Dari saya, mantan kekasihmu….
Apa kabarmu di sana, Sayang? Jangan bosan-bosan membaca goresan tinta yang selalu saya kirim. Hanya dengan cara ini (merangkai kata) saya menyatakan kalau saya sangat mencintaimu.
Seperti biasa, jangan lupa setiap sore kirimkan ke saya foto tentang Senja! Jika keberatan, lantaran umur (saya memang adik) jangan lupa posting di akun Instagram milikmu, tapi saya harap berikan keterangan foto yang menjelaskan kondisi tempat asal kita. Dengan begitu, perbedaan umur yang terlalu jauh bukan alasan palingkan rasa sayang yang memjembatangi saya untuk jatuh cinta. Makanya, saya galau lagi setelah dengar lagi lagu galau ‘Beta Mau Dia’ karya Vicky Salamor.
Jangan minta saya untuk beri alasan yang rinci, soalnya saya sedang galau. Saya akhirnya tergelam. Benar-benar tenggelam dalam lirik lagu lain, seperti ‘Lagu Galau’ lagu yang dibawakan dan dipopulerkan Al Ghazali, dirilis pada 2015 dan sempat meraih nominasi Indonesia Kids Choice Awards untuk kategori Penyanyi Favorit.
Sayang, pemilik negeri kota Pala, yang akhir-akhir ini jadi rebutan netizen. Kami semua datang mengetuk pintu hatimu, menilai kamu pada buah bibirmu yang jika dicium tidak akan pernah bosan-bosan. Nikmat-nikmat yang menikam.
Ucap kata yang kau tuang lewat bibir manismu itu telah menikam hati yang lagi merintih. Yah, hati yang lagi menangis karena orang-orang yang saya cintai diculik dari genggaman saya.
Bolehkan? Abaikan soal usia (saya masih tetap adik) tetapi cintamu dapat sisihkan sedikit saja buat adikmu yang penuh harap. Harap kau datang mengisi ruang yang kosong dalam hati ini, tempat pusatnya segala rasa.
Kembali ke Senja. Sayang, kau harus tahu, setiap sore, saya pergi ke pantai teluk Cenderawasih. Hanya untuk menikmati Senja. Kata orang, senja itu nutrisi jiwa. Saya terpana olehnya. Bukan, bukan kamu, Senja.
Saya sama sekali tidak terpana oleh keindahanmu, karena ketika langit yang berwarna merah keunguan itu lebih menarik perhatian saya. Bukan kamu, Senja! Tapi bersamaan tenggelamnya matahari yang sebentar saja meninggalkan warna jingga yang memukau itu, bukan kamu Senja! Kau tenggelamkan seluruh jiwa, bahkan tidak sadarkan diri, saya seakan segaja kau tenggelamkan dalam lautan bebas.
Sayang, pada akhirnya saya benar-benar kau tenggelamkan. Sayang, mata saya tidak mampu menatap jingga lagi ketika matahari pergi ke peraduannya. Lidah saya terasa asing, ketika kau beri air garam (walau bukan kau yang beri) kaulah alasan, saya minum air laut.
Saya tenggelam bersama ombak yang menari dalam iramanya yang tidak beraturan itu. Dan saya melihat rona merah menjalar di sekitar pipi tembus gigi putih yang sehabis sikat gigi, yang sempat jadi tontonan kami, bukan kami, tapi saya ketika memantau di akun sosmedmu, Instagram. Entah mengapa ada seulas senyum di bibir saya, merasakan sesuatu yang berbeda dari dalam dirimu.
Sayang, di tempatmu senja lebih indah dinikmati. Apalagi menikmati senja bersama orang-orang tersayang. Seperti fotomu di akun Instagram yang sempat jadi tontonan kami, terlebih teruntuk saya kala kantuk datang kala sunyi malam.
