Sa pu tanah tu subur

Sa Pu Tnah Subur LEHIM -Doc.Philemon Keiya
Sa Pu Tnah Subur LEHIM -Doc.Philemon Keiya

Philemon Keiya*

Mentari benar-benar menguasai daratan karang panas. Angin sepoi – sepoi dari lautan memukul dedaunan. Bunga – bunga yang tidak kuat menahan serangan panas dari sang raja siang. Ombak berlomba memukul bibir pantai tiada hentinya. Alunan gemuruhnya berdengung memecah kesunyian pantai pasir putih.

 

Jam dinding sudah menunjukan 13.25 WIT. Lonceng sudah berbunyi bertanda pulang. Ratusan murid SMA YPK Sion Biak sudah tumpah ruah dihalaman sekolah. Elis bersama beberapa temannya sudah berada di pintu utama. Mereka bagi jalan masing-masing.

 

Mereka baru saja habiskan masa liburan panjangnya.

Bacaan Lainnya

 

Elisabeth Anastasia. Elis nama panggilannya. Cewe hitam manis. Ia dilahirkan 13 tahun lalu di kota Biak. Sudah 13 tahun berada di kota karang panas.

 

Kedua orang tuanya berasal dari Dogiyai. Andreas, nama bapaknya. Seorang pegawai negeri sipil di kantor swasta. Ia diterima menjadi pegawai sejak puluhan tahun lalu usai menamatkan SMA. Bapa Andi, begitu biasa disapa. Pria berbadan besar tinggi. Rambutnya pendek. Dia lebih banyak diam. Bicaranya hanya seperlunya saja.

 

Mama Nelli. Perempuan berambut kribo itu berasal dari Dogiyai juga tapi beda kampung. Orangnya putih. Humoris. Sifat humorisnya itu sangat kontras dengan suaminya, Andi.

 

Elis baru naik kelas II SMA. Ulangan kenaikan kelas, ia masuk III besar. Elis mengalahkan Putri Sembiring. Elis kalah beberapa angka dari Fredy Rumbiak. Masuknya III besar memang sudah menjadi targetnya sejak awal tahun lalu.

 

“Jika jadi juara kelas, nanti bapa akan ajak liburan ke kampung,” kata bapaknya beri semangat.

 

Ke kampung halaman. Itu impiannya sejak kecil. Ia sering memaksa kedua orang tuanya semasa liburan untuk membawa pulang ke kampung halamannya untuk bertemu dengan seluruh sanak saudaranya. Keinginan itu sama dengan ketiga adiknya, Jenni, Noak dan Robert.

 

Jenni sudah naik SMP kelas II. Noak sekarang sudah di kelas V SD. Sementar si bungsu, Robert ada di bangku SD kelas II. Elis sering provokasi adik-adiknya untuk memaksa kedua orang tuanya untuk pergi berlibur bersama. Mereka sangat ingin sekali melihat asal kampungnya.

Janji bapaknya itu menjadi tantangan tersendiri. ia batasi berbagai kegiatan diluar yang tidak menguntungkan. Ia berjanji pada dirinya, akhir semester harus juara demi mengobati rasa rindu akan kampung halamannya yang sudah memuncak.

 

Sudah sangat tidak sabar untuk melihat sendiri kampungnya.

 

Sebelum pulang, didalam kelas ibu guru Henny berikan tugas kepada anak muridnya. Ia guru bahasa Indonesia yang sangat berpengalaman. Sudah puluhan tahun mengabdi disini. Ia sering dipercaya jadi juri di kabupaten Biak pada saat perlombaan pidato.

 

“Kalian baru selesai liburan. Pasti kalian sudah punya pengalaman masing-masing. Tulislah pengalaman kalian dalam bentuk cerita atau puisi. Minggu depan kumpul,”

 

Ia pulang sangat antusias. Bagi dia, satu kesempatan yang bagus untuk bisa menceritakan segalanya tentang kampung halamanya.

 

***

Seminggu berlalu. Jam pelajaran sudah tiba. Ibu guru Henny dengan gayanya yang khas sudah tiba di depan kelas. Ia menjelaskan terlebih dulu tentang puisi, cerpen, prosa, pantun, gurindam, dan hikayat.

 

“Ibu guru mau tanya. Siapa yang sudah tulis pengalaman liburan kalian,” tanya ibu guru

 

Dari 27 siswa dikelasnya, ada siswa yang angkat tangan. Ada pula siswa yang tidak angkat, lebih-lebih para siswa laki-laki yang tidak angkat.Ibu Henny meminta kepada siswanya yang sudah kerjakan tugas agar kumpul tugas yang diberikan itu.

