Rindu belum usai, Sugapa masih perang

Rindu belum usai, Sugapa masih perang sebuah cerita fiksi – Doc. Nomensen Dou
Rindu belum usai, Sugapa masih perang sebuah cerita fiksi – Doc. Nomensen Dou

[Dari Enagotadi, Metu merindukan Kobogau Mina]

 

JALAN cinta Metu dan Nona Kobogau atau Kobogau Mina [Mina dalam bahasa Migani adalah nona, cewek, perempuan yang masih belum kawin] luar biasa dan amat panjang. Jauh dalam seperti lautan dan memiliki waktu yang lama. Hanya Metu dan Kobogau Mina yang paham.

Pertama, mereka berdua sudah saling suka lewat tatapan mata dari jauh. Mereka berdua siswa yang baru saja lulus dari Sekolah Menengah Atas [SMA] YPK Tabernakel Nabire. Beberapa hari lagi, mereka akan berpisah. Metu akan pergi kuliah di luar Papua. Mina hendak masuk kuliah di Akademi Keperawatan [Akper] Nabire.

Dari bangku SMA, mimpi Metu selalu ingin kuliah di Bandung, Jawa Barat, termotivasi dari kakaknya yang pernah kuliah di sana. Kobogau Mina juga memilih kuliah di Bandung, ya ikut Metu. Tapi orangtuanya tidak setuju, nona harus masuk lamar di Akper, akhirnya tembus. Setelah itu Metu berangkat kuliah.

Metu dan Kobogau Mina pernah berpisah beberapa waktu. Metu pergi kuliah di Bandung tapi berubah. Nona Kobogau tetap di Nabire. Di kampus Akper.

Bacaan Lainnya

Nabire, kota yang mempertemukan Metu dan Mina. Pertama, Metu dan Kobogau Mina saling melirik di lapangan sepak bola Sapta Marga Kodim, saat pertandingan bola kaki yang dilakukan oleh mahasiswa Papua se Jawa dan Bali pada tahun 2015. Beberapa kali mereka saling menatap. Melalui teman Metu bernama Ambo, mereka saling berkenalan hingga saling tanya kabar setelah saling simpan nomor kontak. Mereka bertemu dan bersama selama tiga tahun lamanya, namun berpisah setelah tamat SMA yang berlokasi di jalan Kesuma Bangsa.

Pukul 17:00 WP sore, di pelabuhan Samabusa, KM. Labobar sudah stom tiga kali. Tanda kapal akan segera lepas tali dan tinggalkan kota Nabire, seperti Metu akan tinggalkan Nona Kobogau bersama sejuta memori di kota Nabire.

“Saya naik kapal dulu sayang,” pamit Metu tidak ingin pergi secepat itu, tapi kapal sudah stom tiga kali.

“Tuhan lindungi kau sampai kita jumpa kembali sayang,” ucap Nona Kobogau dalam pelukan hangat si Metu.

“Makasih sayang, kita akan bertemu lagi. Jangan lupa kasih kabar ya,” balas Metu melepaskan pelukanya sambil melangkah.

Metu naik kapal dalam sinar matanya Nona Kobogau. Hampir Metu tinggal, tapi demi masa depan harus merelakan kekasihnya menjaga kota Jerman [jeruk manis]. Selamat tinggal sayang nona Kobogau sambil Metu melambaikan tangan dari Dek IV atau Cafe Taria.

 

Kapal Labobar sudah lepas tali, sungguh kapal ini jahat sekali. Dia sudah menjauh dari wajah Nona Kobogau. Metu berdiri di sisi luar kapal, pas di Dek VII. Menatap jauh pelabuhan Nabire, ia menghilang dalam gelap. Waktu sudah malam.

 

Metu akan rindu dia, Nona Kobogau, perempuan suku Migani dari Kabupaten Intan Jaya, kampung Sugapa. Dia yang Metu kenal dari hati kecil. Dari Nona Kobogau, Metu pertama kali mengenal cinta dan bercinta. Metu berdoa, dia pasti akan baik-baik saja bersama kota kita Nabire, tempat yang mereka besar selama dua puluh tahun lamanya, dan saling kenal setelah duduk di satu kelas.