Sayang, saya hanya sempat menghayal jika saya, kau jadikan kekasihmu, akan saya gantikan captian di foto itu (foto yang backgroundnya bendera Sang Saka Merah putih) ditengah-tengah keluarga kita, yang sempat kau abadikan itu dengan kata-kata yang lebih romantis. Sebab, soal kegalauan, saya, adikmu yang hendak jatuh cinta diam-diam kini, mampu merangkai kata tentang Senja.
Dan tentu sayang, saya akan membawa kau di suatu tempat, kita ciuman agar energi (gaira nafsu) yang tinggi yang ada pada saya sekarang, mampu membuatmu bergairah, walau kenimatanya hanya sebentar saja, seperti Senja nutrisi jiwa. Seperti itu, yang akhirnya saya artikan tentang Senja.
Sayang, saya akhirnya kehilangan kata-kata, sebab hanya memandangmu saja, telah membunuh asah saya. Mata saya kilau pada bibirmu yang cantik itu. Dan lidahmu yang mengoda itu telah melukai hati saya.
Sayang, kau cantik di mata saya, mengalakan indahnya Senja di negeri kita. Tetapi beberapa menit berselang, gelap malam datang lagi. Ya, malam menyelimuti negeri kita. Senja pergi, tiada bintang apalagi bulan yang selalu memberi tatapan memukau kala malam. Kini, kita berselimut di bawah gelap. Gelap yang kau cipta pada harapan semuh yang kau umbar di dunia maya.
Di sini, di bibir pantai, saya mematung, bermandi ombak memukul pantai permai. Saya tidak sanggup lagi menatapmu lama, maaf bukan maksud saya, tidak lagi jatuh cinta pada kamu, tetapi waktu yang bersamaan, baterai handphone saya mulai habis membatasi lamunan saya menatap mimik wajahmu.
Menurut harapan saya, kau membungkus rahasia dibalik senyum manismu itu. Semua itu terkuak ketika saya menikmati lagu galau lainnya, ‘Senja Tai Anjing’.
Maafkan saya yang mengagumimu diam-diam. Tetapi selalu ada alasan saya pergi. Kau terlalu mengejar karir menjadi menteri. Saya akhirnya menyadari tidak pantas saya jatuh cinta lagi padamu. Sebab cinta, menurut saya, bukan soal kecantikan, senyuman dan tentang karier yang kau perjuangkan, kini. Tetapi, sebagai kata permisi saya berpaling, saya ingin menuliskan satu puisi tentang kau, bolehkan? Namun sebelum merangkai puisi ini, saya ambil kesimpulan dari surat yang saya tulis.
Surat yang saya tulis dengan air mata darah di bawah bumi yang sama, ketika kita nikmati Senja yang sama dari sudut kolong langit yang berbeda.
Sayang, saya masih di sini dengan cerita yang sama dan kau tahu, saya sangat merindukanmu dengan sangat setia dalam harap kau datang menyusuri jalan sunyi, seperti setiap sore saya pergi menunggu datangnya Senja.
Kaulah alasan, saya akhirnya pandai berdoa. Saya, akhir-akhir ini mulai berdoa. Harapan saya, setiap langit melukiskan Senjanya. Saya pun menorehkan seuntai doa saya. Doa-doa yang setiap baik kata tertuang harapan agar kamu bisa bahagia di sini, tempatmu bukan tempat tetangga yang sempat kau diberi kenyamanan ketika kecantikanmu ikut serta dalam sebuah kompetisi. Dan dengan begitu, kau juga bisa paksa tersenyum bahagia dari tempatmu berada, dan lagi-lagi bukan tempat tetangga yang diam-diam menusuk saya dengan cinta mereka yang saya artikan luka.
