Oleh : Nomensen Douw
“Jon dan Adiknya Edi setelah kedua orang tuanya meninggal. Kisah hidup setelah putus sekolah hingga titik kematian”
Jon dan Edi [Joe], adik kaka dari bapak Tidus dan mama Ema. Bapak Tidus bekerja sebagai mandor di sekolah dasar [SD]. SD Kaliharapan Nabire Papua. Ibu Ema seorang rumah tanggah. Sebagian hidup mereka dikebun, bertanam segalah macam makanan pokok, umbian dan sayuran. Memiliki ternak babi. Bapak Tidus bertemu mama Ema dikampung, ketika acara adat berlangsung dikampung tetangga. Kampung Ukida. Acara adat; Emaida.
Tahun 1999 jalan trans baru menembus kampung mereka. Jalan trans Nabire-Ilaga 1998. Bapak Tidus dan mama Ema baru menikah adat dikampung Tidus. Hanya beberapa bulan di kampung; bersepakan untuk ikut saudaranya pergi Nabire dengan tujuan membantu bekerja.
Berangkat menggunakan kendaraan umum bus kapsul tren model karoser. Sampai di Nabire. Perjalanan ditempuh 200 kilo meter dari distrik Moa. Jalan masih rusak, satu malam diperjalanan.
Jon dan Edi hidup dalam didikan orang tua yang cukup keras dan disiplin moral. Ikut berkebun dan berternak. Lahir dan besar bersama daun-daun dan rumput. Wilayah kaliharapan; rumah mereka hidup dan besar. Jon dan Edi masih berumur 5 tahun.
Bapak Tidus meninggal karena sakit malaria. Jon dan Edi [Joe] masih lima tahun. Bocah. Dibesarkan mamanya hingga berumur 18 tahun. Mama Ema meninggalkan kedua anak yang dicintai. Mamanya pergi masa transisi dari SMA – kuliah. Masa yang sulit bagi mereka dua, Jon dan Edi.
Jon dan Edi baru lulus SMA. Jon memilih tidak lanjut kuliah, memilih jaga rumah yang ditinggalkan kedua orang tua. Edi, adiknya punya cita-cita menjadi diplomat international. Edi kuliah kota Bandung, Universitas Padjajaran (Unpad) jurusan hubungan international [HI].
Edi sudah semester tiga, Ia semangat kuliah, tapi dalam tiga semester yang dilalui, mengalami kendala biaya. Tempat tinggal Edi, menumpan di teman kampus yang berasal dari Aceh. Edi sulit sekali uang makan dan kuliah, kadang Edi makan dalam seminggu hanya dua kali.
Edi akan pulang Nabire; tidak bisa ikut ujian semester. Pulang mencari uang kuliah. Menumpang kapal Labobar. Edi sampai di kota kelahirannya, Nabire Papua. Dijemput Jon dipelabuhan, kakanya. Jon tau, adiknya pulang karena kewalahan biaya. Jon bigung, harus bagimana, tapi Jon memiliki ternak babi yang ditinggalkan kedua orang. Babi masih kecil.
Belum ada uang, orang tuanya sudah meninggal lama. Bapaknya tidak memiliki uang pensiunan, hanya menjadi mandor, tidak guru. Sebelumnya, Edi perna coba ikut tes beasiswa namun tidak perna lolos, tiga kali. Lolos hanya yang membayar tim seleksi dan anak-anak boss. Setelagnya Ia memilih lanjut di Bandung.
Edi banyak berpikir karena sudah enam bulan di Nabire. Belum balik dan teman-temannya sudah kuliah aktif disemester empat. Beberapa bulan kemudian, Edi jarang dirumah, kebanyak diam, keluar masuk pagi hingga sore, tidak seperti biasa. Edi pergi dengan berpakean seakan Dia pergi kampus, persis gayanya seperti di Bandung. Edi sudah sakit jiwa.
Sudah satu tahun lebih. Warga dikota sudah tau Edi. Sakit jiwa karena putus kuliah. Jon kakanya hilang akal, harus bagaimana untuk adiknya. Hanya tidur dirumah, selebihnya Edi di kota, pasar dan dijalan-jalan. Naseat Jon tidak sampai, hanya lewat ditelingga Edi.
Sepanjang hari pergi dari rumah. Pagi pergi, sore pulang. Begitulah aktivitas adiknya Jon sepanjang hari. Kadang Edi pulang malam. Selasa sore. matahari semakin tenggelam. Rumah papan ditengga pepohonan hijau tinggal hanya berdua, Jon dan Edi.
Seorang kaka dan seorang adik yang Kedua orang tuanya telah almarhum. Jon memilih tinggal dirumah karena biaya, menjaga ternak dan betkebun. Sudah lama hidup mereka dari berkebun dan berkayu untuk bertahan hidup. Memiliki ternak babi, 10 ekor. Lebih traditional. Ternak babi sudah besar saat Natal tiba, semua laku dengan harga 10 juta kebawah. Jon menjual babi untuk adiknya kuliah tapi adiknya sudah sakit jiwa. Jon merasah percuma, bersedih.
