LUKA

Perempuan asal suku mee yang duduk sambil mengenakan busana adat -Doc. Philemon Keiya
Perempuan asal suku mee yang duduk sambil mengenakan busana adat -Doc. Philemon Keiya

Oleh; Philemon Keiya

 

Dingin kembali menusuk daging tubuh ku. Seperti biasa. Tapi, malam ini beda. Malam penuh bintang. Berlaksa gemintang menghiasi atap raksasa yang terlihat sendu. Angin sepoi terus memukul tubuh ku.

 

Saya merasa dingin sekali. Padahal, tadi sore saya sudah bungkus badan dengan dua jaket. Jaket abu-abu yang pernah dibelikan pacar ku Yuli, awal tahun ini di pasar Wagete.

 

Bacaan Lainnya

Seperti biasa, saya dan sahabat karib ku, Lena sudah persiapkan diri sejak sore.

 

“Marlin, nanti saya jemput. Tunggu saya di rumah,” kata sahabat ku tadi sore sebelum kami ke danau.

 

Nama ku, Marlince. Saya dibesarkan bapa ku sejak mama pergi untuk selamanya melalui jalan Oneibo. Hingga saat ini – bahkan sampai kapan pun- saya tidak akan pernah tahu tentang Mama. Bapa, harta karun terbesar yang saya miliki.

 

Jelata malam berkidung merdu. Hembusan angin danau berhembus pelan. Senandung burung malam melantunkan misterinya danau Tigi. Ilalang danau melambai. Irama wiyaani dari para pemuda Onago dan Diyai terlantun indah di kejauhan.

 

Kami berkumpul disini. Diatas danau Tigi. Danau yang penuh misteri. Ada mama-mama juga. Kami dari kampung yang berbeda. Wakeitei, Diyai, Bomou, Yagu, Gakokebo, Oneibo. Juga dua orang dari kampung Debei. Kami kumpul di danau ini. Danau yang sudah berikan kami berbagai lauk sejak saya ada dalam rahim, danau Tigi.

 

“Tidak heran, kalau anak dapat ikan banyak. Sejak anak dalam rahim, mama mu rajin kesini. Kami kadang larang tapi dia sudah jatuh cinta dengan danau ini,” ujar mama Pekei dari Yagu.

 

Mama Pekei, begitu biasa saya panggil. Mama Pekei, teman malam mama saya. Teman malam? Ya, teman malam. Mereka berdua bersama teman-temannya yang lain sering ketemu malam. Mereka menghabiskan malam diatas danau. Berbagai kisah mereka lukiskan didalam album kenangan mereka. Berbagai cerita yang nantinya akan menjadi kenangan yang akan mereka kenang.

 

Mama Pekei hampir sering saya sama-sama dengan dia. Dia sering cerita tentang mama saya. “Anak hampir sama dengan mama mu. Dia itu orang yang tidak tahu marah. Dia orang baik yang pernah saya kenal,” ceritanya suatu malam diatas danau.

 

Sebatas itu yang saya tahu tentang mama saya. Mama telah tiada saat saya masih kecil. “Ko punya mama itu, kali Oneibo sudah bawa pergi. Jadi, jangan buang jala disitu.”

 

Hanya itu yang pernah bapa beritahu. Bapa, sosok pendiam yang saya kagumi. Badannya agak kurus. Tinggi. Hanya tahu senyum saja. Setiap sore, jika kami di rumah, tidak banyak kata yang keluar dari mulutnya. Hanya desahan nafas yang terdengar dibalik kepulan asap rokok kobouye.

 

Pernah sekali saya desak kepada bapak. Tapi, hanya air mata saja yang ia mampu keluarkan dari pipi hitamnya yang mulai keriput. Dari sorot matanya menceritakan ribuan kenangan indah bersama mama yang sekarang tinggal kenangan. Air matanya itu yang bisa mewakili sejuta rasa dari bapak.

 

Saya hanya terpagut diam.

 

Setiap kali saya coba tanya ke mamade juga jawabannya tidak jauh beda dengan bapak saya. Jawaban dari mama Amadi juga sama. “Mama sering kastau ko, saya ini ko punya mama. Jangan percaya orang,” tegas mama Amadi suatu sore.

 

Saya bingung. Karena, mama Amadi klaim saya ini anaknya. Tapi, bapa punya istri juga ada. Mama Pekei dan orang-orang bilang mama saya, kali Oneibo sudah bawa pergi. Setelah saya besar lalu saya tahu ceritanya.

 

Mama Amadi. Mama yang telah besarkan saya sejak saya ditinggalkan mama. Sebenarnya, saya ingin tahu tentang kenapa mama pergi, tapi saya dilarang dengarkan kisah itu. Keingintahuan tentang mama itu mulai memuncak. Namun, tidak banyak orang yang menyiapkan waktu untuk bercerita tentang mama.

