Oleh; Radhar Panca Dahana )*
KETIKA remang tenggelam di gelap malam, apa kita pun lelap dalam kelam? Sementara hidup dan bising di siang belum terlalu silam. Mungkin kita merenung. Di dunia pikir dan batin kita tercenung, meremas masalah yang menggunung. Kemudian kita mencipta kesimpulan dan merumuskan perbuatan. Tapi, dengan apa semua itu mendapat ukuran? Tidak bisa tidak dari pikiran, dari sehatnya akal pikiran.
Namun, apa itu akal sehat? Apa sekadar argumen yang kuat dibekali pesona kata dan kalimat? Retorika yang abad 19 sudah tamat, di tanah lahirnya negeri Barat? Tidak, tidak cukup, sobat. Akal atau pikiran adalah alat pencerna kenyataan, dalam Yunani kuno disebut logos dalam banyak pengertian. Intinya, ia adalah susunan pendapat atau argumen yang didasarkan pada data valid atau absah. Valid itu teruji oleh banyak ahli atau eksperimentasi, bukan data yang basa atau yang basi.
Maka itu, bila akal sehat dilandasi data tak pasti, sumir, apalagi palsu, asumsi atau kesimpulan kesusu, tentu ia tidak sehat. Bisa jadi ia khianat, khianat pada kebenaran. Sebab, data valid adalah dasar dari (pikiran/argumen) yang benar. Tak dapat mengatasnamakan akal sehat bila sumber info/data dari satu sumber saja. Bukan akal sehat bila simpulan dibentuk dari praanggapan, kecurigaan, fitnah, atau dugaan. Akal jadi tak sehat bila dibumbui dan dikecapi emosi sesaat atau mental yang sesat.
Tapi, tunggu, sobat. Kebenaran pun tak cukup bagi akal sehat. Ukuran sehat tidak melulu benar pada dirinya (pikiran itu) sendiri. Juga seharusnya pada siapa kebenaran ditambat. Pada manusia seluruh umat. Akal, logos dalam bentuk reason, juga selaiknya memberi maslahat. Pada hidup dan budaya ia bermanfaat. Akal harus benar dan baik untuk jadi sehat.
Maka itu, tidaklah kamu berakal sehat bila kamu berpikir, berbuat, dan berpendapat, tapi tidak membuat pikiran, badan, dan hati orang lain bertambah sehat. Akal kita tidaklah sehat bila kebenaran kita klaim demi kepentingan kerabat, apalagi jadi amunisi dendam yang kesumat.
Karenanya, mari kita bersehat-sehat. Sehat menciptakan keceriaan dan kebahagiaan. Timbang semua pikiran juga kelakuan biar seimbang, kepentingan sendiri juga kebutuhan lain orang. Di situ kesimpulan, sikap, dan pilihan bisa sehat kita tentukan. Semua atas dasar kebenaran dan kebaikan. Bukan nafsu atau syahwat berlebihan, terlebih pada kekuasaan, terlebih emosi gelap pada siapa pun lawan.
Sesungguhnya, sobat, kita ini satu keluarga. Persatuan yang organik, tak sekadar marga. Di hidup kita yang bahari sejak dahulu masa, tak ada jarak di antara kita. Biar tak satu kita berumah, tanah pijak pun jauh berpisah, tapi air, sungai, dan laut memadu kita dalam satu kisah. Kisah cairnya jarak di antara kita, mengalirnya pengaruh di antara kita, isi-mengisi jati diri kita, membuat kita kaya karena jutaan warna melukis hidup kita sejak dulu kala.
Menjunjung Persatuan
Kita adalah ikatan yang dibentuk alam dan zaman. Keragaman menakjubkan jadi keajaiban ikatan yang menyatukan. Ada kau dalam diriku, begitu aku pun dalam dirimu. Ada Batak dalam Aceh, ada Aceh dalam Bugis, ada Bugis dalam Jawa, ada Jawa dalam Bali, ada Bali dalam Betawi, ada semua dalam diri ini. Kita ini satu, satu keluarga: kitorang basodara.
Kitorang basodara, hei Jawa, hiduplah damai dan sejahtera di tanah Minahasa. Kitorang basodara, hei Batak, nyamanlah mencari nafkah di bumi Sunda. Kitorang basodara, hei Tionghoa, Arab, India, Persia, Inggris, Portugis, atau Armenia, beranak pinaklah dan tenteram di negeri Indonesia. Karena kita sama, kita semua—apa pun muasalmu-beradab sama, adab bahari, yang menjunjung langit di atas tanah yang kita pijak. Tak ada, tak perlu, juga tak guna, kesombongan adat asalmu, identitas aslimu, agama keyakinanmu jika hanya jadi duri, jadi racun atau rayap yang mengeroposi tiang-tiang keluarga kita bersama.
Apa yang berbeda jadi berkah kekayaan meja hidangan kita. Masuk ke tubuh menjadi budaya, jadi identitas sejati kita. Buat apa kita pertajam perbedaan bila dengan itu kamu jadi dewasa? Kenapa kita alergi pada yang asing, padahal dengan itu kita membentuk bangsa? Terlebih, untuk apa kita hina bahkan hendak kita buat musnah, siapa pun yang tak sepaham dengan kita? Bukankah itu justru membuat dirimu sendiri musnah? Ragamu hidup, tapi jiwa tertimbun tanah, hingga rezeki Ilahi tak jadi berkah dan agama pun punah. Tidak saudara, jangan sekali-kali pernah, kau bikin negeri luka bernanah, atau sesal kau rasakan tak sudah-sudah.
Akal kita tidaklah sehat bila kebenaran kita klaim demi kepentingan kerabat, apalagi jadi amunisi dendam yang kesumat.
Kitorang basodara, karena kita akan pelihara bangsa bersama. Rangkul kembali mereka yang mungkin alpa, mereka yang karena syahwat terlena, mereka yang hanya punya pilihan beda. Semua itu hanya sementara. Apa yang abadi adalah bangsa, adalah budaya yang kita pelihara, melintas masa dan ratusan kuasa. Negeri ini akan abadi, mengarungi laut bahari, tiada henti, hingga nanti.
Tak ada yang mampu menghentikan ketika nafiri kapal kita bersuara. Tiada takut kita bila nasib dan takdir-Nya bicara. Kita akan selalu setia hingga kita terbenam dalam pusara. Sebab, aku dan kau adalah saudara. Kitorang basodara.
)* Budayawan
Sumber: mediaindonesia