Oleh; Giyai Aleks
Nyeri, ngeri pada sebuah negeri. Bahasanya fakta bukan cerita fiksi, kata-katanya misteri tak terduga bukan takdir praduga. Geliat kematian yang mencekam, misteri jeritan insan hitam mengerang. Bayang-bayang yang bukan ilusi tapi nyata, maut hadir menunggangi hidup, mencabut paksa jiwa-jiwa di wilayah sebuah bangsa. Wabah kematian datang dari berbagai penjuru dalam banyak rupa, menyublim jasad dalam bisu menuju liang, pusara-pusara tak bernama pun jejer pada permukaan persada.
Sebilah belati sadis mencincang, menggerogoti nan menyayati palung hidup. Drakula bertaring menancapkan taringnya, cakar-cakar kuku tirani menghujam insan di bumi jajahan, menyayati. Ibaratnya, Zombie yang haus darah, ingin cekik leher untuk diteguk darahnya, kapan saja dan di mana saja, tiap detik dalam setiap waktu. Wabah kematian menjelma seperti tulah, memutilasi hati manusia-manusia. Racun-racun ditanamkan dan terus berkembang, kematian tertawa gembira memecah leluasa di tanah koloni. Di atas takhta tanah air, dijamah angkara, robek masa depannya insan Ilahi. Nyeri, ngeri pada sebuah negeri, musnah kian masif dan nyata.
Sangat mustahil jadi arif dan bijak, sedang di mata gemerlap cahaya ketamakan masuk bertubi-tubi dengan begitu hebatnya. Harta dan kekuasaan praktis menggenggam wilayah nurani, penjarakan keinginan tuk memulihkan. Walaupun, hari-hari samar bayangan kematian dikejar, bahkan lonceng kematian berdering tiap waktu menenggelamkan jiwa-jiwa di kedalaman sumur paling kering. Selain dahaga yang takkan pernah terpuasi di sana dan tersimpan jurang kesengsaraan, berawalnya sebuah kematian. Duka-duka hidup meliuk lamban seakan tak ingin ditamatkan. Luka-luka hidup menanar memar seakan tak ingin dituntaskan. Misteri yang tak mampu terpecahkan oleh akal yang sekedar hidup, namun memerlukan nurani yang ingin kebebasan seumur hidup.
Wahai insan yang tertindih, jiwa-jiwa yang terkulai patah, bathin-bathin yang tersayat pilu. Kuhitung sebagian orang memilih rayakan duka saat hidupnya patah. Sebagiannya lagi memilih mulai berdoa meski terpatah-patah. Jika doa membutuhkan satu alasan, maka sebaik-baik alasan adalah doa-doa syahdu tentang kebebasan hakiki. Maka, berapa lama lagi engkau akan terus mendatangi orang-orang, berapa langkah lagi engkau menjelajah dunia. Terlena sinis dalam ego yang sadis dan terus bercumbu harap pada bangsa-bangsa barbar yang penuh tamak. Carilah pada dirimu sendiri, dan apabila engkau telah menemukan dirimu sendiri, maka kau akan temukan kebebasan dalam dirimu.
Seperti tapak pada jejak, perlahan ia akan terhapus embusan angin, tapi kenangan luka hidup tetap ada, terjaga baik-baik dalam ingatan. Masa lalu yang belum terpecahkan selalu kembali. Kematian-kematian terus akan mendatangi mengetuk tiap insan di bumi koloni. Kehidupan adalah samudera, dan kita jangan hanya mengapung di antara luasnya, dengan sampan mungil yang di nahkodai oleh takdir. Penindasan begitu kencang, jalan juangmu pincang-pincang, lelahmu kocak-kacik. Namun, tetaplah bertahan dalam pencarian makna pembebasan, lewat lorong tak berpintu dalam misteri yang penuh rindu, kau akan kembali membuka pintu kemerdekaan.
Bumi Meeuwo, 10/01/21
Makna yang mendalam jika dibaca oleh anak Negeri