Pergilah, Binggaku!!

Daun ubi jalar (klikdokter)
Daun ubi jalar (klikdokter)

Oleh: Esther Haluk

Entahlah, mengapa aku merasakan ketertarikan ini padamu.

Terkadang dengan gamang ku telusuri rasa hati ini tuk sekedar menemukan jawaban mengapa hadirmu saat ini begitu mengganggu ruang nyaman tanpa cinta yang selama ini kubangun dan kunikmati. Semua terasa biasa dan tanpa riak-riak sampai pada perjumpaan singkat setelah pesan-pesan singkat lewat WhatApp bahwa kau ada di kota ini, di Numbay.

Memang dulu perkenalan kita juga hanya terjadi lewat media sosial. Di awali dengan saling mengomentari postingan, kemudian berlanjut saling menanyakan kabar di inbox messenger dan kemudian dilanjutkan dengan saling menukar nomor telpon dan pada akhirnya berakhir dengan saling mendengarkan suara bahkan memandang lewat video call.

Akh..begitu singkat, namun intens dan membekas.

Perbincangan yang tadinya dilakukan dengan sopan, mulai bergeser keranah yang lebih intim. Kita sudah tak segan ataupun malu mengungkapkan rasa ‘nyaman’ yang asing bernama ‘kangen’ yang mulai rajin menemani dikala kenangan akanmu berkelebat didalam benak menggagalkan dan membuyarkan konsentrasi.

Bacaan Lainnya

Sudah lama rasa seperti ini singgah dalam hatiku, dan itu terjadi bertahun-tahun lalu.

Memang awalnya diskusi panjang kita hanya seputar kondisi Tanah Air kita, banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi dan bagaimana membangun pergerakan demi pembebasan nasional. Persatuan seperti apa yang harus dibangun, dan dimana letak kelemahan kita serta siapa sebenarnya lawan dan kawan kita dan sebagainya.

Aku suka pada pikiran-pikiranmu yang progresif, bahkan semakin dalam diskusi kita aku menemukan jejak-jejak warna teori-teori anarkhisme disana.

Pikiran baru yang segar dan sangat revolusioner dengan pemahaman-pemaham filsafat yang membuatku suka mendengarkanmu, saling berbagi pemikiran bahkan berdebat tentang berbagai pemikiran-pemikiran.

Percakapan cerdas, dan aku suka itu. Entahlah, memang dari dulu aku menyukai lelaki pintar yang mengutarakan logika dengan santai dan pemikiran dan pemahaman mendalam. Kau mulai membuatku, tak sabar menanti percakapan-percakapan kita yang berikutnya. Aku mulai rajin memeriksa pesan masuk atau panggilan telepon hanya untuk melanjutkan diskusi kita yang tertunda.

Jarak yang jauh diantara kita membuat penantian itu begitu mendebarkan. Pada akhirnya, kebenaran tentang siapa dirimu terkuak perlahan.

Harapan-harapan yang awalnya membumbung tinggi dan tak menjejak bumi perlahan terhempas turun dengan hantaman keras.

Saat itu, kau sedang sibuk menanti kelahiran putramu. Saat menemukan kenyataan itu, memang tak ada pilihan lain dalam hatiku selain meninggalkanmu.

Terlarang bagiku membangun kehidupanku diatas luka sesamaku, Perempuan.

Itu tak mungkin, dan takkan pernah kulakukan.

Cinta pada kehidupanlah yang menggerakkanmu dan aku menelusuri jalan-jalan terjal berbatu yang berdebu dan meneriakkan kebenaran-kebenaran sunyi yang sepi dari hingar bingar ketenaran. Tak boleh jejak-jejak kita dinodai lagi dengan sakit hati dan duka karena hati yang terluka.

Cukup sudah air mata untuk kekejaman karena sejarah yang tergelapkan, dan himpitan prahara surga kita serta kemerdekaan yang terampas, jangan kau tambahi beban duka dengan segala sakit akibat rasa.

Kenangan ini akan kukekalkan dalam keabadian disudut hatiku, suatu kenangan indah namun terlarang bagiku!

***

Pada akhirnya, setelah mengetahui kebenaran tentangmu, ku putuskan pergi membawa rasa kagum dan cinta yang mulai bersemi itu.

Pergi dan menjauh!

Memutuskan segala komuniaksi kita dan bahkan sama sekali tak ingin tahu tentangmu lagi. Semua berjalan baik pada akhirnya! Aku berhasil melupakannmu!

Tiba-tiba, delapan bulan kemudian sebuah pesan masuk dari nomormu membuatku terpana.

“Akh…ternyata aku tak pernah benar-benar ingin melupakanmu karena nomormu ternyata muncul Kembali dilayar gawaiku”, batinku dengan rasa resah.

Kau ingin bertemu denganku dan menanyakan dimana aku berada dikota ini. Di Numbay.

Laju waktu ternyata sudah menghapus rasa marah dan jengkel di waktu lalu.