Kota sedikit hujan. Pohon-pohon basah. Matanya melihat air hujan jatuh dari daun ke daun hingga tanah. Rumahnya diantara pepohonan, berdaun lebat, dekat bukit. Sejuk, dingin dan sunyi. Teras rumah panggung. Tempat Ia duduk memikirkan nasibnya dan adiknya yang sakit. Dengan segelas kopi dan rokok anggur kupu. Sore dan malam, lalu Ia masuk tidur setelah saudaranya pulang menggembara.
Jon baru diputar kopi. Kopi masih panas. “Kopi dulu?” , minta saudaranya yang sakit jiwa setelah baru pulang. Tak tau darimana. Baru sampai dirumah, duduk dikursi dekat pintu teras kayu. Duduk sebelah kakanya yang lagi duduk kursi ujung rumah. Dia basah tapi sedikit. Pakeanya sama berhari-hari, kemeja kotak berkrak seperti khas Jokowi saat berkampanye sebelum menjadi presiden, bersepatu menggendong tas. Sangat mahasiswa.
Balas sodaranya Jon, “kopi ini dingin, kemaring punya”, balas canda tapi serius, dalam hati ketawa kecil.
“Mari kasih”, desak saudaranya yang sakit jiwa, Edi.
“Ambil sudah?,” perintahnya.
Edi ambil kopi yang sudah dituangkan dalam mangkok depan kakanya, Jon. Karena dibilang dingin, Edi langsung terompet. Kopi panas lurus tenggorokan [minumnya seperti air putih dingin]. Panas sekali, Edi lempar mangkok dengan sedikit kopi, jauh dari teras rumah. Dia berlari kencang kembali ke jalan. Jalan masuk rumah. Tidak kembali kerumah lagi sampai besok pagi. Edi meghilang.
Jon khawatir; merasah bersalah, paginya Dia mencari Edi. Ia ketemu depan toko obat traditional China depan toko merah putih. Sedang duduk, matanya melotot melihat beberapa gambar obat di stiker; ditempel pada permukaan kaca kotak berisi obat China.
Jon melihat adiknya Edi bersedih dan mengajak pulang.
“Edi.. buat apa disini, ayo kita pulang rumah, ” Sapaan Jon yang datang dari rumah.
“Io…., ” Balas Edi sambil ia ketawa-ketawa lalu berdiri. Edi lupa kalau kerjaan Jon kemaring membuat Dia marah. Tidak pulang satu malam kerumah.
Jon berpikir, Edi adalah adiknya, saya salah kemaring. Dia saudarah saya yang semestinya saya harus mencari mengobatilan, bukan bermain dengan cara yang kurang baik.
“Saya minta maaf, ” Minta Jon kepada saudaranya yang sakit sambil mereka dua berjalan terus kerumah.
Edi hanya senyum-senyum. Entah ia lupa kejadian kemaring atau Dia memaafkan kakanya Jon. Hanya Edi yang tau. Tapi sejak remaja, Edi suka memaafkan orang, suka ketawa tapi tidak berlebihan seperti sekarang. Jon dan Edi, saudara tunggal almarhum bapak Tidus dan mama Ema. Lingkungan mereka hidup, berubah mengikuti tahun yang terus berganti. Semakin dewasa, Jon dan Edi.
Tahun 2019, kaliharapan telah berubah, Edi masih masih sakit seperti dulu. Jon sudah coba banyak hal untuk mengobati Edi namun tidak membantu adiknya. Rumah mereka berubah setelah Jon menikah dengan anak dari seorang mantan bupati. Kini Jon sudah menjadi kepada kampung, satu milyar satu kampung menjadi makanan.
Jon sering miras, tidak peduli adiknya yang masih seperti dulu. Kandang babi sudah tiada, kebun sudah menghutan, seakan program Jokowi menghapus kebun dan kandang babi. Aset berharga yang ditinggalkan kedua orang tuanya.
Jon sudah seperti Edi, tidak sakit namun kadang gila ketika minum, ribut dengan istrinya yang jaga rumah, sering Jon pukul. Ediknya sudah jarang pulang kerumah, terganggu dengan Jon. Pada akhirnya, Jon kehabisan nafas depan toko sumber abadi Nabire. Tidak bernyawa diatas alas karton. Rumah berubah menjadi duka, seorang dengan bercita-cita diploma international meninggal. Ia bertemu bapaknya dan mamanya dalam damai.
Jon hidup bersama kedua anaknya dan istrinya. Ia berhenti miras setelah adiknya mati depan toko. Hidup sebagai keluarga yang semestinya di kaliharapan. Mulai pergi berkebun dan kembali piara babi.
[Fiksi]