaan kata sapa dalam Melayu Papua tersebut, kata Tagihuma, ditambah pengertian sesunggunya dari kata sapa, menjadi misi dari Kosapa.
“Ya, siapa kitorang, maka tong jawab suda, atau “ko sapa sa, sa sapa, dan tong baku sapa”, ujarnya.
Tahun itu juga Kosapa tak hanya berdiskusi di Facebook, tapi juga menggelar berbagai kegiatan, seperti diskusi bedah buku, pemutaran film, pelatihan jurnalistik, dan menulis esai di kalangan mahasiswa. Bahkan juga membuat situs web dengan domain http://www.sastrapapua.com.
Pada Oktober 2012 Kosapa bekerja sama dengan Yayasan Mudra Swari Saraswati melakukan Satellite Event Ubud Writers & Readers Festival di Jayapura. Kemudian melakukan kerja sama dengan Koran Jubi untuk mengelola rubrik sastra yang terbit setiap Jumat.
Pada 2017 Kosapa menerbitkan tiga buku yaitu antologi cerpen, puisi, dan kata bijak. Penerbitan buku dilakukan untuk menggiatkan literasi di Papua dan mengapresiasi karya-karya sastra yang lahir dari tangan generasi Papua.
“Sekarang ada delapan draf buku yang akan dicetak,” ujar Tagihuma yang menjadi koordinator Kosapa pertama hingga 2016.
Menurutnya, komunitas sastra di Papua mendambakan lahirnya sastrawan Papua yang bisa dikenal tak hanya di Papua, tapi juga dunia internasional.
Sejak 2016 Kosapa memiliki pengurus baru, koordinator Hengky Yeimo dan sekretaris Aleks Giyai.
Kegiatan semakin banyak, di antaranya mengkampanyekan literasi di Tanah Papua, seperti pelatihan menulis di kalangan mahasiswa, pelajar, dan umum, aksi baca puisi, konsolidasi pegiat literasi di Papua, serta nonton bareng film dokumenter yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Selain itu juga membuka kelas menulis puisi, cerpen, esai, dan melakukan diskusi mingguan serta bulanan dengan melibatkan pegiat sastra dan kebudayaan di Kota Jayapura.
Sekretaris Kosapa Alex Giyai mengatakan Kosapa hadir untuk mengangkat kebudayaan dan sastra lokal di Papua melalui tulisan.
“Impian Kosapa ke depan adalah bagaimana mengader anak muda Papua menjadi penulis di Tanah Papua, banyak intelektual atau kaum terpelajar, tetapi mereka tidak terlihat menulis buku, penulis buku di Tanah Papua bisa dihitung dengan jari sehingga kami giatkan menulis,” katanya.
Kondisi ini, kata Giyai, terkait kentalnya orang Papua dengan budaya tutur atau budaya lisan. Budaya lisan tersebut harus diselamatkan oleh generasi sekarang dengan budaya tulis.
“Jika tidak diselamatkan maka generasi Papua akan kehilangan jati dirinya,” ujarnya.
Kosapa, kata Giyai, mengimpikan lebih banyak penulis lahir di Papua. Sebab masih banyak isu menarik seperti sejarah masa lalu Papua yang belum terungkap. Semuanya bisa ditulis oleh anak Papua sendiri dan berpeluang ditulis lebih baik daripada penulis luar yang menulis tentang Papua.
“Yang kami lakukan mendirikan satu penerbit Kosapa dengan tujuan mengakomodir penulis-penulis muda Papua menerbitkan bukunya, tahun ini jika ada uang kami akan menerbitkan sembilan buku, kami berharap ada donatur dari pemeritah atau pihak lain,” ujarnya.
Para aktivis Kosapa tidak berhenti bermimpi. Mereka juga ingin mendirikan yayasan atau lembaga untuk kajian budaya dan sastra lisan di Papua untuk mengangkat pendidikan kotekstual di Papua.
Tahun ini Kosapa sudah memiliki agenda, yaitu diskusi bulanan, diskusi mingguan, mencetak buku, mencetak baju, menerbitkan buletin anak, pelatihan jurnalistik, pelatihan penulisan artikel, opini, esai, solidaritas minat baca dan menulis, serta menjalin mitra dengan pegiat literasi.
Alfrida Yomanop, penulis buku “Lembahayung Senja” menilai, kehadiran Kosapa sangat penting dalam mengangkat sastra dan kerifan lokal, serta mengembangkan literasi di papua.
“Saya mengapresiasi teman-teman di Kosapa yang terus berupaya untuk membangkitkan gerakan literasi di Papua dengan berbagai kegiatan, mereka mendorong generasi mudaPapua agar bisa menuliskan sastra lokal yang ada di daerahnya masing-masing,” ujarnya. (Alberth Wally)
Sebelumnya pernah dimuat di laman ; komunitassastra