 

“Diantara kalian, siapa yang berani maju kedepan dan mau bacakan tulisan kalian?” tanya ibu guru Henny.

 

Kelas menjadi Hening.

 

Ibu Henny masih mencari. Ia buang pandangan ke seluruh kelas. Namun, belum ada yang berani. Semua tertunduk. Ada yang saling lempar kepercayaan.

 

Tiba-tiba…

 

“Ibu, saya mau baca saya punya pengalaman,” kata Elis beranikan diri. Ia sangat ingin sekali cerita tentang kampung halamannya.

 

Elis maju kedepan ruang kelas. Ia mulai baca tulisan tangan yang ditulis sendiri dari buku PR Bahasa Indonesia itu.

 

Sa pu tanah tu subur

 

Alam indah nan berseri. Menghijau panorama alam Dogiyai. Membiru nun kejauhan selayang pandang. Bentengan pegunungan yang memagari. Memagari manusia dan seluruh kehidupannya.

 

Dogiyai terbagi dalam dua wilayah besar. Lembah Hijau Kamuu dan Pegunungan Mapia yang permai membiru.

 

Lembah Hijau Kamuu. Lembah kehidupan. Lembah penuh misteri. Rumah besar ribuan insan. Dialiri puluhan kali membasahi tanah dan menghidupi kehidupan manusia dan alam. Dibawah kaki gunung Deiyai yang menjulang tinggi nan indah.

 

Disana ada danau. Tapi persisnya disebut telaga. Kata bapa, dulu sebenarnya danau. Entah kenapa, danau itu semakin mengecil dan sekarang sudah menjadi telaga. Telaga Makamo, namanya.

 

Telaga ini mengalirkan air hitam. Kali yang mengalir dari telaga itu disebut kali Makamo. Menurut saya, air seperti ini sulit didapati di dunia mana pun.

 

Lembah Hijau Kamuu sudah dipagari dengan gemunung yang melingkari. Bagian timur dibatasi dengan gunung Deiyai. Bagian barat, ada gunung Dogiyai dan Ege. Bagian selatan, ada gunung Kemuge dan Amuyai. Sementara bagian utara dipagari dengan gunung Maago, Udumai dan Duguwou.

 

Hanya dua musim saja disana: Musim hujan dan musim kemarau. Kedua musim ini bisa berubah kapan saja.

 

Saya pernah diajak naik ke gunung Mago. Gunung Mago cukup tinggi. Dari ketinggian melihat Lembah Hijau Kamuu sangat indah.

 

Disana, soal kesuburan tanah, jangan diragukan lagi. Saya sangat bangga, Tuhan Allah ciptakan saya sebagai orang lembah hijau Kamuu. Mengapa? Disana tidak perlu kerja terlalu keras. Jika batang singkong, pisang atau jenis tanaman tropis lainnya sekalipun dibuang begitu saja, dia akan tumbuh sendiri. Apalagi kalau, berbagai jenis tanaman itu diurus dengan baik. Sungguh! Hasilnya sungguh sangat luar biasa.

 

Tentang Lembah Kamuu, pasti kalian sudah dengar. ‘Kopi Murni Moanemani’ itu berasal dari sana.

Jenis tanah disana itu, kebanyakan tanahnya hitam. Hanya bagian ibu kota kabupaten, Moanemani dan beberapa kampung lainnya saja yang tanah jenis warnya kuning.

 

Mama –mama Dogiyai itu selalu jualan hasil kebun yang sangat segar. Saya sangat senang skali dengan hasil kebun itu.

 

Tiga hari sebelum kami turun ke Nabire, bapa saya mengajak ku ke Mapia. Mapia itu sebutan dari lima distrik dibagian sa punya orang-orang yang lima distrik yang dialek bahasa daerahnya kebanyakan pake ha. Mapia, lebih cocok itu sebut Pegunungan Mapia. Kenapa, semua warga Mapia ada di gunung-gunung.

 

Hari itu, kami rombongan tiba di kampung Diyeugi. Kampung ini ada diatas gunung. Sangat indah. Dari sini, kita bisa dimanja mata hasil karya Luhur Sang Maestro. Permadani indah yang sangat memukau. Rasanya ingin liburan sebulan disini. Orang-orangnya sangat ramah.

 

Pagi-pagi, awan putih akan terlihat seperti sutra putih yang menyelimuti semua orang di Mapia. Sungai-sungai disini sangat jernih dan dingin alami.

