Oleh : Amos Yatipai
Latar Belakang
Berangkat dari persoalan yang sedang kita hadapi terutama dalam dunia pendidikan, saya memiliki suatu tips atau cara yang ditujukan kepada gerakan untuk menawarkan suatu metode cerita atau sering kita kenal dengan diskusi. Metode ini bukan sesuatu yang baru dan sulit. Setiap harinya kita selalu melakukannya, namun karena wacana sehari-hari dikacaukan oleh semua hegemoni-hegemoni yang tujuannya menindas membuat wacananya selalu bergeser dari kenyataan yang ada di balik itu. Jika, kita mengharapkan pendidikan yang formal banyak keterbatasan yang menghambat kita. Mulai dari hal ekonomi dan batasan-batasan lain. Oleh karena itu, di tahap awal saya ingin menawarkan suatu pendidikan alternatif yang dapat diterapkan dimana saja dan kapan saja melalui metode “tong cerita tong pu masalah”.
Sejak dahulu kala, semua manusia termasuk kita orang Papua memiliki suatu konsep mengetahui, mempelajari, dan memahami. Atau dalam bahasa sehari-hari kita mendengar dengan belajar. Sebelumnya dan pada umumnya hingga saat ini, proses mengetahui itu kita lakukan dalam bentuk lisan. Kita baru mengenal konsep pendidikan modern yang membawa konsep tulisan sejak akhir abad-20, kemarin. Proses mengetahui itu sendiri, setiap suku di Papua memilikinya te. Namun dalam kesempatan kali ini, saya akan mengurai berdasarkan konsep mengetahui dalam suku Mee, yang dikenal dengan tiga istilah yakni, dou (mengamati), gai (berfikir), ekowai (aksi).
Berangkat dari konsep yang kontekstual ini, saya merasa penting untuk dikembangkan guna meningkatkan pemahaman masyarakat biasa melalui metode lisan di saat ini. Tujuannya agar kita bersama-sama melihat realitas yang terjadi guna tercapainya kesadaran bersama. Kemudian, akan menjadi suatu aksi untuk menanggapi hal yang telah dikelola, dianalisis, dan direfleksikan bersama.
Paulo freire seorang tokoh pendidikan yang perhatian terhadap masyarakat tertindas. Ia menawarkan suatu konsep yang serupa dalam hal tertentu dengan cara yang sudah diterapkan di Papua dalam bentuk lisan. Berangkat dari situ, saya akan menguraikan suatu cara baru yang melampaui konsepnya, refleksi-aksi, dengan cara yang praktis dan lisan supaya dapat digunakan bersama untuk kesadaran akan realitas yang terjadi di Papua.
Pembahasan
Sebagaimana semua manusia yang berfikir memiliki konsep kebijaksanaan atau orang sebut dengan filosofi, dalam suku Mee dikenal dengan Dou-Gai-Ekowai (DGE). DGE juga merupakan cara menilik realitas. Tentu saja sebagai manusia pada umumnya, tidak terlepas dari tiga tahapan yang dalam Mee disebut dengan Dou-Gai-Ekowai. Oleh karena itu, saya akan meminjam kata-kata ini untuk menjelaskan lebih mudah dan kontekstual dalam hal memahami realitas berdasarkan Teori Pendidikan Freire dan dibahas kontekstual dalam berdasarkan pandangan orang Mee.
Pertama, Apa itu Dou-Gai-Ekowai? Dou berasal dari kata dalam bahasa Mee yang jika diartikan dalam bahasa indonesia adalah melihat. Sedangkan Gai artinya berfikir, berefleksi, menganalisis, mengkontemplasikan. Dan Ekowai artinya aksi, melakukan, mempraktikan, merealisasikan. Jika kita merangkai dalam tahapan-tahapannya maka, akan menjadi suatu proses dari satu kesatuan akan disederhanakan menjadi “tangkap-refleksi-aksi”. Proses inilah yang biasa disebut Dou-Gai-Ekowai. Tidak boleh, sekalipun setiap orang berhenti pada tahapan kedua, karena proses memahami itu tidak akan terasa lengkap. Kekosongan itu dalam bahasa sehari-hari kita sering mendengar bahwa ada yang mengatakan, “kalo ko tahu bicara saja tu omong kosong, harus buktikan”. Pernyataan seperti ini sering terlontar karena suatu pembicaraan harus berakhir dengan suatu aksi nyata sesuai dengan kadarnya. Jika, mengabaikan proses menangkap, kita juga sering mengatakan bahwa, “ko lihat dulu baro bicara”, pernyataan ini pun terlontar karena ada ruang kosong antara realitas dan pembicaraan seseorang.
