Persimpangan Cinta!

Ilusrasi, pikiranrakyat
Ilusrasi, pikiranrakyat

Oleh: Esther Haluk

“Suatu saat aku akan berdiri didalam gedung ini, dan akan duduk disalah satu kursi yang berjejer itu”, kataku sambil menunjuk foto ruang sidang Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) di New York, Amerika yang terdapat dalam salah satu buku pelajaran sekolahku kepada ayahku.

Ayahku hanya tersenyum dan berkata, “Tentu saja kamu bisa pergi kesana suatu saat nanti, sayang. Tapi apa yang ingin kau lakukan disana?”

“Aku tak tahu Papa, tapi aku tahu bahwa suatu hari nanti aku akan berdiri membelakangi gambar podium dengan gambar lambang PBB tersebut”, kataku dengan suara pasti tanpa keraguan.

Itu mimpi seorang gadis kecil berumur 9 tahun yang masih duduk dibangku kelas 4 SD. Mimpi itu terekam dalam catatan harian lusuh milikku, karena sedari kecil aku suka mencatat semua pengalaman hidupku didalam buku agenda hadiah ulang tahun seorang Pamanku. Kebiasaan itu kudapatkan dari ayahku yang senang membuat catatan-catatan penting dalam buku agendanya.

Catatan tua itu ternyata disimpan oleh ibuku, entah karena ibuku pernah membaca semua catatan impianku sehingga ia menyimpannya atau hanya sekedar ingin menyimpan apa yang ia tahu penting sekali bagiku dari jejak masa kecilku.

Bacaan Lainnya

Entahlah

Catatan itu kembali ku baca bertahun-tahun kemudian sebelum aku meninggalkan rumahku tercinta untuk melanjutkan pendidikanku diluar Papua. Saat aku sedang sibuk mengemasi pakaianku, Mama masuk dan duduk disisi tempat tidurku sambil membawa buku agenda lusuh tersebut.

“Non, ada hal yang Mama ingin  kamu lihat”, kata Mama sambil memperhatikanku.

“Ya, Ma? Kataku menghentikan aktivitas yang sudah kulakukan sedari tadi.

“Masih ingat ini?, kata Mama sambil menunjukkan buku tua itu.

“Maaaaa, itu saya punya buku”, teriakku sambil menghambur kearahnya dan memberikan kecupan bertubi-tubi karena rasa senang yang tak terhingga.

Sambil membuka lembaran-lembaran kertas lusuh itu, aku membaca tiap goresan pena seorang anak kecil yang mencoba menggambarkan dunia lewat kata.

Dengan mata berkaca-kaca kutelusuri tiap baris kalimat yang ada didalam buku catatan tua milikku dari masa kecilku itu. Ada banyak catatan berisi mimpi-mimpi gadis kecil yang polos disana.

Catatan penuh harapan, saat segalanya terlihat mungkin dan mudah digapai. Gadis kecil seusiaku tak tahu berapa duit yang harus dikeluarkan untuk mencapai satu saja impian dari daftar itu, namun yang ia tahu mudah membuat daftar dan memberi nomor urutan-urutan kota yang akan dikunjungi plus pekerjaan apa yang akan kulalukan nanti jika aku besar nanti. Yah…seperti biasa, cita-cita selalu berubah sesuai mood atau sesuai dengan trend anak-anak seusiaku.

Disana, dalam catatan itu terdapat nama kota-kota di beberapa negara yang berbeda yang akan kudatangi suatu ketika dimasa depan. Tertulis disana dengan jelas dan dengan huruf kapital. Salah satu daftar nama kota adalah New York, dan alasanku berkunjung disana adalah pergi ke Gedung PBB dan berada didalam ruangan sidangnya yang waktu itu kulihat didalam sebuah foto hitam putih dalam salah satu buku pelajaran sekolahku.