 

“Hei bikin apa sini, jangan sedih-sedih. Jangan kuliah kalau sedih,” ucap teman bernama Ambo temu Metu melepas Nabire dari mata kesedihan air mata. Ambo teman SMA Metu. Bersama ingin kuliah luar Papua. Ambo akan kuliah di Surabaya dan Metu di Bandung.

“Ah…. Siapa yang sedih?, Balas Metu menyembunyikan rasanya. Mengusap air mata. Mereka berdua turun ke Dek IV, memastikan tempat tidur.

 

Perjalanan mereka sampai di kota Surabaya selama tiga hari ‘tenggelam’ dalam perjalanan di atas laut. Metu turung bersama temannya Ambo di Surabaya, padahal tiket Metu tujuan Jakarta dan tujuan ke Bandung. Tiba-tiba berubah, dipaksa Ambo. Dari SMA, Ambo suka mengganggu orang lain tapi dia loyal sama siapapun. Dia baik. Di Nabire tinggal di kompleks Wadio. Karena kawannya itu, Metu kenal nona Kobogau.

 

Dua minggu Metu di Surabaya, beberapa kali temannya Ambo memaksa Metu harus kuliah di Surabaya tapi Metu menolak.

“Kawan antar saya cari tiket pesawat ke Bandung dulu, saya harus kuliah di sana,” ajak Metu kepada Ambo saat mereka dua makan di warung depan kos.

Metu harus kuliah di Bandung sesuai impian Metu waktu di bangku SMA.

“Bah…. Ko pikir bedakah, antara Bandung dengan Surabaya?, kuliah saja di sini, kita sama-sama kawan,” balas Ambo kepada Metu, volume suaranya tegas, lepas-lepas.

“Harus di Bandung, karena itu impian saya kawan,” mohon Metu.

“Dulu dengan sekarang beda kawan, sekarang kita akan jadi mahasiswa,” jelas Ambo menahan Metu agar kuliah di Surabaya. Metu berpikir agak lama dan memang Ambo teman baik yang Metu kenal sudah lama, tidak hanya di sekolah.

 

“Okelah kalau begitu. Ko bantu saya daftar di kampus yang kamu mau daftar itu,” ajak Metu setelah memutuskan keiginan teman kuliah di Surabaya.

“Sip, besok kita ke kampus sama-sama,” balas teman mengiakan permintaan Metu. Ambo senyum kecil melihat Metu. Ambo senang, kita bisa kuliah ramai-ramai nanti di aatu kampus.

***

Metu dan Nona Kobogau selalu berkomunikasi, ya lancar seperti dulu di Nabire sana. Untuk melepas rindu, mereka dua gunakan lewat telefon dan media sosial seperti messenger dan WhatsApp. Mereka berdua selalu janji, saling menjaga hati dari jauh pandangan mata. Nona Kobogau rajin bersekolah. Sama juga dengan Metu. Sudah satu tahun berlalu di kos. Karena biaya kos yang mahal, Metu pindah ke asrama Kamasan I Surabaya. Di asrama itu, ia bertemu teman-teman yang suka berdiskusi siang maupun malam, entah diskusi soal apa saja. Banyak waktu untuk Nona Kobogau berjarak. Jarang berkomunikasi. Tidak seperti biasanya. Nona Kobogau semakin mencurigai Metu. “Ini Aneh!,” pikir Mina.

“Kenapa jarang kasih kabar seperti biasanya Met?,” tanya Nona Kobogau melalui komunikasi handphone pada suatu sore hari.

“Saya sudah pindah ke asrama sayangku, kebanyakan waktu dengan teman-teman. Ikuti aturan yang berlaku di asrama,” jelas Metu menyakinkan Nona Kobogau.

“Kenapa tidak kasih tahu dari kemarin-kemarin, kamu hanya diam-diam saja Met?,” balas Mina.

“Maaf sayang, saya lupa,” balas Metu, singkatnya.

Metu sudah satu tahun lebih di kota Surabaya. Ia tidak lupa Nona Kobogau, cinta pertamanya di nun jauh sama. Libur hari kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 2019, lima hari diliburkan. Dua malam Metu bermalam di teman kampus, malam kedua Nona Kobogau telefon, tepat pukul 15:55 WIB.

“Metu saya mau bilang,” suara lembut dari Kobogau Mina dibalik handphonenya.