Berbeda dengan Freire, ia hanya menegaskan refleksi dan aksi, tetapi tentu saja juga pasti melalui upaya menangkap tetapi ia tidak membedakan itu. Ia menganggap menangkap dan refleksi merupakan suatu kesatuan. Sehingga, perbedaanya yang akan dibahas dan freire terletak di sini. Freire menekankan supaya tidak ada yang menjadi guru dan murid. Oleh karena itu, di sini diharapkan supaya dalam proses, semua peserta cerita diharapkan untuk menatap objek persoalan bersama-sama. Semua orang memiliki ruang untuk membicarakan apa yang diketahui dari persoalan yang dibahas berdasarkan hasil pengamatan dan pengalaman.
Dalam kehidupan sehari-hari pun kita tidak terlepas dari cerita. Entah itu sambil makan pinang di para-para, sambil menonton bola, sambil bekerja, sambil duduk bersama keluarga dst. Tempat yang mau ditawarkan di sini, bukan tempat yang formal tetapi sangat fleksibel di mana saja. Bisa melalui kesepakatan bersama dan juga bisa lebih spontan, asal memahami bagaimana cara memulainya. Yang jelas tempat pelaksanaannya di mana kita melakukan interaksi satu sama lain.
Seseorang pemancing cerita harus memancing untuk memulai bercerita. Ia harus menguasai topik tertentu untuk menjelaskan persoalannya dengan lebih sederhana. Tidak harus berpendidikan tinggi tetapi, menguasai suatu pokok pembahasan tertentu. Wajib juga bahwa, pelaku awal menguasai bahasa setempat sehingga mudah untuk dicerna oleh masyarakat.
Sebelum memasuki pembahasan pokok, perlu diingat bahwa ketiga tahap ini harus dilalui semua. Tidak boleh terhenti pada satu tahap. Supaya menjadi kebiasaan dan pengetahuan itu bertambah, harus dilakukan terus-menerus. Sebagaimana kita rasa lapar dan makan, ketika rasa buang air, pergi ke toilet dst. Sehingga, daya menangkap realitas masyarakat semakin mantap dan semakin kaya sehingga mampu menjadi masyarakat yang adaptif dengan keadaan, dan bila bertolak belakang tentu masyarakat akan tahu cara menghadapi dengan sendirinya.
Apa yang mau diajarkan?
Saya merumuskan materi-materi dalam tiga kata ini, yakni “tong pu masalah”. Artinya bahwa realitas yang kita hadapi saat ini merupakan materinya. Kita sedang menghadapi masalah yang sulit yakni ketertindasan yang mencakup diskriminasi, rasialisme, korupsi, nepotisme, kolusi, dan berbagai penyakit sosial lain. Selain itu, kita juga sedang dilanda imperialisme, kolonialisme, dan sedang dipropagandakan keras oleh militer karena mereka mengunggulkan militerisme. Sehingga, persoalan-persoalan ini bisa menjadi materi utama yang akan mengarah kepada membangkitkan kesadaran masyarakat bahwa sedang terjadi persoalan seperti yang beberapa hal telah diurai.
Tidak semua orang memahami persoalan ini semua. Tetapi, organ-organ memiliki kapasitas untuk itu. Sehingga, mereka akan menjadi pemancing diskusi untuk membahas/menceritakan “tong pu masalah”. Selain kapasitas, gerakan juga mencakup wilayah yang luas sehingga dapat memudahkan setiap organ untuk mengisi peluang itu hingga pelosok.
Bagaimana caranya?
Selanjutnya, setelah memahami masalah-masalahnya, bagaimana caranya melakukannya? Secara sederhana hal utama yang harus dilakukan adalah “coba cerita” terus menerus. Maksudnya apa? Pertama, pengarah menyiapkan apa yang ingin dibahas. Kemudian, mendiskusikannya bersama-sama. Terakhir, melakukan aksi setelah mengetahui tantangannya. Tidak hanya berhenti di situ, proses ini harus berlanjut terus menerus. Maka, setelah melakukan aksi, kemudian melihat lagi perubahan apa yang terjadi, kemudian merefleksikannya lagi dan akhirnya bertindak lagi. Caranya proses ini harus berlanjut terus-menerus tanpa henti. Proses ini tra boleh berhenti karena, persoalan tidak akan hanya datang sekali saja tetapi, akan berdatangan dan itu adalah suatu tantangan yang kemudian kita melihat lagi, me-refleksi-kan, meng-aksi-kan, dan kemudian melihat lagi perubahannya.
Pendamping hanya perlu melakukan pemancingan untuk diskusi. Semua orang harus bicara sesuai dengan yang dia lihat dan dia rasakan. Jadi, di sana tidak ada yang menggurui. Tetapi, pada tahapan pemancingan perlu menjelaskan definisi dan bagaimana terjadi persoalan itu. Kemudian, diberi kesempatan untuk semuanya berbicara atau bahasa lebih dalam lagi curhat. Pada akhirnya, curhatan tersebut akan dilakukan aksinya untuk suatu perubahan tertentu.
