Sejarah Epen Cupen, Memvisualkan Tradisi Lisan (I)

Sketsa komedi (MOP) Epen Cupen, Terlambat Sekolah
Sketsa komedi (MOP) Epen Cupen, Terlambat Sekolah
Irham Acho Bahtiar, sutradara kelahiran Muting, Merauke, Papua
Irham Acho Bahtiar, sutradara kelahiran Muting, Merauke, Papua. Foto: dictio.id

Oleh: Irham Acho Bahtiar )*

MOP Papua (anekdot khas Timur) dikenal sejak dahulu di Papua, merupakan budaya turun temurun secara lisan yang dituturkan ataupun di tuliskan untuk bahan hiburan yang lucu. Sejak kecil semua anak di Papua sudah terbiasa bercerita MOP. Bahkan jauh sebelum adanya tekhnologi visual seperti sekarang, mop sering di rekam kedalam pita kaset untuk dinikmati audionya. contoh mop rekaman jadul dari Dodi Mahuze.

Adalah Peter Tan Imbiri (Alm) yang tenar dengan nama Mr. Chiko, dijuluki Raja MOP Papua. Selalu tampil setiap malam tertentu di acara Mr. Chico Show di TV Papua, di Jayapura sejak tahun 2008-2009. Gaya acaranya persis seperti yang dikenal dengan Stand Up Comedy sekarang ini.

Mr. Chico berdiri diatas stage sementara penonton menonton sambil tertawa terbahak-bahak dalam sebuah gedung pertunjukan. Acara ini ditayang terus hingga Mr. Chico meninggal di tahun 2012. mop Papua dengan format seperti membuat selalu dikenang Mr. Chico sebagai orang yang pertama mempopulerkan MOP melalui layar kaca. Jauh sebelum adanya Stand Up Comedy di televisi nasional kita.

Mop akan terasa lebih lucu apabila yang membawakannya tepat. Tak heran jika mop intinya juga bukan hanya pada cerita lucunya, tetapi bagaimana si pencerita membawakannya, terkadang sebuah cerita yang biasa, bisa menjadi lucu dengan kepandaian penuturnya seperti yang sudah di buktikan oleh Mr. Chico semasa hidupnya.

Bacaan Lainnya

Sejarah MOP

Mop merupakan penuturan lisan yang berakar dari budaya asli di Melanesia dan khususnya Papua, diwariskan turun temurun. Dalam sejarahnya sendiri, konon kata MOP (ada juga yang menulis MOB) Papua dipopulerkan Bangsa Belanda di tahun 50an hingga 60an. Lama kelamaan kebiasaan ini menjadi budaya dan sebuah hiburan tersendiri di tengah masyarakat, apalagi di Papua mop ini kebanyakan berisi kisah kisah nyata yang terjadi sehari-hari (dengan sedikit dibumbui), kemudian di share untuk menjadi sebuah lelucon yang menghibur di kala sekelompok masyarakat sedang berkumpul didepan api unggun atau tungku api.

Humor menceritrakan anekdot, menterterwakan diri sendiri, dicatat van Hasselt dalam bukunya di Tanah Orang Papua yang diterbitkan tanun 1926; “Malam bersudah beranjak, bulan semakin meninggi, tapi dari rumah Mau/Kariwari—rumah adat di Teluk Youtefa, masih terdengar gelak tawa, tak henti-hentinya. Mereka seolah tak capek dengan kerja seharian, di dekat tungku api para pemuda dan orang tua berberita pengalaman yang lucu, atau kejadian di siang hari.” Bahkan kisah yang hampir merenggut nyawa pun kadang menjadi bahan cerita mop.