 

Di Mapia terdapat banyak kacang tanah. Selain itu, masakan khas yang saya sangat senang itu keladi bakar. Sangat enak rasanya. Sungguh!

 

Sama seperti lembah Kamuu, di Mapia juga tanahnya sangat subur.

 

Dogiyai, memang lahan yang sangat subur.

 

Elisabeth Anastasia

 

***

 

Elis buang tas di kamarnya. Tanpa ganti baju, ia ke ruang makan. Mamanya masih duduk disana. Elis tersenyum. Ia merasa bangga dengan pengalaman yang sudah ia ceritakan kepada seluruh temannya. Juga kepada ibu guru Henny. Mereka suka atau tidak, baginya sangat senang sudah ceritakan betapa indah akan kampung halamannya.

 

“Sebelum makan, masuk ganti baju dulu. Besok masih pake,”

“OK.”

 

Setelah beberapa menit. Elis sudah kembali ke ruang makan. Siang ini, mamanya menghidangkan papeda. Papeda, makanan paling kesukaan bapa.Makanan belum habis, bapanya Elis sudah pulang dari kantor.

 

“Bapa, saya mau cerita,”

“Mau cerita apa?”

“Ah tadi itu, saya sudah bacakan saya punya pengalaman…

 

“Elis, bapa belum ganti pakaian. Kamu habiskan makanan dulu. Biarkan bapa juga makan dulu. Sebentar setelah makan lalu lanjutkan cerita,” potong Mamanya

 

Elis mengernyitkan keningnya dan memonyongkan bibir ke arah mamanya. Ia sedikit kesal. Namun, gayanya lucu.

 

Elis melahap papade dengan kuah kuning.

 

“Bapa, saya istrahat dulu. Sebentar sore baru nanti saya cerita,” katanya sambil berlalu pergi masuk kamar tidurnya.

 

Mentari sudah berada di bagian barat. Keindahan senja mulai terlihat pada tiap pantai indah yang ada di pula Biak. Senyuman manis berikannya kepada setiap insan negeri karang ini.

 

Elis sudah bangun. Ia cuci muka.

 

“Elis, bapa ada panggil. Bapa ada tunggu di belakang,” teriak Jenny.Adiknya berteriak dari dapur.

 

Dibagian belakang rumah sudah dibuat para-para. Tempat itu yang sering dipakai keluarga untuk kumpul bersama pada saat senggang seperti sore ini.

 

“Elis, tadi mau cerita apa? Cerita sudah,” tanya bapa

“Begini bapa. Minggu lalu itu ibu guru Henny suruh tulis pengalaman. Saya ada tulis tentang pengalaman kemarin ke kampung,” jelas Henny

“Baik. Kamu tulis tentang apa?”

“Saya tulis tentang semua yang saya lihat di kampung. Tapi, judulnya saya ada tulis ‘Sa pu tanah tu subur.’ Karena, memang di Dogiyai itu sangat subur. Semua jenis tanaman sangat segar. Tidak perlu pupuk. Tanah alami yang sangat subur. Itu luar biasa,” ceritanya penuh antusias

“Elis, di Dogiyai itu tidak hanya tanah saja yang subur. Hal lain juga subur.”

“Maksud bapa?” tanya Elis tidak mengerti .

“Elis, nanti juga kamu akan paham.”

“Bapa, saya tambah tidak mengerti ini. Yang bapa maksud itu apa?” protes Elis.

“Elis, di Dogiyai itu, banyak hal sangat subur. Subur itu tidak hanya tanah saja. Kalau ada hal lain yang sangat diminati itu juga subur. Dogiyai itu sudah banyak orang dari luar yang minati. Bukan karena tanahnya yang subur saja. Tapi, pemerintahan itu juga subur. Subur dengan korupsi. Banyak uang rakyat yang tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Banyak uang rakyat yang hilang. Para pejabat itu suburkan dompet mereka saja. Sebenarnya, di Dogiyai itu tidak ada peredaran uang ditengah masyarakat. Hanya para pejabat saja yang rasakan uang milyaran itu. Rakyat Dogiyai selalu dijadikan objek.”

 

Bapa Andi diam sejenak. Gesekan dan lambaian daun kelapa yang terdengar. Mentari masih tersenyum di pojok Biak Barat.