Supaya lebih sederhana saya mau memberikan contoh praktis. Pertama, seorang pemancing memberikan penjelasan mengenai kolonialisme. Karena, bahasa ini terlalu sulit masyarakat tidak langsung memahami, maka menerjemahkan dalam bahasa indonesia artinya penjajahan. Penjajahan itu pun bila sulit untuk dipahami. Sehingga diulas dengan bahasa yang lebih sederhana. Misalnya, penjajahan itu orang-orang yang datang ke tempat orang lain pu tanah untuk ambil dong pu tanah. Lebih kontekstual lagi, orang-orang luar papua yang datang ke papua untuk ambil kita punya tanah itu yang dong bilang kolonialisme atau bahasa indonesia itu penjajahan. Kemudian lanjutkan dengan pertanyaan yang memancing mereka untuk berbicara akan apa yang mereka lihat dan rasakan. Kamu pernah lihat atau rasakan tidak kalian atau kalian pu tanah yang sekarang dong su ambil? coba ceritakan? Setelah saling berbagi maka kemudian, semuanya menyepakati untuk melakukan tindakan lanjutan. Misalnya dengan berjanji dan menceritakan kepada mereka yang lain atau kerabat untuk tidak menjual tanah lagi.
Untuk saling memperkaya, seseorang bisa menceritakan penjajahan yang pernah terjadi di daerah lain dengan singkat. Hal ini berkaitan dengan bagaimana cara mereka melakukan penjajahan. Hal ini tentu harus dilakukan di dalam proses diskusi. Diskusi tidak boleh berhenti sampai di refleksi tetapi harus berlanjut dengan aksi. Misalnya, setelah dengan pegangan tidak menjual tanah, diharapkan konsep ini bisa menjadi buah bibir atau bahan cerita untuk dapat diceritakan kepada orang lain yang ditemuinya. Kemudian, menyarankan untuk datang bergabung bersama.
Pertemuan berikutnya, sebelum masuk kepada pembahasan baru, setiap orang mengungkapkan apa yang telah dilakukan dan bagaimana respon dari orang lain yang sudah diceritakan. Selain, itu mengungkapkan sudah berapa banyak tanah yang sudah dikuasai orang lain dan mengapa? Kemudian, melanjutkan pembahasan baru yang berkaitan dengan pembahasan sebelumnya. Hal itu berlanjut terus hingga pengetahuan kita semakin bertambah terus.
“tong cerita”
Apa tujuannya?
Tujuannya apa? Tujuan dari pembelajaran ini adalah untuk menyadarkan masyarakat bahwa sedang menghadapi persoalan tertentu. Selain mengetahui cara melihat persoalan, semakin hari masyarakat akan bertambah pengetahuannya sehingga dapat melakukan aksi tertentu dalam kehidupan sehari-hari yang mengarah kepada perubahan di masa yang akan datang. Misalnya, setelah melalui proses belajar, masyarakat diharapkan telah mengetahui pembahasan mengenai penjajahan. Kemudian, secara langsung akan mengetahui penjajah itu bekerja dan akhirnya masyarakat akan secara sadar akan mengetahui cara apa yang mereka harus lakukan nantinya.
“kas tau”
Kepada siapa?
Kepada Siapa kitong harus cerita? Yang jelas sasaranya kepada masyarakat umum yang sedang tertindas. Dalam rana kita adalah orang Papua pada umumnya, dimanapun dan kapanpun “kitong duduk bersama”. Kepada mama-mama pasar, kepada pemuda/i yang terjebak kepada gesekan saman (anak aibon, remaja yang suka mabuk, penganggur, dst), gerakan, dan kepada semua orang yang sedang mengalami penderitaan.
Pembahasan ini tentu bukan jawaban yang “selesai”, tetapi sebagai pengawal. Saya menawarkan ini kepada gerakan di manapun anda berada. Tulisan ini belum sempurna sehingga dengan berjalannya waktu dan di dalam organ sendiri pasti akan semakin mantap menggunakan metode ini. Tawaran ini tidak terlalu sulit, mudah dan praktis. Tidak terlalu ketat juga dengan aturan-aturan formal sebagaimana kita belajar di dunia pendidikan formal. Sehingga, sebagai pengawal penting untuk dicicipi.
Semoga tawaran ini akan memampukan kita untuk semakin objektif memahami realitas kita yang semakin tergesek zaman dan sedang membuang kita kepada ketertindasan. Sehingga, kemudian melalui proses ini, kita semakin mampu menemukan solusi-solusi baru yang alternatif juga pengawal jangka panjang untuk bangkit dan melawan.
Pengangguran yang sedang berada di Timika