“Bagaimana sayangku?,” balas Metu hati duk-dak.

“Orangtuaku tidak setuju kita dua, katanya kita itu dua suku yang bersaudara, tidak bisa saling menikah dan kawin,” jelas nona dengan sedih. Sesungguhnya Nona mencintai Metu.

 

“Dua tahun sayang, kita sudah lama bersama, cinta ini sudah dewasa,” balas Metu tidak ingin membiarkan nona Kobogau hilang dari hatinya.

 

“Saya tahu Metu, saya juga cinta, sekarang bagaimana ini?,” tanya Nona Kobogau tidak ingin berpisah dengan Metu.

 

“Tunggu sayang, besok saya ke Nabire, nanti saya ke rumahmu lalu bicara dengan orang tua,” balas Metu menyakinkan si wanita idamannya itu.

 

Hari Kamis Metu sudah tiba di bandar udara Internasional Juanda. Matahari di atas kepala orang-orang di sekitar Juanda. Cuaca yang bagus di siang hari. Metu sudah siap dan akan tinggalkan kota berjulukan Pahlawan itu. Metu sudah dalam burung besi, telah terbang menuju Nabire. “Saya harus wujudkan cintaku padanya,” pikir dia.

 

Bunyi ban pesawat Garuda gesek di bandar udara Nabire. Keluar ruang tunggu, Nona Kobogau sudah menunggu pintu kedatangan. Sayang, Nona Kobogau memeluk Metu. Di tengah-tengah orang, mereka dulu lepaskan rindu untuk tahap pertama.

 

“Ada bawa motor?” tanya Metu setelah Nona Kobogau melepas pelukanya.

 

“Ia saya bawa, ada di sana,” kata Nona Kobogau sambil menunjuk motor Honda CRV.

 

Mereka pulang ke rumah. Nona Kobogau mengantar Metu. Mereka berdua akan bertemu nanti sore untuk bersepakat kapan bertemu orangtuanya nona Kobogau untuk meminta dia tinggal bersama Metu. Harap nona ikut bersama Metu di Kota Surabaya. Pindah kuliah.

 

Malam pertama Metu di rumah setelah bertemu Nona Kobogau di bandar udara Nabire. Sore telah mereka bertemu, dan minggu depan mereka berdua akan bertemu orang tua nona. Nabire telah malam, senja milik orang Nabire sudah berubah menjadi hitamdi ujung barat teluk Saireri. Metu duduk di teras rumah, persis di lantai dua rumah papan berwarna biru sambil menikmati kopi P5 Mowanemani.

***

Tiba-tiba handphonenya berdering. “Hallo kawan”,” respon Metu, jawab Ambo punya telefon.

“Kawan kami di kepung Ormas dan anggota gabungan di asrama,” ucap teman Ambo kepada Metu dari asrama Kamasan I Surabaya.

 

“Kenapa kawan?” sahut Metu dan bertanya.

 

“Karena bendera Merah Putih depan asrama jatuh dalam selokan. Mereka menuduh pelakunya kami, mereka teriak kami monyet,” jelas teman Niko dalam ketakutan.

 

“Mereka jahat sekali, kawan tetap tenang dan jaga diri,” balas Metu menyayankan kelompok Ormas dan aparat keamanan. Berharap Ambo dan teman-teman di sana baik-baik saja.

 

Metu sudah di Nabire karena Nona Kobogau. 16 Agustus 2019, asrama Kamasan I Surabaya dikepung gabungan Ormas dan aparat keamanan. Seketika itu media massa amat ramai memberitakan suara rasis yang keluar dari mulut beberapa pria yang berpakaian TNI dalam video di muka pintu pagar utama asrama Kamasan I Surabaya.

 

Hmmm…. Beberapa daerah di Papua membarah. Masyarakat asli Papua mulai dari siswa, mahasiswa, pegawai ASN, pegawai swasta, pejabat publik, DPRD, DPRP, MRP, pesepakbola, organisasi kemasyarakatan, organisasi pergerakan Papua Merdeka semuanya turun jalan.

Konflik di Papua Barat pecah, asap naik, langit bumi Cenderawasih berubah menjadi hitam. Beberapa gedung pemerintahan di Papua dan Papua Barat dibakar rakyat Papua protes rasisme.