Saat membaca catatan lusuh itu, aku sudah sepenuhnya menjadi gadis remaja yang tak sabar keluar dari rumah dan menjelajah dunia lain diluar didinding kamarku ataupun rumah masa kecilku ini. Kini, aku Nona, gadis berusia 17 tahun yang sudah memahami bahwa keadaan dan ekonomi keluargaku yang pas-pasan takkan mungkin mampu mewujudkan mimpiku menginjakkan kaki dikota-kota besar dunia yang kutuliskan dengan entengnya didalam catatan lusuh dari masa kecilku itu. Itu sebabnya saat membaca goresan penaku yang lama itu, aku hanya tersenyum-senyum sendiri sambil meneneramkan diriku bahwa mimpi itu hanya khayalan seorang anak kecil belaka.

Waktu terus berganti wajah, dan aku sudah menyelesaikan kuliahku diluar Papua kemudian pulang kembali ketanah airku, dan kembali pulang ke kehangatan rumah dimana selalu ada cinta dan kasih sayang yang tak pernah berakhir untukku.

Kembali ke pelukan Mama dan Papa lagi, sebelum suatu saat nanti seorang pria datang menjemputku dan membawaku pergi dari sarang hangat milikku itu.

Hidup berjalan tanpa riak- riak sama sekali, namun aku harus berganti pekerjaan berulang kali. Bukan karena aku tak suka atau tak nyaman bekerja disuatu tempat dalam waktu lama, namun jiwa petualang milikku tak betah berlama-lama dan terlalu nyaman berada disuatu tempat.

Akhirnya, suatu waktu aku bekerja di salah satu LSM yang kemudian membuatku memiliki banyak teman dan juga jaringan kerja baik level local, nasional maupun Internasional.

Pada usia pertengahan 30-an inilah, suatu hari aku menerima email berisi undangan untuk menghadiri sebuah event Internasional yang diselenggarakan setiap tahun di Gedung PBB New York yaitu mengikuti Permanent Forum of the Indigenous Forum (Forum Masyarakat Pribumi PBB) yang biasanya dilakukan setiap tahun pada pertengahan hingga akhir April. Semua biaya perjalanan dan akomodasi ditanggung oleh Lembaga yang mengundang, dan aku sama sekali tak mengeluarkan sepeserpun kecuali untuk jajan-jajan pribadi. Aku begitu senang dan melakukan segala macam persiapan karena ada kegiatan-kegiatan lainnya yang sudah dijadwalkan untuk kuikuti nanti selagi disana.

Jujur saja, aku lupa pada daftar mimpiku itu.

Satu minggu sebelum keberangkatanku, kukabarkan pada Mama tentang keberangkatanku dan apa nama kota yang akan aku datangi. Ketika aku menyebut nama kota tersebut, diujung sambungan telepon Mama terdiam agak lama dan kemudian bersuara pelan, “Non, New York itu nama kota yang ada dalam buku catatanmu, sayang. Mama masih ingat, kamu bilang akan ke Gedung PBB di New York. Apa yang akan kau lakukan disana?”

Gantian, aku yang ternganga karena tadi aku belum sempat memberitahu Mama untuk apa aku ke New York.

Tertegun !

Akh Tuhan, ternyata semesta dengan caranya sendiri mewujudkan mimpi yang dulunya terasa begitu mustahil, sama mustahilnya dengan cara bagaimana aku akan pergi kesana nanti.

Gratis tanpa mengeluarkan sepeserpun.

Aku tahu biaya untuk kesana sangat mahal, dan dengan gajiku yang kecil saat ini pasti butuh bertahun-tahun bagiku untuk bisa pergi kesana. Tak hanya itu, hotel yang kutinggalipun di daerah Manhattan merupakan sebuah hotel elit yang berjarak 500 meter dari Gedung PBB, yang biasanya ditinggali oleh para diplomat- diplomat dari seluruh penjuru dunia.

Ini takdirku.

Aku tak tahu kemana hidup akan membawaku nantinya.