Kali ini saya berdoa. Doa tentang pengampunan, sebab sesakit-sakit apa pun kata-kata yang kau tusuk, saya selalu yakin, kau akan sadar tentang lidah kadang bercabang. Akhirnya, kepada tuhan, saya bilang: “Tuhan, ampunilah dia, sebab dia tidak tahu apa yang dirinya perbuat… berikan ia kesadaran total agar dia sadar kalau dengan berpalingnya telah menusuk hati saya, lebih sakit dari tusukan benda tajam. Semoga dia diberi umur panjang agar berbalik ke jalan yang benar. Amin”
Saya sadar akhirnya, cinta tak harus saya miliki tetapi jangan biarkan dia bahagia sebab di atas derita dia menari. Patahkan saja sayap-sayap harapnya. Dengan begitu, saya yakin ia akan jatuh dan ikut meratap lalu melihat saya yang telah ia injak-injak ketika kenyamanan jadi alasan ia berpaling.
Sayang, saya harap kau baca puisi ini. Kau membacanya saja, sudah cukup bagi saya. Sebab, tidak terhitung jumlah kata-kata yang saya hapus lalu saya tulis ulang lagi dan lagi hanya mencari kesempurnaan dalam kata, walau kesempurnaan hanya milik Tuhan Semesta.
Saya tulis puisi ini, sejak dua minggu lalu, tetapi selalu kehilangan kata-kata. Kata-kata itu tenggelam dalam amarah yang kau ciptakan. Ternyata benar, kata Penyair Indonesia, Sapardi Djoko Damono, jangan menyair waktu dilanda amarah dan satu hal yang kau harus tahu dan semua orang tahu, ini soal waktu: ‘Perihal Waktu’. ‘Kapan lagi’, kata penyair Joko Pinurbo. Mungkin begitu saja dulu. Jadi, sekarang saatnya, kau baca puisi dibawah ini:
Cantikmu Saya Terluka
——————————–
By: Manfred Kudiai
Pada kecantikanmu kau terlena,
nyamanmu menusukku dalam jiwa
Bagai bunga Mawar cantik,
Durimu tajam menusuk nadi
Cantikmu dibanggakan di taman tetangga, tenyata hitam parasmu,
hanya tinggal tontonan luar.
Walau harapku semetinya kau,
setiap kelopakmu adalah harapan
untuk kubang, harapan untuk hari esok
bahwa badai pasti akan berlalu
Tetapi apalah daya,
sarimu telah tercerai,
pada Kupu-kupu kau berbakti
sekejap kau berpaling
mengisap madu
merusak sari.
Kini kau datang lagi,
dalam sosok yang berbeda,
menambah kerapuan,
di sudut runcing duri.
Bermodal cantik,
kau hilir mudik di dunia maya
kecantikanmu kini jadi jualan
tanpa kau jual, sudah kau dibeli.
Untung saja, saya bukan jurnalis infotainment, jalan tayang karir kecantikanmu.
Kulalai menerjemah dalam kata,
mulai dari mana menulis kata cantik,
sedangkan Mawar-mawar hitam gugur
termakan terik di ujung timur.
Saya bukan siapa-siapa
hanya modal jurnalis jalanan
Saya baca bagaimana mawar tumbuh.
Kau mawar yang ditumbuhi
pada ember hitam yang, berlubang-lubang.
Akar kecantikanmu itu,
tak menjalar pada tanah,
Kau kekurangan nutrisi
yang dipaksa mekar.
Sekarang, hati lelah untuk menangis,
berteriak hingga suara ibah sudah,
menangis hingga airmata kering
hanya menyisahkan ceramah
tak berisi di dunia maya.
Cantikmu kini hanyalah kompetisi,
siapa menang siapa dapat,
cantikmu nilai tawar pada mata,
hanya suka mencuri perhatian,
sedangkan mawar-mawar hitam,
terjepit tali tiada ruang tumbuh,
kau datang injak-injak lagi.
Kau tak perlu make up,
alami saja sudah cantik,
Tapi…
terlanjur basa,
cantikmu saya terluka
Nabire, 2021 Mei 06