“Metu di mana, saya mau bicara,”? bunyi pesan singkat dari Nona Kobogau pada sore hari.

“Sayang di mana, saya mau jemput,” balas Mettu.

 

“Ketemu di Pantai Menasa saja, saya juga ada pake motor jadi,” balas Nona Kobogau sambil berangkat dari rumah.

 

“Oke sayang,” singkat Metu dari depan rumah menuju Pantai Menase.

 

Kota Nabire tidak seperti biasa. Mendung dan hujan bak gelap. Metu dan Nona Kobogau duduk di ujung Pantai Menase, di antara remang-remang lampuh estetik. Metu merangkul Nona Kobogau sambil memandangi lautan teluk Cenderawasih yang sudah gelap. Angin pantai meniup dari pantai melengkapi rasa nyaman dalam jiwa yang bersatu dalam cinta.

***

Nona Kobogau melihat wajah Metu dari pelukanya sambil berkata; “Sayang, besok bapa bilang saya ikut ke Intan Jaya, hanya satu minggu di kampung”.

 

“Berarti besok saya antar ke bandar udara, sekalian saya bilang bapamu, kalau saya ini calon suami dari Nona Kobogau,” ucap semangat Metu kepada kekasihnya.

 

Keesokan harinya pukul 07.00 WP Metu sudah tunggu Nona Kobogau dan calon bapak mantunya di bandar udara, persis di pintu masuk. Dua puluh menit kemudian, bapaknya mengenakan noken Anggrek dan tas turun dari angkutan jasa ojek, dikuti oleh si Mina.

 

Metu membantu membereskan tas yang dibawah oleh bapaknya. Bapaknya bertanya, dan Metu menjelaskan, Ia serius dan Nona akan menjadi teman hidupnya, sudah lama mereka membangun cinta. Bapaknya diam beberapa menit, lalu berkata; “Nanti kami dua kembali dari Intan Jaya baru kamu datang ke rumah ya”.

Lengkap sudah, hari itu adalah hari yang gembira untuk Metu dan Mina. Metu hanya menunggu dia pulang dari Intan Jaya bersama bapaknya. Metu akan pergi ke rumah untuk berbicara. Lebih dari empat hari Nona Kobogau di Intan Jaya, komunikasi melalui ponsel tidak pernah berhenti.

 

Metu sudah cerita kesiapan mental dan fisik untuk menghadapai keluarga nona Kobogau nanti. Orang tua dari Metu sudah setuju. Keluarga besarnya sudah siap menerima si wanita Migani itu.

 

Setelah satu minggu berlalu, nomor kontak sang wanita idamannya tidak aktif. Hati Metu makin gelisah, beberapa kali Metu telefon dengan namun tetap tidak aktif.

 

Wajah Metu berubah, dua hari lebih tanpa kabar dari Nona Kobogau, perempuan ramah yang ia kenal. Tiba-tiba Metu kehilangan semangat, cintanya semakin hilang lama-kelamaan dengan waktu. Sudah tiga minggu berlalu tanpa kabar dari kekasihnya. Suatu ketika, Metu ke rumah Nona Kobogau di bilangan Bumi Wonerejo. “Keluarga semua sudah berangkat,” kata tetangga yang memilih kios kecil di samping.

 

“Semua sudah berangkat, dua kali mereka berangkat. Mereka ke kampung,” kata tanta muda dari dalam kios.

 

Metu pikir panjang, merasa kehilangan jiwa yang sudah lama dijaga. Nabire sudah sore, sayang. Metu duduk di Pantai Maf yang kini diubah menjadi Pantai Nabire menikmati kacang tanah rebus yang dijual mama-mama Papua dan sebotol air Aqua.

 

Diam-diam sambil makan kacang, ia berdoa untuk Nona Kobogau, Ia meminta Nona harus ada kabar. Semakin malam, wajah Pantai Nabire semakin sunyi. Angin datang dengan kencang, sepertinya ia mengusir manusia, membawah suasana seakan turun hujan. Metu pulang ke rumah.

 

Tidak terasa, waktu melaju hingga beberapa bulan berlalu, Nona Kobogau hilang kabar. Dia tidak muncul melalui telefon, tidak ada juga di kota hanya seringkali datang melalui mimpi malam.