Akhirnya kakiku berjejak di kota New York dan kemudian tanpa menunggu lebih lama langsung kutinggalkan kamarku dan bergegas menuju jalan raya dan menghentikan laju taksi kuning yang sedang berseliweran dengan teratur. Jantungku berdetak begitu cepat, tak sabar menjejak di hamparan taman luas dan duduk kursi dibawah rimbunan pohon – pohon . taman paling terkenal didunia yang biasanya hanya bisa kunikmati lewat film-film Holywood, Central Park – New York, disuatu senja dipertengahan bulan April, beberapa hari sebelum memasuki musim dingin yang berangin kencang dan sangat dingin.  Ada banyak spot terkenal yang juga menjadi penanda kota yang tak pernah tidur ini, dari mulai Time Square atau Broadway, ataupun Menara Gedung Empire State Building, yang terkenal dalam film romantic “Sleepless in Seattle” yang di bintangi oleh aktris Meg Ryan dan aktor Tom Hanks. Film itu begitu membekas dan tak pernah bosan ku tonton, dan bahkan anganku mengembara memasuki lantai dasar Gedung itu, kemudian berjalan pelan menuju lift yang akan mengantarku kepuncak Gedung tersebut, dan disanalah akhirnya aku menemukan cinta sejatiku.

Itu angan yang terkadang berkelebat dibenakku tatkala aku kembali menonton film romantic itu, dan aku merasa bahwa ada seseorang yang akan kutemui diatas atap Gedung megah bernama Empire State Building tersebut.

Namun, hari berganti tanpa sesuatu yang berarti terjadi disela-sela jadwal padat kegiatan selama Forum Masyarakat Pribumi tersebut. Banyak teman baru dan juga pengalaman baru yang kudapatkan. Tak hanya itu, ada banyak diskusi dan jaringan yang berhasil terbangun dari bincang-bincang Bersama berbagai utusan Masyarakat Adat dari berbagai penjuru dunia.

Ada perasaan yang sulit digambarkan pada saat pertama kali kakiku menjejak halaman Gedung megah itu. Selesai melewati penjagaan yang begitu ketat, tak menyia-nyiakan kesempatan, aku mengabadikan gambar dipatung berbentuk senjata yang melengkung keatas yang masyur itu. Lalu, berjalan cepat menghindari hembusan angin dingin dengan buru-buru masuk kedalam Gedung megah itu. Saat itu, jantungku berdegup kencang, karena sedikit lagi aku akan melangkah memasuki ruangan utama yang sejak kecil hanya bisa kunikmati lewat gambar-gambar belaka.

Namun renungan panjang lainnya menusuk hatiku tak berperasaan, saat kesadaran mengapa kini aku harus datang jauh-jauh mengais perhatian untuk tanah airku yang kini terampas dan menjadi bulan-bulanan bangsa lain.

Di dalam Gedung inilah pernah sejarah bangsaku yang digelapkan pernah disahkan dan aku yakin bahwa suatu saat ditempat inilah palu tanda pengesahan berakhirnya deritaku dan rantai yang memasungku dan bangsaku disahkan.

Kebebasan dan kemerdekaan itu sangat berharga dan layak untuk diperjuangkan dengan harga berapapun.

Begitu banyak pengalaman yang terekam dalam benak, dan begitu banyak manusia dari segala bangsa yang menjadi sahabatku semenjak itu dan komunikasi terus terjalin semenjak perkenalan kami walupun itu hanya sekedar saling menanyakan kabar belaka.

Kota ini begitu hidup, menggeliat tak henti.

Aku hanya duduk menikmati orang-orang yang berlalu lalang dengan langkah panjang, dan terlihat tak ambil pusing dengan keadaan sekitar. Semua berjalan dengan bahu yang terlihat turun sekan-akan memikul beban berat. Tak hanya itu, banyak pandangan mata yang terlihat kosong, tanpa sinar kehidupan. Namun ada juga tatapan penuh gairah hidup dan cinta dimata para pecinta yang sedang dimabuk asmara.

Pada akhirnya, dua hari sebelum keberangkatanku kembali ke Tanah Airku, kuputuskan untuk mengunjungi Empire State Building. Waktu yang kupilih untuk mengunjungi Gedung itu adalah  sore  hari karena aku ingin merasakan sensasi saat sang pemeran pria maupun wanita dalam film ‘Sleepless in Seattle’ yang rajin kutonton itu bertemu dipuncak Menara itu. Hari itu berjalan seperti biasa, dan aku memutuskan akan tinggal saja di hotel Hampton Inn karena diluar sedang berhembus angin kencang yang sangat dingin menusuk tulang, dan aku hanya ingin bergelung dalam kehangatan selimut tebal sambil membayangkan diriku sedang menikmati papeda panas dengan kuah asam dan ikan gabus atau mujair.