 

Ah, sudahlah! Ada mama Amadi juga too, hati ku bergumam

 

Ya, Mama Amadi. Mama yang penuh perhatian. Orangnya cerewet. Tapi, kuat kerjanya. Orangnya cekatan. Kebun-kebun tidak pernah ada rumput. Orangnya pintar walau tidak pernah rasakan sentuhan pendidikan. Pintar mengatur uang. Pagi –pagi buta kalau ke atas danau, siang sampai sore ke kebun. Kadang juga ke pasar Wakeitei untuk jual ikan.

 

Kehidupan didalam danau saya sudah diajar mama Amadi sejak saya masih kecil. Ia sering bawa saya kesana. Sekalipun, nenek Martina larang bawa saya ke danau. Tapi, entah apa yang ada dalam benaknya mama Amadi, dia selalu bawa saya ke danau.

 

Mama Amadi tidak ajar saya bagaimana cara untuk saya bisa dapat ikan. Dia biarkan saya untuk bisa belajar sendiri. Suatu saat, saya berusaha pegang ebai (jala) miliknya, dia tidak marah. Dia malah jahitkan ebai buat saya. Ebai tidak terlalu besar. Cukup untuk seumuran saya. Mulai saat itu, sekalipun saya tidak dapat ikan, saya sering masukan ebai kedalam danau.

 

Mama Amadi hanya tersenyum melihat tingkah ku yang lucu saat masih kecil dari atas danau. Mama Amadi, sosok mama yang sangat saya bangga.

 

Sejak saat itu, saya sudah terbiasa ada diatas danau. Kulit ku yang hitam kecoklatan sudah bersahabat dengan air danau. Bau badan ku sudah berteman dengan para penghuni danau. Sisa makanan ku sering ku bagi dengan mereka. Kulit ku sudah menjadi pagar betis bagi tubuh ku untuk menahan gempuran-gempuran angin dingin danau.

 

Malam itu, ribuan gemintang mulai hilang dari mata kami. Keindahan panorama karya Sang Maestro mulai terusir dengan awan kelabu yang mulai menyelimuti lembah Tigi.

 

“Sedikit lagi akan hujan jadi, jangan lupa siapkan kain masing-masing,” kata Mama Petra ingatkan kami semua.

 

Malam itu semua perahu kami masing-masing bentuk barisan. Barisan yang tak karuan. Memang tak seindah barisan anak-anak sekolah. Kami berjumlah 11 orang. Kebanyakan kami anak-anak muda. Hanya empat orang yang sudah berkeluarga.

 

Kami mulai pasang api diatas seng yang telah disiapkan. Memang, tiap perahu diatas danau Tigi yang sering menjala ikan hingga menjelang pagi itu seng rusak selalu disiapkan. Seng itu akan menjadi dasar untuk pasang api dikala hujan dan angin berlomba menggerogoti tubuh kami. Kayu bakar secukupnya juga selalu disiapkan. Selain itu, jacket dan selimut juga harus disiapkan untuk menahan gempuran angin malam yang sering mencambuk tubuh.

 

Malam itu beda. Tidak ada satu pun dari kami yang menjala ikan. Kami semua mengeliling api. Api tidak terlalu besar. Tapi, cukup dalam situasi seperti malam ini. Apalagi diatas danau.

 

“Dulu waktu kami masih kecil itu, danau ini besar skali. Dari kami punya rumah di Yagu lihat Duamo itu sangat jauh sekali sampe kami tidak bisa lihat dengan baik. Hanya samar-samar saja,” mama Pekei mengawali cerita malam itu.

 

Kami yang lain diam sambil masak ikan dan udang.

 

“Trus, kalau bapa dengan mama mereka pergi ke Diyai dari Yagu itu makan dua hari. Sama juga, kalau orang tua mau ke Yaba. Sangat jauh sekali. Tapi sekarang, bisa pulang balik Diyai – Yagu dalam satu hari bisa empat-lima kali.”

 

“Anak-anak, sekarang itu sudah banyak hal yang sudah tiba di Tigi ini. Mulai dari hal yang baik sampai yang tidak baik. Kalian itu perempuan. Harapan masa depan. Perempuan itu tiang negeri ini.”

 

“Tiang negeri?” tanya ku dalam hati

 

“Maksudnya, perempuan itu pasti akan melahirkan anak. Kalian harus bertanggung jawab untuk masa depan dari mereka. Saya tidak sekolah. Suami saya juga orang biasa. Tapi, dua orang sudah sarjana. Kami biaya. Anak ketiga, baru selesai tamat SMA dari Waketei. Dia sudah pergi lanjut kuliah. Makanya, hampir setiap malam mama itu selalu ada diatas danau ini untuk cari ikan untuk mau jual demi biayai tiga anak saya.”

