Cerita Pemimpin Papua Tersebar ke Seluruh Dunia

Charles Farhardian, kumpulan cerita tokoh Papua dan buku penelitian yang dilakukannya selama bertahun-tahun di Tanah Papua. (Farsijana Adeney-Risakotta)
Charles Farhardian, kumpulan cerita tokoh Papua dan buku penelitian yang dilakukannya selama bertahun-tahun di Tanah Papua. (Farsijana Adeney-Risakotta)

Oleh: Farsijana Adeney-Risakotta

Saya masih bergetar karena segera akan merilis kisah-kisah tokoh Papua yang sebenarnya adalah pengulangan pengetikan dari apa yang sudah dilakukan oleh Charles Farhardian.  Sebagai seorang intelektual, Farhardian sudah tertarik dengan Papua terutama suku Dani sejak ia berumur 18 tahun. Ketika saya di rumahnya, beliau menunjukkan fotonya ketika pada umur 18 tahun berada diantara saudara-saudaranya di lembah Baliem, Papua.  Daya tariknya telah membawanya untuk melakukan penelitian di antara suku Dani tentang bagaimana kehidupan mereka sebelum menjadi Kristen dan sesudah Irian Barat diserahkan Belanda kepada Indonesia.

Minatnya kepada Papua dalam kurun waktu lama yang diikuti dengan penelitian untuk mengerti tentang peran agama dalam kehidupan orang Papua ternyata mempertemukan pendekatan antropologis dan teologi yang selama ini sering kali dianggap tidak obyektif sebagai pilihan dalam membangun kerangka teoritis dan metodologis yang merepresentasikan kenyataan suatu komunitas yang diteliti. Farhardian melalui bukunya berjudul “ Christianity, Islam and Nationalism in Indonesia” (New York and London: Routledge, 2005) dengan sangat teliti mampu menghadirkan kompleksitas orang-orang suku Dani sebelum dan sesudah menjadi Kristen yang diikuti dengan proses integrasi ke dalam Indonesia.

Agama ternyata sangat berperan membentuk identitas suku tetapi juga identitas sebagai negara bangsa seperti terlihat pada pewajahan nasionalisme yang dibangun oleh Indonesia.  Farhardian dalam bukunya mampu menunjukkan bahwa kekristenan yang berhasil mengakomodasikan pandangan agama nenek moyang yaitu nabelan kabelan ternyata belum mampu mempersiapkan  orang-orang Dani untuk hidup dalam dunia modern.  Pengalihan agama secara besar-besaran terjadi pada tahun 1960 an, orang-orang Papua menjadi Kristen sebenarnya untuk memelihara semangat pietisme dari abad ke-19 yang diajarkan oleh misionaris dalam penginjilan mereka di tanah Papua.  Semua produk materi yang dipergunakan dalam upaya agama nenek moyang Papua dibakar. Tetapi pengalihan agama ini tidak diikuti dengan proses pendidikan seperti yang terjadi pada daerah lain dalam teritori  the Dutch East Indies sebut misalkan daerah Maluku, tetapi dibiarkan tak terkelola pengembangan sumber daya manusia disebabkan karena pengalihan kedaulatan pemerintah yang cenderung mengembangkan kebijakan pengembangan Papua sebagai sumber daya alam untuk Indonesia.

Program pengembangan Papua bisa didukung oleh penyebaran transmigrasi yang mendapat prioritas dalam kebijakan nasional dibandingkan keberpihakan kepada orang asli  Papua yang ada di tanah Papua. Kekuatan budaya Orang Asli Papua mulai lemah ketika kantong-kantong ekonomi yang mengelola sumber pengetahuan budaya Papua dalam format modern seperti batik Papua ternyata menyingkirkan OAP sendiri.  Pelebaran konflik di antara pendatang dan Orang Asli Papua makin terbuka disebabkan karena kebijakan negara yang bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan asing seperti Freeport (dari Amerika Serikat) yang cenderung merekruit pendatang sebagai karyawan dibandingkan dengan OAP.

OAP tinggal dalam kantong-kantong kemiskinan tanpa kekuatan karena infrastruktur penguatan kapasitas pendidikan dan pengembangan ekonomi berbasis lokal tidak berjalan dengan baik yang lebih cenderung memihak kepada pendatang.  Situasi ini terlihat selama 32 tahun dalam masa Orde Baru sampai tiba masa Gerakan Reformasi yang membawa kehidupan berdemokrasi di  Indonesia  tetapi sekaligus berdampak bagi kebangkitan nasionalisme Papua.  Referendum yang disetujui oleh pemerintahan B.J Habibie ternyata melahirkan kedaulatan sebagai negara merdeka kepada Timor Leste telah memberikan semangat kepada OAP untuk bersatu meninjau ulang sejarah integrasinya ke dalam Republik Indonesia. Sejak terbentuknya tim 100 yang merupakan wakil-wakil Papua, OAP masih menunggu adanya Dialog antara Pemerintah Pusat, antara Jakarta dengan rakyat Papua.