***

Setelah rasisme diusut, tiga tersangka termasuk beberapa tuduan provokator di Papua versi Polisi ikut ditangkap. Tahun 2019 menjadi tragedi rasisme bagi orang asli Papua. Dikenang setiap tanggal 16 Agustus 2019. Bulan suci dan kunci tahun menjadi hari emas untuk kaum Nasrani dan dunia.

 

Metu, pria yang suka bermain sepakbola masih belum mampu melupakan Nona Kobogau. Banyak cerita selama lima tahun lebih bersama Nona tidak mudah untuk dihapuskan dengan waktu yang begitu singkat.

***

Bulan pertama di tahun 2020. Tahun baru, datang pula sebuah penjara besar via Psychology. Namanya Covid-19 muncul di Wuhan, China. Virus tersebut menyebar dengan cepat ke seluruh isi bumi melalui aktivitas manusia. Virus sampai di tanah Papua. Metu terkurung dalam lingkungan rumah. Semakin jauh usahanya bertemu dengan cinta pertamanya, Kobogau melalui kehadiran suarapun tidak. Sudah hilang.

 

Bertahan dalam ketakutan media dan hati yang kosong hingga pada bulan ke XI, bulan November 2020. Bangun pagi di hari Jumat, Metu membuka handphone, ada pesan dari nomor baru.

 

“Metu saya minta, Tuhan melindungi ko”. Metu percaya, itu Nona Kobogau punya pesan SMS. Nomor sudah tidak aktif setelah menelepon kembali, hampir 20 kali Metu telefon, nomor sudah di luar jangkauan. Metu jadi risau campur rindu kepada kekasihnya itu amat berat, serasa dia mau bunuh diri.

 

Perasaannya kembali lebih hidup. Metu merindukan perempuan hidung mancung itu. Sudah satu tahun lebih tidak berjumpa, hilang tanpa kabar, Metu sedih sepanjang itu.

 

Natal 2020 berlalu sunyi, Metu hanya di rumah saja. Seringkali ia ingat kisah semasa bangku SMA apalagi kalau dia dengar lagu berjudul Kisah Kasih di Sekolah, tentu menghayal jauh sekali.

 

Ia ingin selalu bersama Nona dalam kebahagiaan cintanya. Hitung hari, tahun yang baru akan datang. Tidak terasa, Nona belum juga ada kabarnya.

***

Menyambut tahun 2021, Metu harus pergi menghindar euforia di malam kunci tahun di Nabire.

Metu menyambut tahun baru 2021 di Paniai, persis di kota Enagotadi, ya itu kampung asalnya. Baru kali ini ia menyambut tahun baru di pedalaman Papua, dalam senyap malam dan sunyi bersama dingin malam Weyaapo Yugiyoo. Menyambut tahun baru di Nabire baginya kadang menyakitkan. Awal malam kunci tahun sebelumnya selalu menjadi malam yang menyenangkan dengan Nona Kobogau selama lebih dari lima tahun.

Besok pagi sudah tanggal 1 Januari 2021. Waktu sudah siang. Metu berjalan pulang sehabis jalan di lapangan terbang Enarotali, sampai di lapangan Karel Gobai, handphone berdering kencang, tentunya nada pesan.

 

“Selamat tahun baru Met, Tuhan melindungi sampai kita bertemu lagi di Pantai Nabire, tempat yang kita sama-sama suka, sejak itu,” bunyi sms dari nomor baru. Metu tahu saja itu hanya dia [Mina] yang memanggilnya dengan sebutan “Met”. Metu kunjung telefon Nona Kobogau.

 

“Tuhan…. Sayang, dari mana saja, saya rindu sekali,” ucap kata rindu Metu kepada Nona setelah merespon telefon.

 

“Saya di kampung Sugapa, tidak ada jaringan telefon. Saya di kampung saja. Orangtua larang saya ke kota. Apalagi ketemu kamu di Nabire, orang tua larang, kita suku Moni dan suku Mee tidak bisa baku kawin,” jelas Nona Kobogau melalui telefon genggamnya.

 

“Aduhhhhh sayaaaannngggg, tidak bisa! Ini cinta, saya akan tunggu ko di Enagotadi. Kita menetap tinggal di sini saja,” keluh Metu, sedikit tegas.

