Lelaki Januari

Cover buku Lelaki Januari
Cover buku Lelaki Januari

Penulis: Ummu Fatimah Ria Lestari,
ISBN: 978-602-225-392-1
Terbit: Mei 2012
Halaman : 219

Novel ini adalah novel antropologi yang bercerita tentang perjalanan Suminah dan anaknya, Yanti dari Negeri Kapal Phinisi, Sulawesi Selatan hingga ke Bumi Cenderawasih, Papua. Sebenarnya kedua perempuan ini memulai perjalanannya di Yogyakarta, lalu ke Kalimantan, hingga Ke Jayapura. Namun yang diceritakan dalam novel ini hanyalah penggalan kisah perjalanan mereka ketika berada di tiga kota, yaitu Kota Makassar, Denpasar, dan Jayapura. Suminah dan Yanti melakukan perjalanan panjangnya (dari Jawa sampai ke Papua) untuk satu tujuan, yaitu mencari keberadaan lelaki yang bernama Utomo.

(Terpaksa) Menyelundup

Kapal kargo itu pelan-pelan bergerak dari pelabuhan di Samarinda menuju pelabuhan di Pare-Pare tepat pukul tiga sore. Aku berhasil menyelundup naik ke kapal itu. Tapi sayangnya, hal itu diketahui oleh seorang Anak Buah Kapal (ABK) di situ. Untungnya ABK itu ternyata seorang baik hati.

“Mbak, Mbak!! Mau apa naik ke kapal ini?” teriak sang ABK dari dek kapal.

Kuabaikan teriakan si ABK. Yanti kugendong dengan erat ketika melompat dari dermaga pelabuhan untuk naik ke kapal kayu itu. Begitu menginjakkan kaki di lantai kapal, aku berlari untuk menghindari kejaran sang ABK. Lelaki yang bernama Arifin itu pun tak kalah gesit. Ia mengejarku hingga ke buritan kapal.

“Maaf, Mbak! Saya tidak bermaksud jahat sama Mbak. Saya cuma mau tahu maksud Mbak dan anak ini naik ke atas kapal saya,” katanya ketika ia berhasil mencegat kami.

Bacaan Lainnya

“Saya sedang dikejar-kejar oleh orang jahat di pelabuhan tadi. Kebetulan saya melihat kapal ini sudah bersiap untuk berangkat, makanya saya cepat-cepat  naik untuk melarikan diri. Tolong izinkan saya untuk menumpang kapal ini, Pak!” kataku memelas dengan lelehan beberapa butir air mata. Mungkin karena Yanti merasakan bahwa ibunya sedang ketakutan, tiba-tiba ia juga menangis dengan kencang dalam gendonganku. Arifin menjadi jatuh iba, apalagi setelah mendengarkan suara tangisan Yanti.

“Anak ini mungkin sudah kelaparan dan kelelahan. Kebetulan saya dipercayakan sebagai kepala ABK di atas kapal ini, nanti saya akan mencoba menjelaskan kepada teman-teman saya yang lain tentang keberadaan kalian di sini,” kata-kata Arifin terasa sejuk di hatiku. Rasa takutku mulai berganti dengan rasa nyaman.

“Terima kasih, Pak,” tukasku.

“Kalian tunggu di sini sebentar! Saya akan menemui teman-teman saya yang lain, nanti saya akan kembali lagi kemari,” pesannya sebelum meninggalkan kami di dek kapal.

Perlahan-lahan kapal kayu itu bergerak meninggalkan pelabuhan Samarinda. Aku berdiri di dekat buritan kapal menikmati hembusan angin laut, sambil menunggu Arifin kembali. Dalam batinku tiba-tiba muncul kebimbangan, “Apakah Arifin benar-benar akan membantuku? Kenapa lelaki itu sangat baik kepada kami? Sebaiknya aku jangan percaya begitu saja padanya.”

Kubuka gendongan Yanti, lalu kubiarkan gadis  kecil itu berdiri di sampingku. Aku khawatir kalau Yanti akan bosan dalam gendonganku terus-menerus. Kutatap dalam-dalam wajah putriku itu, wajah itu sangat mirip dengan lelaki yang tengah kucari, Mas Tomo yang sudah menghilang berbulan-bulan lamanya tanpa kabar berita. Aku mulai terhanyut lagi dalam lamunanku tentang lelaki itu, aku terkenang lagi akan kebersamaanku dengan lelaki itu di awal-awal pernikahan kami dulu.

“Maaf, Mbak! Apa kalian sudah makan?” pertanyaan Arifin membuyarkan lamunanku, juga membuat Yanti bergeser semakin dekat denganku. Aku menoleh ke arah lelaki itu dan meraih Yanti ke dalam pelukanku.