 

Saya tersenyum dengar Mama Pekei bilang baru tamat SMA dari Wakeitei. Saya yakin, itu kakak kelasnya Yuli.

 

“Karena, untuk mau jadi orang besar itu hanya orang yang sekolah saja. Maka itu, kalau kalian kawin, kalian harus cari suami yang kalian bisa kerja sama dalam keluarga.”

 

“Jika kalian berhasil biaya anak-anak kalian dan suatua saat mereka menjadi bos besar, berarti kita sudah sukses menjadi tiang di negeri ini.”

 

Oooh, saya mengangguk. Saya mengerti apa itu ‘tiang negeri’ yang mama Pekei maksud tadi.

 

“Sekarang, kalian juga harus jaga diri baik. Sudah banyak penyakit yang mulai berkembang banyak. Kalian hidup mau panjang atau tidak itu, ada di tangan kalian sendiri.”

 

Banyak nasehat diberikan kepada para ‘gadis danau’ itu. Banyak pengalaman yang diceritakan juga. Hingga, tidak sadar angin dingin menampar setiap kami. Di kejauhan, suara burung Iitooti terdengar samar-samar. Ayam-ayam mulai berkokok. Bertanda, hari sudah mau berganti.

 

“Sudah mau pagi jadi, kami dua pulang duluan,” ujar Nella yang berasal dari Debei. Nella dan Lince berlalu pergi menuju Debei.

 

Kami mulai berpisah. Mama Pekei dan Lince kembali ke kampung Yagu. Nella arahkan perahu ke arah tanjung Ukagu mau kembali ke Debei.  Mereka yang lain juga kembali ke rumah masing-masing. Saya dan Lena arahkan perahu ke Oneibo.  Lena sahabat karib ku. Kami berdua mendayung bersama. Sejak sore, kami sepakat pakai perahunya Lena.

 

Oneibo. Kampung ku tercinta. Tempat pembuangan air danau Tigi. Tempat saya dengan teman-teman mandi. Kampung ku dimana saya dibesarkan bapa dan Mama Amadi. Kali Oneibo, jalan yang mama pergi untuk selamanya.

 

Mendekat kampung Oneibo, subuh itu, muncul sosok yang tidak asing. Sosok yang sangat saya cintai itu terus berseliweran di depan muka. Ia tersenyum manis. Senyuman manis yang sering temani saya diatas danau. Senyuman yang tak kan pernah saya bosan melihatnya.

 

Saya balas senyum padanya.

 

“Marlin, kenapa senyum-senyum sendiri?”

“Saya rasa, ada seseorang yang sedang tersenyum lalu ada lihat saya”

“Disini itu tidak ada orang, hanya kami dua saja”

“Ah tidak. Saya ingat Yuli saja”

“Hahahahaha”

Kami dua tertawa sama-sama.

 

Sinar mentari mulai mengusir malam. Danau Tigi masih berteduh indah. Sebelum kami berdua menepi di pinggir danau, saya melekatkan jaket yang sudah saya kenakan sejak kemarin sore. Jaket pilihan utama sejak awal tahun kemarin. Jaket abu-abu.Jaket kenangan!

 

“Lena, saya mengantuk jadi saya pulang langsung tidur. Sebentar siang kita ketemu”

“Iyo,” jawab Lena singkat.

 

Kami berdua pisah.

Tiba di rumah, Mama Amadi sudah bangun. Mama Amadi berikan nota.

 

“Kamu tidur saja. Sebentar siang nanti mama yang pergi jual ikannya di pasar Wakeitei,”

“OK,” jawab ku singkat

 

Saya tertidur pulas. Tidak lama, saya sudah berada di kampung Pogito. Yuli ada sama-sama saya. Kami berdua ada di bukit. Yuli banyak bercerita. Banyak sekali rencananya untuk kami berdua. Saya hanya duduk diam ada disamping dia. Gunung Deiyai tersenyum manis melihat kami berdua. Saya tersipu malu.

 

“Marlin, nanti kita akan bangun rumah disana,” kata Yuli sambil menunjukan lokasi milik keluargnya.

 

Setelah bicara banyak hal, dia memeluk ku. Ingin rasanya ada dalam pelukannya setiap waktu. “Saya sangat sayang dan cinta sama ko,” kata Yuli meyakinkan

 

“Sama, saya juga sangat sayang dan cinta sama ko,” balas ku pelan

 

Tiba-tiba, kami berdua ada diatas gunung Pekedimi. Gunung yang sering kami naik. Gunung yang dibawahnya kali Oneibo lewat. Yuli masih memeluk ku. Kami berdua lihat indahnya panorama danau Tigi. Juga kali Oneibo. Anak-anak sedang bermain di jempatan gantung Oneibo. Sangat ramai.