Hari ini, aku hanya merasakan rindu padamu. Entah mengapa, rasa rindu ini begitu kuat menyeruak mengalahkan logika yang berusaha merasionalisasi jenis hubungan seperti apa yang harus dibangun nanti. Beberapa jam sebelum moment perjumpaan tersebut, aku berusaha menenangkan diriku karena tiba-tiba gemuruh hatiku bertabu riah. Penasaran ingin jumpa denganmu.

Sore itu, kita benar-benar berjumpa sayang. Kau, aku, dan waktu mengabadikan pertemuaan tersebut.

Semua yang tadinya ingin kukatakan, semua sikap yang sudah ku rencanakan akan kutunjukkan padamu agar ada batasan yang jelas antara kita langsung menghilang dalam pusaran waktu yang tak bertepi.

Saat mata kita saling bertaut dan saling mengunci untuk mencari jejak-jejak rasa dihati kita masing-masing pesan hati kita terbaca jelas. Tak perlu ada kata lagi, sayang! Rahasia hati kita saling menyibak dan berlomba menyampaikan pesan rindu. Rasa nyaman yang sudah lama kukubur dan berusaha kutepis akahirnya menerobos kuat dalam kesadaran dan melumpuhkan logika.

Akh, ternyata benar aku rindu padamu sayang.

Kesadaran akan hadirmu begitu kuat. Aku merasa aku sudah mengenalmu sejak lama, dan aku merasa nyaman denganmu! Suatu rasa yang kuat yang sudah lama tak kurasakan.

Kita menghabiskan senja saling berbagi kisah hidup kita masing-masing namun entah siapa yang memulai, pada akhirnya bunyi suara yang kita dengar adalah napas kita yang saling memburu dan bibir yang saling mencari untuk saling memagut dengan rakus.

Kecupan-kecupan yang panas, dan rengkuhan lengan-lenganmu membuatku begitu menginginkanmu.

Waktu seakan membeku, sayang.

Hanya tarikan napas yang saling berkejaran karena hasrat raga yang menggelegak membuat kita benar-benar hanyut dalam pusaran rasa yang sangat kuat. Hanya keinginan kuat untuk saling memiliki dan merasakan tiap inci kulitmu yang menyerang dan melumpuhkan logika. Tubuhku begitu mendamba kecupan bibirmu yang panas ataupun jemarimu yang bergerak nakal dibalik helai-helai kain yang melekat ditubuhku.

Bau tubuh laki-lakimu benar-benar melumpuhkan nalarku, malam itu. Namun, kesadaran bahwa kau hanya sedang ‘singgah’ dikota ini menyentak kesadaranku.

Akh..sayang, aku takut dengan rasa yang begitu kuat melandaku malam itu. Apakah memang kita akan saling mereguk kenikmatan sesaat ini dan kemudian saling meninggalkan esok hari?

Aku tak ingin bermain dengan hatiku dan kembali merasakan keperihan saat rasa sakit mengiris hatiku tak berperasaan saat bayangan liar tentangmu membongkar kenangan indah yang tersimpan disudut hatiku.

Aku tak ingin menjadi persinggahan sesaat. Ya, begitlah kita menyudahi malam panjang kita hari itu.

Tanpa lenguhan-lenguhan kenikmatan, dan rasa asin keringat setelah bergulat saling menuntut nikmat raga kita masing-masing. Sekuat tenaga aku menahan rasa ingin menelanjangimu dan menelusuri tiap jengkal kulitmu.

Aku harus puas menelanjangimu dengan tatapan mataku saja.

Maafkan aku sayang. Saat aku melihat kemarahan dimatamu, yag menuntut jawab aku tahu bahwa aku berhutang jawaban untukmu.

Hari berganti wajah, kita sudah tak memikirkan kisah malam itu, namun alam raya kembali menguak rahasia yang coba kau tutup rapat. Satu bunyi dering telpon menyadarkanmu bahwa kau harus kembali pulang.

Pulang pada pemilik hatimu.

Pulang pada perempuanmu!!

Pergilah, sayang!

Aku masih mencintaimu, namun cintaku ini tak boleh jadi rantai yang merantaimu.

Cintaku ini cinta yang membebaskan.

Janji cinta milik kita itu masih tersimpan rapi, dan akan menunggu waktu untuk mewujud.

Jangan beralasan bahwa kau sedang melakukan kerja pembebasan saat kita berdua saling mengetahui bahwa kau sedang berjuang memenangkan hatinya, perempuanmu itu !

Tak perlu ada dusta.

Kebenaran harus menerangi nurani kita.

Aku masih disini, menikmati rinai hujan yang melantun menghantar dingin dan bunyi aliran air yang mengalir tak henti. Aku rindu padamu, Binggaku sayang!

Kau tahu dimana menemukanmu khan?

Pulanglah padaku nanti, jika kau lelah berkelana!

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.