Akh lamunan yang terasa begitu nyata hingga tak sadar air liurku menetes membayangkan kenikmatan itu.

Bayangan tentang kuah asam yang segar dan enak, plus kehangatan cinta itu membuat gamang menyeruak dalam dada. Rindu begitu membuncah didada.

Sambil berbaring menatap langit-langit kamar, aku membuka aplikasi Facebook untuk memposting gambar diriku duduk dibangku besi dibawah deretan pohon Elm  di Central Park sambil menikmati senja dan melihat pasangan kekasih yang berjalan sambil berpelukan atau mengamati para pelukis yang membujuk para pejalan kaki untuk mengabadikan moment dalam gambar-gambar lukisan menarik atau mengamati tubuh kekar para lelaki yang sedang jogging.

Foto itu kujadikan sampul fotoku, tak lupa ku cantumkan dimana foto itu diambil.

Ting !

Ting!

Ting !

Tak berapa lama 3 pesan di messenger masuk mengganggu lamunanku tentang enaknya memakan Papeda disaat cuaca dingin seperti ini.

“Hey, Nona ! Are you in New York?”

“Are you still here in NY?”

“I’d love to meet you if you are still here!”

Itu bunyi 3 pesan yang menggemakan bunyi tanda pesan masuk tadi.

“Hi Mike, yeah I’m in NY at the moment. Sure, I’d love to meet you too”, balasku cepat.

“I’m staying in 45 Street in Hampton Inn, Manhattan my friend”, lanjutku mulai bersemangat dan langsung duduk tegak karena tak menyangka akan segera bertemu dengan pria yang selama ini sering berkomunikasi denganku melalui Facebook.

Aku memang tak terlalu memperhatikannya, karena komunikasi dunia maya tak selalu bisa kupercayai. Apalagi jika menyangkut orang yang tinggal jauh dan berjarak ratusan kilometer dari tempatku.

Ting !

“I’ll pick you up for dinner at 7”, hanya itu saja pesan yang terbaca dilayar gawaiku.

Pembicaraan kami singkat, tak panjang lebar bahkan tak ada basa basi sama sekali. Langsung ke tujuan dan diakhiri dengan kesepakatan berjumpa.

Singkat, padat dan jelas.

Tidak putar-putar bicara hal lain dan kemudian mengutarakan maksud atau isi hati belakangan.

Pembicaraan itu berhasil membuatku tak bisa berkonsentrasi untuk beristirahat sepanjang hari itu. Pesan dari Mike masuk jam 9 pagi ini dan  semenjak itu aku tak bisa memejamkan mata untuk tidur sambil menunggu waktu berjumpa dengannya. Benakku sibuk memikirkan pakaian apa yang akan ku kenakan, apakah aku harus memakai gaun atau celana panjang dan dimana kami akan makan malam dan seterusnya.

Benak penuh dengan tanya tak berujung.

Seperti memahami kegelisahanku, tepat pukul 5 sore Mike mengirimiku pesan, bahwa ia ingin mengajakku jalan-jalan menikmati kota New York dan karena cuaca dingin maka sebaiknya aku memakai celana panjang dan pakaian yang tebal dan hangat.

Akhirnya aku merasa lega.

Tepat pukul 6.45 aku mendapatkan telpon dari meja resepsionis yang mengabariku bahwa aku sedang ditunggu oleh seseorang.

Cepat-cepat kutemui Mike di lobby hotel.

Saat aku memasuki lobby, aku melihat seorang pria berkulit hitam tampan, bertubuh tegap yang sedang duduk mengamati tamu hotel yang berlalu lalang. Ketika melihatku, ia langsung berdiri dan tersenyum lebar sambil menuju ke arahku degan tersenyum lebar.

Sikapnya hangat.

Seakan sudah lama mengenalku, dengan Langkah tegak ia memberikanku pelukan hangat sambil memberikanku ucapan selamat datang. Kami berbasa-basi sejenak dan Mike langsung mengajakku keluar dari lobby hotel sambil menggandeng tanganku.

Ia mengajakku makan steak daging sapi yang sangat enak dan lembut sambil minum beberapa gelas anggur untuk menghangatkan tubuh kami.

