Mama

Dua Mama saat berjalan menuju ke Danau Tigi-Doc.Pribadi
Dua Mama saat berjalan menuju ke Danau Tigi-Doc.Pribadi

Oleh : Philemon Keiya 

Siang itu langit cerah. Di pegunungan yang membiru, ada riasan dari awan putih yang kadang datang dan pergi.

Sehari sebelumnya, saya bersama istri putuskan untuk jalan-jalan. Jadi, hari itu setelah pekerjaan rumah diselesaikan, kami bergegas ke jalan naik motor Jupiter Z1 berwarna hijau.

Kami memacu motor melewati perkampungan. Warga lakukan aktivitas masing-masing. Ada mama-mama pegang sekop dan gantung noken di kepala lalu ada ke kebun. Ada warga yang sedang pergi ke hutan. Ada warga yang sedang lalu lalang.

Waghete, Ibu kota kabupaten Deiyai masih seperti biasanya. Banyak warga yang lakukan aktivitas sesuai kebutuhan masing-masing. Ada warga pendatang sibuk layani pembeli. Ada warga yang sedang berdiri santai di emperan perkiosan.

Ada mama-mama sedang menjajakan hasil jualan mereka berlantai tanah dan beratap langit. Sangat kontras dengan para pedagang yang jualan dalam ruas-ruas gedung yang telah dibangun.

Bacaan Lainnya

Para pegawai negeri sipil sedang lalu lalang di perkantoran di Tigiidoo. Namun, kebanyakan kantor terlihat sepi. Cerahnya siang itu benar-benar menjadi anugrah bagi para sopir taxi maupun para pengojek.

Setiap insan larut dalam aktivitas setiap insan

“Kita ke Tage saja ee. Nanti baru kita jalan-jalan ke Paniai,” saya beritahu ke istri dari kampung Keniyaapa.

Band motor berdecit naiki perbukitan Bogaya menuju ke Tage. Kami singgah beberapa menit di pelabuhan Edikumeida. Lalu, lanjut ke Tage.

Sebuah perjalanan yang indah. Kami berdua nikmati waktu bersama. Tanda cawa menjadi penghias perhiasan di jalanan. Hawa dingin tak pernah jauh di sini.

Kami berdua tiba di bukit Kobouya. Di depan kami terpampang sebuah pemandangan yang sangat indah dan asri. Danau Tage terlihat tenang. Gunung Deiyai terlihat cantik skali dengan keindahan alami. Bebatuan putih di gunung Deiyai tersusun rapi bagai algojo Italia.

Langsung saya keluarkan HP dari noken hijau, putih dan hitam hasil rajutan tangan istri. Dan, memotret pemandangan. Lalu, saya memotret istri. Sebuah pemandangan yang indah bagiku. Ada senyum manisnya terurai dan menyatu bersama alam sekitar yang sangat memukau

Tidak lama, ada dua orang mama-mama sedang lewat.

“Koyao,” sapa mereka dua. Kami sapa balik.

Setelah mereka melangkah ke depan, langsung saya duduk mengambil beberapa gambar dengan objek gambarnya dua orang Mama itu dengan pemandangan sebagian Tage yang begitu indah.

Setelah saya lihat hasil jepretan itu, saya kagumi dua objek gambar yang telah menyatu. Dua Mama ini melangkah dengan pasti. Apakah mereka sedang pulang ke rumah, atau sedang ke danau Tage untuk mengais kehidupan danau, atau sedang ke kebun, ataukah sedang pergi ke saudara? Saya tidak tahu. Karena, saya tidak mengenal mereka.

Mama-mama ini sama dengan mama-mama lain wilayah Meepagoo. Pasti ada noken di kepala. Membawa noken menjadi sebuah budaya. Dalam noken, kita bisa isi apa saja.

Semua suku di Papua punya gaya dan bentuk nokennya berbeda. Tapi, dari segi kegunaannya sama: mengisi barang-barang apa saja.

Mama, tak pernah lepas dari noken. Kemana-mana, noken pasti dibawa. Mama jugalah sang pembawa noken kehidupan keluarga. Karena, kehidupan keluarga yang sejatinya terlihat hidup dalam sebuah kebersamaan: bapak, mama, dan anak.

Raja siang masih berkuasa. Kami turun dekat danau Tage. Memotret beberapa kali. Angin sepoi berhembus pelan. Di atas Danau Tage, terlihat beberapa nelayan sedang mencari ikan. Ada beberapa perahu di sana.

Tak lama, kami berdua kembali pulang. Dalam perjalanan pulang, kami singgah nikmati indahnya pasir putih di Keniyaapa. Sebuah pemandangan indah di pinggir kali Yawei.

Di sini, ada Wagadei. Bunga yang didominasi warna orange, kuning dan merah. Bunga Wagadei biasanya tumbuh liar di hutan. Saya memotret istri berulang kali dengan bunga wagadei.

Setelah itu, kami bergegas pulang ke rumah.

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.