Kebiasaan bercerita lucu ini, bak gayung bersambut dengan budaya Eropa, April Mop— merupakan sebuah kebiasaan menceritakan atau menyampaikan lelucon atau berita bohong untuk menipu atau mengelabui orang lain dengan tujuan bercanda-gurau. Kata mop kemudian menjadi populer dan didukung dengan pentas pada saat memperingati hari lahir Ratu Belanda dan hari besar lainnya. Di masa pemerintah Indonesia, kelompok Mambesak melestarikannya dengan membuat pentas MOP juga pada hari-hari besar nasional, termasuk juga lewat siaran radio di RRI Nusantara V Jayapura.

Penggunaan kata MOP menurut Saragih (2017), “secara fonologis Bahasa Melayu Papua hanya memiliki bunyi-bunyi obstruen tak getar seperti [p], [t], [k] [f] dan [s] di akhir kata dan tidak memiliki bunyi-bunyi obstruen getar seperti [b] [d], [g] [v] dan [z] di akhir kata. Misalnya, kata jawab /ʤawab/ akan dibunyikan sebagai [ʤawap].  Hal ini memang dapat disanggah dengan klaim bahwa fonem-fonem dasar kata mop adalah /mob/ dan realisasi alofonnya menjadi [mɔp], sehingga penulisannya bisa menggunakan bentuk ortografik mob. Tetapi alasan lain yang memperkuat pemilihan bentuk ortografik mop adalah fonem dasarnya dari kata mop sebenarnya adalah /mop/. Ihwal ini terbukti ketika kata mop ditambah imbuhan akhiran –an (meskipun ini imbuhan yang diadopsi dari Bahasa Indonesia), dalam pelafalan penutur Melayu Papua, akan dibunyikan sebagai [mɔpan] (misalnya mop-mopan) bukan [mɔban] *mob-moban. Tentunya fenomena ini berbeda dengan kata jawab yang ketika ditambah imbuhan akhiran –an akan dilafalkan sebagai [ʤawaban] bukan ?/*[ ʤawapan].”

Eksperimen Visual MOP

Akhir tahun 2009 di Merauke, penulis sebagai sutradara kelahiran Muting Merauke yang pernah menimba ilmu disekolah perfilman Institut Kesenian Jakarta (IKJ) di Jakarta, pulang berlibur ke kampung halaman di Merauke. Penulis mengajak sekelompok anak-anak muda  membuat sebuah eksperimen kecil, mengangkat mop kedalam bahasa visual. Formulanya adalah dengan menempatkan beberapa sketsa mop, kedalam sebuah rangkaian film panjang. Menjadi sebuah cerita utuh yang mengalir dan menghibur. Penulis yakin bahwa bahasa visual adalah bahasa universal yang dapat diterima oleh semua kalangan, dibanding bahasa verbal yang sering terkendala oleh dialek yang tidak bisa dipahami sebagian orang di daerah lain.

Bersama sahabat masa kecil penulis, Dodi Mahuze dan Anto Mahuze, dibawah bendera Merauke Enterprice Production Hause lokal milik Iwan (adik penulis), maka lahirlah sebuah film berjudul Melody Kota Rusa. Dalam film ini tersemat puluhan cerita mop yang dijadikan adegan dan berhasil mengantarkan salah satu pemainnya, Dodi Mahuze menjadi ikon paling populer kala itu di timur Indonesia. Seribu DVD Originalnya dalam waktu dua minggu saja habis terjual hanya dikota Merauke. Film yang tak pernah diprediksikan sukses tersebut, tiba-tiba DVDnya dibajak dan menyebar dimana-mana. Menjadi pembicaraan banyak orang di Papua, Ambon, Manado, Makassar dan wilayah timur lainnya. Kepopuleran film Melody Kota Rusa di masa itu bahkan sampai dibahas di sebuah berita media online di Papua tentang antusias masyarakat di Ambon menyambut film ini. Padahal produsernya sendiri merasa tak pernah memasarkan film ini Ambon, melainkan hanya di Merauke saja.