 

Mama-mama sedang bermain ria dengan air danau. Perahu-perahu nelayan terlihat samar-samar. Elang danau beterbangan memainkan sayapnya melawan angin.

 

“Marlin, lihat ada jalan disana. Jalan lurus dari Oneibo yang sangat panjang itu. Itu jalan kematian. Jalan itu akan tiba kapan saja,”

“Mana, saya tidak lihat,”

“Jadi, jalan itu mungkin dibuat oleh siapa saya juga tidak tahu. Mungkin Tuhan Allah yang buat karena jalan kehidupan tiap manusia dibuat hanya oleh Dia,”

“Yuli, ko bicara apa? Saya tidak lihat jalan yang ko maksud,”

“Saya pasti akan jalan kesitu. Mungkin sebentar sore,”

“Ko mau jalan untuk apa? Nanti ko kembali kah tidak?”

“Ah, tidak! Saya tidak akan kembali”

“Trus, tadi kan ko sudah janji kita buat rumah di Pogito. Ko jangan jalan dulu,”

 

Yuli diam. Saya juga ikut diam.

 

“Saya mau jalan. Jadi, selamat,”

 

Dia mengulurkan tangan. Mau berjabat. Tiba-tiba saya kaget bangun dengar rentetan suara tembakan senjata di jalan raya. Jalan yang tak jauh dari rumah. Saya sangat gemetar. Ada orang berlari masuk di rumah. Mama Amadi juga datang.

 

“Itu, brimob dorang tembak anak-anak dorang kaya binatang,” dia tiba di rumah dengan nafas terengah-engah.

 

Mama Amadi ajak kami lari ke arah belakang rumah. Suara tembakan rentetan itu masih terus menggema. Suara yang tidak pernah kami dengar. Setengah jam kemudian, suara tembakan sudah tidak ada. Kami kembali ke rumah.

 

“Mama akan kembali. Mama pergi cek keadaan di jalan. Ko masuk di rumah. Nanti mama akan kembali,” kata mama

 

Saya Ikuti. Perasaan saya lain.

 

“Brimob sudah tembak anak-anak banyak. Banyak darah di jalan. Orang-orang ada berusaha untuk bawa ke rumah sakit. Jadi, Marlin ko jangan keluar. Ko dalam rumah saja,” perintah Mama Amadi lagi

 

Perasaan saya mulai tak karuan. Kampung Oneibo sudah mulai berubah. Malam datang dengan cepat. Saya lebih memilih tinggal di rumah. Memang, mama Amadi sudah larang saya untuk malam ini tidak keluar rumah.

 

Saya kembali lanjutkan tidur.

 

“Saya sudah jalan jadi, selamat,” teriak Yuli dari ujung jalan yang dia maksud tadi dari Pekedimi.

 

Saya berusaha pergi mendekat, namun tidak bisa. Saya menangis. Yuli juga ikut menangis. Saya berusaha meraih tangannya. Namun, kali ini tidak bisa. Badannya berlumuran darah. Dari badannya keluarkan banyak darah. Saya heran. Padahal, satu jam yang lalu kami berdua sudah sama-sama di Pekedimi. Dia sangat sehat. Bahkan, tadi kami berdua baru bicara berbagai impian masa depan kami berdua.

 

Pagi yang kelam. Badan saya lemah lunglai.

 

“Kemarin terjadi penembakan di kampung itu, Yulianus Pigai tidak tertolong. Dia tertembak senjata di kedua pahanya. Alat kelaminnya juga ikut kena peluru. Dia meninggal. Sementara 11 pemuda dan anak-anak ditembak dan mengalami luka tembak. Ada yang tadi malam sudah dibawah pulang. Empat orang akan dibawah turun ke Nabire,” begitu informasi yang disebarkan seluruh warga Oneibo.

 

Bukan di Oneibo saja. Berita itu sudah tersebar di sekeliling danau Tigi. Juga hingga di pelosok Papua. Bahkan, sampai dunia internasional.

 

Air ku mata bercucuran. Pipi ku terus dibasahi banjiran butiran-butiran kristal dari kedua bola mata ku. Saya peluk erat jaket abu-abu yang pernah dia belikan. Semua janji kemarin dari Pogito dan Pekedimi itu hanya penghibut di dunia imajinasi ku yang tak kan pernah terwujut.

 

Dia pergi. Pergi untuk selamanya seperti mama. Tapi beda. Mama pergi lewat kali Oneibo. Tapi, Yuli ku pergi dan berakhir hidupnya di muncung senjata brimob.

 

Mama Amadi mencoba menghibur ku.

 

“Yuli, selamat jalan. Saya juga akan pergi mencari mama lewat kali Oneibo. Saya berharap, semoga kita ketemu di ujung kali Oneibo.” Batinnya

 

Dalam Rinai Hujan

Wakeitei, Minggu, 13/08/2017

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.