Setelah itu kami berjalan-jalan menyusuri jalan – jalan dikota New York, dan memilih duduk disalah satu kursi dan mengamati orang yang berlalu lalang sambil bercerita tentang apa saja. Malam semakin larut, namun kami makin tak ingin berpisah. Kami berbagi kisah hidup kami masing-masing dan berusaha saling mengenal.

Hawa dingin makin menusuk dan Mike mengajakku ke sebuah café yang letaknya tak jauh dari hotel tempatku menginap, agar aku bisa kembali dengan cepat kepenginapanku.

Kali ini minuman kami berganti ke Margarita untuk mengusir hawa dingin.

Tak banyak hanya 4 gelas dan kemudian kami putuskan mengakhiri malam di tempat tinggalnya.

Aku baru mengetahui bahwa ia seorang arsitek yang juga cukup berada dan seorang pegawai negeri Sipil di negeri Paman Sam. Kantuk telah hilang dari mata kami, dan berganti dengan rasa tak ingin kehilangan yang kuat untuk mereguk sisa-sisa waktu kebersaamaan ini.

Memang kami pernah saling mengungkapkan ketertarikan dan saling bertelepon beberapa waktu dan kemudian komunikasi kami sama sekali terputus, dan kini kami merajut waktu benang- benang rasa yang hampir putus dengan pandangan mata, dengan kecupan, dan sentuhan serta pelukan-pelukan hangat.

Perasaan yang melanda kami berdua begitu kuat dan sangat murni, tak ada sentuhan dengan keinginan raga dan gairah yang meletup-letup. Kami berdua hanya duduk bersandar d sofa diruang tamunya yang luas sambil berpelukan dalam diam sambil bercerita apa yang akan kita lakukan esok hari saat perpisahan menjelang dan jika kita harus kembali terpisah oleh jarak dan waktu.

Kami hanya diam menikmati kesunyian sambil mendengarkan detak jantung kami masing-masing, dan kemudian mengikat janji-janji untuk setia, dan membangun impian masa depan kami berdua dan belajar membangun kepercayaan. Setelah cape bercerita panjang lebar, kamipun tertidur karena kelelahan karena tak tidur semalaman.

Hanya tidur berpelukan dan saling menghangatkan, tanpa seks karena kami ingin melakukannya suatu waktu kelak, disaat yang tepat.

Ya ternyata kami berdua punya prinsip yang sama bahwa seks harus dilakukan dalam pernikahan karena akan terasa berbeda dan kita bisa menikmatinya.

3 tahun telah berlalu sejak terakhir kali kami bertemu.

Sebenarnya tahun lalu adalah waktu yang kami sepakati untuk bertemu namun pandemic Corona membuyarkan mimpi dan menghancurkan rindu kami yang menggunung.

Akh semoga aku tak harus menunggu lama untuk menginjakkan kaki di Central Park kembali dan menikmati berjalan-jalan dibawah rimbunan pepohonannya sambil memeluknya.

Akh rindu ini makin merobek rasa.

Terkadang aku gamang memikirkan apa yang akan kulakukan kelak jika aku harus meninggalkan semua hal dan memilih cinta, akankah aku mampu melupakan semua hal yang kucintai disini? Apakah aku bisa meninggalkan semua perjuangan panjang dan sunyi dan memilih menjadi warga negara lain dan melupakan semua perjuangan ini?

Aku ingin meraih dan memeluk kedua cinta ini bersama-sama, cinta kepada tanah air dan cinta pada laki-lakiku. Sebuah pilihan yang sulit.Aku berdiri di persimpangan jalan. Entahlah, kedua cinta ini adalah cinta yang tak bisa kupilih dan menjadi buah simalakama bagiku.

Aku tahu bahwa aku akan ke gedung yang ku namai ‘Honai semua bangsa’ itu, lagi dan lagi, dan dengan caranya sendiri maka Tuhan dan semesta akan membuka jalan untukku suatu saat nanti.

Semoga semesta memberiku jalan mengusir kegelisahanku dan menenangkan jiwa yang kalut ini !

(Numbay, 23 November 2020)

Pos terkait