“Belum. Anak saya juga sudah dua hari belum makan apa-apa, ia hanya mengeluh kepada saya kalau   ia lapar.” Dengan menatapnya tegas, kujujur tentang keadaan kami.

“Oh ya? Perkenalkan! Saya Arifin,” ucap lelaki itu sambil menutup kedua telapak tangannya di depan dadanya.

“Saya Suminah. Ini anak saya, Yanti,” balasku. “Sebenarnya Mbak ini tujuannya ke mana?”

tanyanya lagi.

“Saya tidak tahu, Pak. Seperti yang saya katakan tadi, kami dikejar-kejar oleh orang yang tidak kami kenal. Makanya kami terpaksa naik ke kapal ini untuk menyelamatkan diri,” jawabku.

“Memang suaminya ke mana, Mbak?” tanyanya lagi penuh rasa heran. Ia mungkin tidak habis pikir ada seorang perempuan berkeliaran di luar rumah bersama anaknya tanpa ditemani oleh suaminya.

“Saya tidak tahu. Saya sudah berusaha untuk mencarinya ke mana-mana, tapi belum ketemu-ketemu juga. Ini fotonya, mungkin Bapak pernah melihatnya,” kataku sambil merogoh tas bawaanku untuk mengambil foto Mas Tomo. Lalu kutunjukkan foto suamiku itu kepada Arifin.

Arifin memperhatikan foto yang kusodorkan. Ia mengotak-atik memori di otaknya untuk mengingat- ingat di mana ia pernah  bertemu  orang  dalam  foto itu. Beberapa menit kemudian, otaknya memberikan keputusan bahwa ia tidak pernah melihat atau bertemu dengan lelaki yang ada dalam foto itu.

“Ehhhm, rasanya saya tidak pernah bertemu atau melihat orang ini,” katanya sambil mengembalikan foto itu.

“Apakah Bapak yakin?” tanyaku ingin memastikan. “Iya, saya yakin,” jawabnya tegas.

“Di ruangan sebelah kanan itu adalah ruangan salat. Nanti malam Mbak dan Yanti bisa beristirahat di situ. Saya juga akan menyuruh seorang teman untuk membawakan kalian makanan, tapi ala kadarnya saja ya. Maklum, di atas kapal ini laki-laki semua. Tidak ada yang pintar masak,” tawarnya kemudian.

“Bisa menumpang di atas kapal ini saja, saya sudah sangat berterima kasih. Apalagi kalau disuguhi makanan, Pak,” basa-basiku.

“Namanya juga sesama manusia, harus senantiasa tolong-menolong. Baiklah kalau begitu, saya tinggal sebentar ya? Saya masih harus mengontrol situasi kapal ini,” katanya dengan bijak, kemudian mohon diri dari hadapan kami.

“Oh iya. Sekali lagi, terima kasih banyak. Tapi sebenarnya tujuan kapal ini mau ke mana ya?” kulancarkan pertanyaan yang seharusnya sudah sedari awal kuajukan.

“Kapal ini menuju pelabuhan di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Mudah-mudahan di sana nanti kalian bisa bertemu dengan orang yang kalian cari,” jawabnya membesarkan hatiku.

“Amin,” aku mengamini perkataannya, lalu Arifin ikut mengamini.

Arifin pun berlalu. Sore sudah mulai beranjak petang. Aku terduduk di lantai kapal, dan Yanti berbaring di atas pangkuanku. Kubelai dengan lembut rambut tipis putriku yang diterpa angin buritan. Kulemparkan pandanganku begitu jauh ke ujung cakrawala. Aku jadi teringat akan keluargaku di kampung halaman. Aku mulai didatangi rasa rindu kepada ibuku. Betapa  di saat-saat seperti ini aku butuh semangat dari orang- orang terdekatku. Tapi apa lacur, semuanya itu sudah kutinggalkan jauh. Aku kini seorang single fighter untuk menjaga putriku dan menemukan keberadaan suamiku. Pun aku kini, single fighter untuk keutuhan pernikahanku. Rasa pilu, sedih, dan merana membuncah menjadi  satu. Betapa kuberjuang sendiri untuk menemukan di mana titik keberadaan Mas Tomo. Hanya Yanti yang menjadi semangat juangku kini. Gadis kecil itu telah membuatku menjadi seperti seorang Srikandi. Yanti yang telah membuatku lebih kuat dalam menempuh perjalanan demi perjalananku. Yanti yang menjadikanku bertahan untuk hidup dalam pengembaraan yang tak pasti tujuannya.

 

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.