Bacaan Lainnya

Farhardian yang mengangkat pertanyaan penting tentang transformasi agama di kalangan OAP ternyata harus melihat faktor-faktor lain di luar agama yang turut membentuk suatu komunitas menjadi dirinya, sekaligus keputusan komunitas tersebut untuk beralih agama. Misalkan terjadi di kalangan suku Dani, di mana salah satu kepala sukunya memutuskan menjadi Islam sehingga seluruh warga mengikutinya. Alasan perubahan agama terkait dengan penerimaan gaji setiap bulan yang ternyata ketika menjadi Kristen tidak ada uang gaji. Buku ini sangat penting dibaca karena memperlihatkan bagaimana agama bisa menjadi alat propaganda untuk mengubah suatu komunitas tanpa diikuti dengan tanggungjawab penuh dalam pengembangan akhlak, pengetahuan yang seimbang untuk menunjang kemandirian bagi penganut agama tersebut.

Charles Farhardian sangat optimis masalah Papua bisa diselesaikan apabila semua orang beragama, baik Kristen dan Islam bisa menyadari kesalahan yang dilakukan dalam memberdayakan Orang Asli Papua.
Dalam buku yang disuntingnya dengan jugul Kisah Hidup Tokoh-Tokoh Papua (versi Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Deijai, West Papua, 2007) dan dengan terjemahannya dalam bahasa Inggeris yang berjudul The Testimony Project Papua, diterbitkan oleh Penerbit Deijai, West Papua, 2007) yang kedua sumber ini bisa diakses pada website www.thetestimonyprojet.com.

Farhardian telah mewancarai 12 tokoh pimpinan Papua dalam kurun waktu dua kali perkunjungan di tanah Papua. Nama-nama mereka diketik menurut urutan yang muncul dalam buku suntingan Fahardian baik dalam versi bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Inggeris. Pertama, Amelia Jigibalom; kedua, Benny Giay; ketiga Willem Rumsarwir; keempat, Obed Komba; kelima, Marjono Murib; keenam, Helena Matuan; ketujuh, Jesua Nehemia Jikwa; kedelapan, Oktovianus Mote; kesembilan, Uma Markus Kilungga; kesepuluh, Noakh Nawipa; kesebelas, Herman Awom; dan keduabelas,  Nicholas Jouwe.

Saya telah meminta izin dari  Charles Farhardian untuk mengetik ulang kisah-kisah tokoh Papua ini supaya dibaca secara luas kepada seluruh warganegara Indonesia sehingga kita semua tahu apa yang sedang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Papua dan tokoh-tokohnya. Tetapi cerita-cerita tidak bisa menggantikan cerita yang ada dalam buku yang disunting oleh Charles Farhardian sebagaimana sudah saya jelaskan di atas.

Adapun tujuan penyebarannya adalah mendorong pelaksanaan Dialog Jakarta – Papua yang melibatkan tokoh-tokoh Papua, yaitu mereka yang dianggap adalah pengkhianat bangsa Indonesia sebagaimana dituduhkan dengan menggunakan KUHP terkait dengan tindakan subversif.  Seperti dikatakan oleh Pastor Neles Tebay, Dialog Jakarta – Papua perlu mengikutkan tokoh-tokoh Papua yang dianggap sebagai anggota OPM dan KNPB yang berada di tanah Papua dan yang ada di mana-mana di seluruh dunia.  Aspek lain yang terkait dengan itu adalah penyebaran kisah-kisah tokoh Papua ini  memberikan makna mendalam kepada mereka, tokoh-tokoh Papua untuk menghentikan perang demi menghindari makin banyak korban dari masyarakat sipil yang meninggal karena pertarungan yang dibenarkan oleh negara Indonesia yang dilihat sebagai perlawanan negara dengan pemberontak-pemberontak yang menggugat hak keutuhan NKRI.

Penyebaran ini dilakukan dalam tanggungjawab saya, Farsijana Adeney-Risakotta, sebagai salah satu moderator Petisi Warganegara NKRI untuk Papua, yaitu suatu gerakan jejaring sosial maya dan juga dalam realitas nyata untuk membangun kesadaran seluruh warganegara NKRI di Indonesia dan di seluruh dunia terhadap upaya penarikan militer Indonesia dari tanah Papua dan mendorong dilakukannya perdamaian melalui dialog Jakarta – Papua sebagaimana diinginkan oleh warganegara NKRI yang berada di tanah Papua.  Salam amalulukee.