Inilah awal dengan hasil yang nyata, dimana sebuah percobaan iseng menghasilkan formula yang tepat untuk menghibur. Di awal tahun 2010, mulailah tergagas sebuah format sketsa visual MOP, sekalipun niatnya bukan untuk di komersialkan. Waktu itu, Merauke baru saja mempunyai televisi lokal milik Humas Pemda, sayangnya acara di TV itu masih sangat minim, hanya berita saja yang di andalkan, tak ada siaran hiburannya. Maka lahirlah inisiatif berdasarkan iseng iseng untuk memproduksi sebuah bentuk acara baru yang diberi judul Epen Kah Cupen Toh. Istilah ini diambil dari istilah yang ketika itu sedang populer di Merauke yakni: Epen kah (emang penting kah) lalu dijawab: Cupen toh (cukup penting toh). Acara ini juga digagas oleh penulis yang juga sutradara film Melody Kota Rusa, dalam rangka memberikan ruang bagi Dodi Mahuze dan Edi Hariyanto (Mas Suroso), yang saat itu sedang berada di atas puncak popularitas. Saat mereka jalan di kota Merauke, pasti selalu di serbu penggemarnya. Bahkan ketika artis Nasional datang ke Merauke pun, masyarakat tetap lebih memilih menyerbu Dodi dan Suroso daripada artis Nasional.

Proses Shooting Epen Cupen

Sketsa Mop Papua dalam bahasa visual Epen Kah Cupen Toh dibuat dalam dua episode ini menjadi andalan Merauke TV saat itu, bahkan diputar berulang ulang setiap hari. Padahal proses pembuatannya sangat iseng sekali, tanpa ada persiapan, tanpa dana, kamera seadanya (kamera buat syuting wedding yang dipinjamkan oleh Merauke Enterprice), syuting dadakan, hampir semua sketsa yang dibuat tanpa skenario bahkan ada beberapa sketsa yang bukan diambil dari MOP lisan maupun tulisan melainkan karangan orisinil para kru nya dilapangan. Disinilah semakin terlihat perbedaan antara MOP secara lisan dan tertulis dengan MOP yang divisualkan.

Ketika MOP dibawakan dengan lisan maka, banyak teman-teman yang berasal dari luar Papua masih kurang bisa menangkap apa yang disampaikan sang penutur cerita, penyebabnya perbedaan kultur dan bahasa yang sulit dicerna dialeknya. Barulah ketika MOP hadir dalam bentuk visual yang di adegankan, maka mereka pun menjadi mengerti maksud dari cerita MOP tersebut. Bahasa gambar atau bahasa visual menjadi pengantar bahasa universal melalui gerak tubuh, mimik serta susunan pengadeganan sehingga tanpa mengerti dialeknya pun, penonton otomatis lebih mudah menangkap pesan-pesannya lewat elemen-elemen visual.

Proses penyeleksian cerita dalam pembuatan Epen Kah Cupen Toh memang dilematis, sebab cerita mop Papua banyak juga yang tidak memenuhi unsur standar, misalnya ada unsur pornografinya, SARA, dll. Karena itulah dalam edisi perdananya banyak sekali MOP yang sudah direkam tidak bisa dipublikasikan ke umum, karena banyak mengandung unsur-unsur terlarang tadi.

Namun sekalipun mop berhasil diubah kedalam bentuk visual, kreatornya tetap selalu menyelipkan mop dalam format aslinya yang diberi judul Mop Tradisional Papua. Ini di maksudkan agar budaya mop sebagai budaya dari Papua, tetap akan diketahui oleh anak cucu di masa depan dalam bentuk aslinya. Mop penuturan secara lisan ini memang tidak bisa selucu yang pernah dibawakan oleh Alm. Mr. Chico tetapi lebih kepada untuk memperkenalkan tradisi lisan yang asli dan kini telah diubah ke dalam bentuk visual. Dalam format ini lahirlah Raja MOP dari Merauke, Bung Toki yang meneruskan kiprah Alm. Mr. Chico.

Irham Acho Bahtiar )* Sutradara kelahiran Muting Merauke, alumni Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.