Oleh : Philemon Keiya
Matahari sudah condong ke arah barat pada saat kami lepas pekerjaan dinas hari itu. Matahari benar-benar menguasai negeri Deiyai. Danau Tigi teduh lihat dari kaca mobil milik bossku yang baru saja keluar dari kantor.
Bentengan gemunung bagai pagar yang indah. Awan putih tidak lagi terlihat. Langit cerah membiru tanpa ada noda dari awan. Nun jauh di bagain barat, lembah Debei terlihat membiru. Beberapa rumah milik warga Piyake terlihat samar-samar. Hanya, daun sengk Gereja itu yang terlihat jelas.
Pulau Duamo begitu tenang bersama sang jelita danau Tigi. Menyatu dalam pahatan indah Sang Khalik dibawah senyum manis gunung Deiyai.
Hari itu, seluruh wilayah pinggiran danau Tigi benar-benar terlihat santun, lugu, jelita, indah, dan menawan. Ahk, terlalu indah. Sebuah karya agung Sang Maestro buat seluruh warga di sini.
Biasanya, awan hitam sering berteman dengan gunung-gunung. Untuk persiapkan siraman kristal putih dari cakrawala yang begitu luas. Tapi, untuk hari itu tidak. Di langit sangat cerah dan indah.
Saat itu, waktu menunjukkan pukul 14.45 waktu Papua.
“Keiya, saya mau jalan-jalan ke Paniai. Mau ikut kah?” tanya bos kepada saya
“Saya mau ke Bomou,” jawabku singkat
“OK. Setelah ganti pakaian, kami antar ke Bomou,”
“Tidak usa, boss. Nanti istri saya akan jemput. Bos mereka setelah ganti pakaian, langsung ke Paniai saja,” jawab ku lagi
15 menit kemudian, istri saya jemput pakai sebuah motor. Dan, kami bergegas ke Amobagata – Bomou. Di rumah, ada Ritha dan Enjeld. Sore itu, kami berempat habiskan waktu di teras rumah sambil minum teh dan makanan ringan. Sebuah suasana yang romantis dan indah. Kebahagiaan tercipta di sana. Waktu yang benar-benar sangat berkualitas. Kami benar-benar nikmati waktu yang kian menuju sore itu.
“Nanti kita beli perahu kaa. Kita cari ikan dan udang di danau Tigi sendiri seperti mama-mama di atas danau itu,” kata saya kepada mereka tiga.
Sontak, istri bersama Ritha dan Enjeld lihat arah yang saya tunjuk.
“Bapa bisa bawa perahu ke danau?” tanya Ritha sangat antusias
“Bisa,” jawabku singkat
Enjeld diam. Perhatikan saya lama. Entah apa yang dia pikirkan. Dia ikut mamanya masuk ke dalam rumah.
“Saya mau foto mama-mama dalam perahu. Kita ke Oneibo,” ajak saya. Mereka bertiga kompak menyetujui. Saya tertawa.
Oneibo, muara dari danau Tigi. Sebuah kali yang satu-satunya menjadi sebuah pintu keluar bagi setiap tetes air yang selalu berkumpul di atas danau Tigi.
Tak lama, kami berempat tiba di jembatan Oneibo. Saat itu, kendaraan tidak bisa di lalui dengan kendaraan, termasuk motor. Saya parkir motor tak jauh dari jembatan.
Hampir 20-an perahu berjejer di pinggir kali Oneibo yang tersambung langsung dengan Danau Tigi. Mereka itu berdiri menunggu penumpang untuk antar dan jemput dari dan ke arah sebelah dan sebaliknya lagi. Biayanya Rp. 10.000 / orang.
Saya perhatikan mereka dengan seksama. Ada yang masih nona, ada yang masih bawa anak kecil di dalam noken yang dipikul, ada juga yang mama-mama. Mereka layani tanpa lelah. Mulai dari pagi hingga menjelang matahari terbenam.
Tak lama, mata saya terpana dengan beberapa perahu di atas danau. Mereka sungguh, benar-benar Nikmati dan terlelap dalam dunia mereka. Sebuah tontonan gratis yang sangat memukau.
Bagi mereka, Tigi Peku (Danau Tigi) adalah sebuah pekerjaan yang memberi hidup. Sehingga, kapan saja mereka nikmati hidup di sana. Sangat sering saya perhatikan, sekalipun dalam guyuran hujan memukul badan, gempuran angin dan dingin yang benar-benar meremukkan tulang-tulang di badan, juga dalam pekatnya malam yang tidak bersahabat, mereka Nikmati. Benar-benar sebuah keikhlasan dan ketulusan hati dan cinta akan pekerjaan yang sangat luar biasa.
Di atas perahu/koma, ada Ebai (jala yang dibuat dengan nelon) pukat, Gita (pendayung), pancingan, noken, dan sejumlah kebutuhan lainnya.
“Pada saat saya masih kecil dan masih duduk di bangku SD itu, saya juga punya sebuah perahu. Jadi, saya juga biasa tangkap udang dan ikan sendiri,” sering dituturkan bapak mantu.
Sebuah kehidupan yang dianugerahkan Allah bagi para nelayan tradisional dengan pengetahuan alami.
Sore itu, saya balik ke arah pembuangan air danau Tigi. Beberapa lelaki duduk dalam diam dan fokus. Ternyata, mereka sedang mancing ikan untuk memenuhi kebutuhan sore. Dan, hal ini bisa kita jumpa setiap hari di sini, di atas jembatan Oneibo, Deiyai.
Angin dingin berhembus memukul wajah. Kami berempat untuk kembali ke rumah lagi. Sebelum matahari benar-benar digantikan malam, ia keluarkan sebuah senyuman yang indah; Sunset. Saya tinggalkan beberapa jepretan tentang siluet yang indah di langit Deiyai.
Deiyai kian malam
Dari teras rumah saya kembali buang mata ke atas danau Tigi, mama-mama nelayan masih ada di atas danau untuk mengais kehidupan pribadi dan keluarga.
*Seorang Freelance tinggal di wilayah Meepagoo