Oleh; Radhar Panca Dahana )*
waktu angin barat datang bertandang
ombak meninggi, ke pantai ia pulang
ninik mamak menyembur sirih berpinang:
“pergilah jauh, Kundang,
gagahlah takdir kau tantang, tiada pantang!”
lalu berlalu,
onak belukar, tapal terluar
pulau-desa bertebar di jala tersebar
tetua-tua mengibar kabar:
“siapa kamu?”
“akulah kamu!”
“tapaklah di sini bila begitu,
teh kudapan kujamu
siapa pun tamu, siapa pun kamu.”
maka, tanah di mana pun jadi rumah
apa pun yang asing terasa ramah
dijejak para sepuh semua berlindung
di bumi terpijak, di situ langit terjunjung.
dan dunia tetaplah belantara
dunia segala warna, semua rupa
hidup-menghidupi mencipta rimba
riuh yang jadi rimbun daun
ketaksamaan yang bersamaan.
sebab kau mengisi aku
kauaku sedahulu satu selalu
kitorang basodara
biar buah di hutan berlaksa rupa-rasa
di pinggan ia satu juga.
buat apa lalu suaramu sumbang
cuma berbeda buah kau buang
segala rupa-rasa kau mau hilang
hingga hidup gamang, tak terpegang?
“segera pulang, Kundang
bukan ke tanah kandang, tapi ke langit tandang.”
haluan-buritan hanya ujung yang sama
kapal satu yang kita jaga, karena
“kitalah satu bangsa,” ujar si tua
“kita satu nama.” sergap yang muda
sejak semula
hingga akhirnya
kitorang bersodara.
Jakarta, 05/04/2019
)* Sastrawan, budayawan Indonesia