 

“Io Met, kasih mati Hp sudah bapa ada datang, kami ada mau ke kampung lagi. Nanti sa ke Enagotadi, tunggu saya ya Met,” balas Mina menutup komunikasi telefon.

 

“Sabar Nona, sabaaaarrrrr! Minta Metu dengan keras tapi Nona sudah tutup telefon. Metu telefon kembali, handphone sudah di luar jangkauan. Risaulah hari Metu, si pria yang tegar dan kuat itu jatuh dalam lamunan belaka.

 

Metu berhenti dari jalan, melihat langit yang gelap, mengangkat kepala, tarik nafas dari dadanya. Metu hampir banting handphone di aspal jalan raya. Alam semakin dingin di kota Enagotadi, seperti hati kecil Metu. Metu berjalan diam hingga di atas bukit Bobaigo tak jauh dari kota Enagotadi. Ia berteriak keras kepada alam; “Saya Cinta Diaaaaaa”.

 

Ia duduk merenung menghadap muara kali Yawei yang terletak di bagian Utara danau Paniai yang airnya tenang mengalir. Duduk berpikir tentang hidup dalam sebuah cinta dan harapannya selama 30 menit. Semakin sore, matahari Sudah di atas pundak bukit kampung Okeitadi. Metu pulang memikul rindu dalam dingin. Pelan-pelan dia turun dari puncak hingga tiba di kaki bukit Bobaigo.

***

Satu bulan berlalu, Metu masih di Enagotadi, menunggu Nona Kobogau. Melalui telefon, Nona akan ke Enagotadi, tapi belum pasti kapan waktu sebenarnya. Metu menunggu dalam skeptisme. Sekarang sudah bulan kedua, informasi di kalangan masyarakat beredar bahwa konflik antara TPN-PB/OPM dan TNI Polri sudah mulai saling tembak menembak di distrik Sugapa, kampung asli milik Nona Kobogau.

 

Wah, sudah semakin sulit untuk komunikasi. Jauh, Nona Kobogau semakin terpojok dari Metu di kampungnya. Perang di tanah Migani sudah mulai. Metu dengar masyarakat di Paniai menyebut tambang Blog Wabu, kematian militer Indonesia dan militer West Papua. Tapi, Metu tidak mau tahu, dia hanya berdoa supaya kekasihnya baik-baik saja di sana.

 

Media nasional dan lokal ramai mewartakan kejadian perang di distrik Sugapa. Metu baca media online namanya Kompas memberitakan; Sekitar 1.000 warga dari empat kampung yang ada di Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, mengungsi di komplek Pastoran Gereja Katolik Misael Bilogai. Metu khawatir, dan mencoba menelepon Nona lagi, ternyata masih tetap tidak aktif.

 

Kampung asal Mina mengungsi. Dalam zona perang itu sudah lebih dari satu tahun karena Covid-19, rindu disandera ketakutan. Kali ini peperangan di Intan Jaya membuat Metu dan Nona Kobogau tetap berpisah, seakan alam dan keluarga Mina sudah sepakat. Tidak menyetujui cinta yang telah lama lahir itu. Sayang eh!

 

Apapun ceritanya Metu setia menunggu di Enagotadi. Metu percaya kelak akan bertemu Kobogau Mina di kota tua Enagotadi.

 

Diam-diam Metu harap perang di Intan Jaya segera berakhir dan Nona Kobogau datang ke Enagotadi. Metu lebih takut perang menghilangkan cintanya, bukan karena Mee dan Moni tidak bisa bersatu.

 

Tapi, Metu dan Nona sudah pernah bersatu dan cinta akan membuktikan semua. Metu dan Kobogau Mina saling mencintai. Metu berlari naik ke bukit Bobaigo dan berteriak, ” Tuhan hentikan Perang, saya mencintai Kobogau Mina”. Kobogau Mina sayangku!. [*]

Bersambung….

*] Tulisan ini adalah cerita fiksi, ditulis oleh Nomensen Douw, wartawan wagadei.com, tinggal di tepian teluk Saireri

 

tulisan ini dicopy paste dari ; www.wagadei.com

 

Berikan Komentar Anda

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.