 

“Dinas-dinas di Dogiyai itu orang tidak pernah masuk. Pemerintah tidak berjalan efektif. Tipu juga tumbuh subur. Jadi, pada saat badan pemeriksa keuangan (BPK) datang pemeriksaan tiap tahun, tidak pernah ada temuan. Padahal, laporan yang dibuat dari tiap dinas, badan dan kantor itu yang fiktif saja. Tipu saja. Tipu juga subur di Dogiyai.”

 

Elis mencoba mengikuti setiap kata yang dilontarkan dari mulut bapanya.

 

“Para pejabat di Dogiyai itu lebih percaya orang dari luar Dogiyai. Banyak anak-anak Dogiyai yang sangat pintar sedang nganggur. Tapi, pejabat dorang tidak pernah pake anak-anak daerah. Para penganggur itu butuh kerja. Penganggur sudah sampai ribuan orang. Pejabat lebih utamakan orang pendatang. Padahal, kabupaten Dogiyai itu datang untuk orang Dogiyai. Orang pendatang itu mereka jadikan Dogiyai sebagai dorang punya lahan yang sangat subur. Sehingga, jangan heran orang pendatang semakin kaya dari atas kitong punya tanah. Sedangkan kita sendiri semakin  tersingkir.”

 

“Ooh,” hanya kata itu mampu keluar dari mulutnya Elis

 

“Di Dogiyai itu penyakit sosial juga sangat subur.  Banyak skali anak-anak muda Dogiyai meninggal karena minum minuman keras. Sudah beberapa kali anak-anak mati bersama setelah dorang miras sama-sama. Selain miras, banyak anak –anak muda yang mati sia-sia setelah kena penyakit HIV/AIDS. Penyakit itu juga akibat karena Miras juga. Penyakit Miras dan penyaki HIV/AIDS itu sangat subur sejaku. Sedih sekali,” nadanya meredah

 

Ia tidak mampu melanjutkan kata-kata untuk bicarakan ‘suburnya’ tanah Dogiyai yang ia amati dari Biak. Ia mencoba menerawang mata ke langit. Disana ada sekelompok elang yang sedang  beterbangan.

 

Tidak terasa, sang raja siang sudah pergi ke paraduannya. Jelata malam sudah mulai lantunkan nyanyian malam. Jangkrik sudah mulai nyanyi. Katak keluarkan suaranya disambut dengung sapi di ujung lapangan.

“Miras itu tidak akan hilang dari Dogiyai dalam waktu yang dekat. Kenapa. Pejabat Dogiyai sendiri masih miras. Katanya, tahun 2009/2010 itu DPR dan Pemda Dogiyai sudah pernah buat Perda Miras. Tapi, pada saat pembasahan itu saja orang-orang yang sedang bahas itu mereka dalam keadaan Miras. Perda itu tidak bisa diterapkan. Karena, para pejabat dan DPR sendiri yang tukang mabuk.”

 

Elis mengangguk bingung.

 

“Setelah itu, tahun 2012 itu Pemda Dogiyai sudah bentuk Komis penanggulangan Miras. Komisi itu hanya ada nama saja. Tidak pernah bergerak. Selain miras, togel juga sangat subur di Dogiyai.”

 

“Banyak terjadi penjajahan di Dogiyai terhadap rakyat Dogiyai. Penjajahan para pejabat Dogiyai dengan berbagai cara secara tidak langsung. Penjajahan juga digencarkan oleh mereka yang sering dinamakan tokoh agama. Para tokoh agama selalu jajah rakyat Dogiyai dengan bertopeng agama. Ada banyak terjadi pembunuhan, penindasan karakter dan mental warga oleh aparat keamanan yang bertugas.”

 

“Jadi, di Dogiyai itu bukan tanahnya saja yang subur. Tapi, banyak hal yang negatif yang mengarah pembunuhan karakter, moral yang akan berakhir pada kematian untuk orang Dogiyai itu juga sangat subur.”

 

“Elis dan Jenny, mandi dan masuk belajar. Besok sekolah,” teriak mama dari rumah

“Ayoo, mama kamu panggil. Masuk mandi dan belajar,” kata bapa

 

Elis bingung. Muncul berbagai pertanyaan dalam pikirannya. Dogiyai yang ia kagumi ternyata menyimpan sejuta misterinya kehidupan yang mesti dipecahkan bersama.

 

“Memang, sa pu tanah tu subur,” katanya singkat sambil melangkah dengan langkah berat masuk rumahnya.

 

Tengah Malam,

Dogiyai

15 Agustus 2017

 

***

 

Philemon Keiya: Freelance Journalis dan Cerpenis asal Papua. Tinggal di Dogiyai.

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.