Gerakan Literasi Untuk Menata Pendidikan Kontekstual Di Papua  

Oleh : Rimba Kabak

 

Pendidikan di Papua tidak terlepas dari masuknya injil di Tanah Papua pada 5 Februari 1855 di Pulau Mansinam. Masuknya para zending penyebaran agama Kristen Protestan pada tahun 1855 dan misionaris penyebaran agama Kristen khatolik pada tahun 1833 di Papua Selatan.

 

Para misionaris dan zendeling membawa pengaruh besar pada perkembangan Pendidikan bagirakyat Papua. Pada masa awal-awal penyebaran agama penidikan di gunakan sebagai alat komunikasi bagi orang-orang Papua untuk dapat membaca menulis dan berhitung agar meneruskan atau menyebarkan ajaran agama keseluruh pelosok Papua.

 

Bacaan Lainnya

Pendidikan sekolah guru pertama didirikan di Pulau Mansinam sekitar tahun 1917-1918. Sekolah bagi calon guru adalah sekolah pertama dan dikhususkan untuk  murid pribumi saja. Disinilah letak perkembangan manusia Papua mulai berkembang dan mulai mengenal apa tujuan dan hakikat dari pada Pendidikan itu sendiri.

 

Berkat kehadiran misionaris dan dengan didirikan sekolah-sekolah. Telah memberikan dampak positif yaitu bagaimana melahirkan manusia-manusia yang berbakat dan mampu menyelesaikan persoalan dan mampu mendidik orang-orang Papua itu sendiri.

 

Latar belakang diatas penulis menjelaskan perkembangan Pendidikan awal mula di papua, akan tetapi penulis akan bahas lebih jauh membahas dalam artikel ini tentang perkembangan dan pendekatan Pendidikan yang sudah sedang dan akan berlangsung di atas Tanah Papua.

 

Poteret Pendidikan di Pedalaman Papua

 

Masuknya Pendidikan di pedalaman Papua terutama di daerah-daerah pegunungan tengah tidak terlepas dari penyebaran agama [injil] di masing-masing daerah untuk menyebarkan pendidikaan, para perintis tidak dapat langsung dengan mudah lakukan proses belajar mengajar karena orang-orang yang mendiami di daerah masing di pegunungan tidak menetap di satu tempat akan tetapi dengan tempat tinggal yang berbeda-beda sesuai dengan dusun mereka, disini ajaran agama sangat berperan penting dalam mengumpulkan semua orang yang hidup berkelompok-kelompok.

 

Dengan proses yang Panjang  pendekaatan injil dapat di kumpulkan dan disini titik dimana proses sekolah dapat di ajarkan. Para perintis ini juga dapat mendidik dan memanfaatkan anak-anak pemuda setempat yang dengan cepat dapat membaca dan menulis, mereka Kembali lagi menjadi guru bagi daerah dan kelompok setempat dan ada yang mulai membantu para misionaris dapat menjalankan tugas dan ada juga pemuda setempat yang menjadi penerjemah bagi para misionaris, hal itu memudahkan juga bagi para misionaris, jadi pada intinya bahwa agama dan sekolah masuk bersamaan.

 

Pendidikan di pedalaman Papuaperlu di programkan oleh pemerintah daerah masing-masing sesuai dengan konteks Pendidikan yang dapat sesuaikan dengan kehidupan masyarakat setempat.

 

Di pedalaman Papua, Pendidikan hadap masalah ala Pendidikan paolo Freire sangat tepat agar apa yang dapat diajarkan itu dapat membantu masyarakat setempat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Pendidikan model hadap masalah ini dapat dilakukan di bukit dua belas oleh Pendidikan yang dapat dirintis oleh Butet Manurungd kk(Sokola rimbah).

 

Metode yang dapat di ajarkan disana tidak di ajarkan dengan metode nasional pada umumnya tetapi metode dapat disesuaikan dengan kehidupan masyarakat di bukitdua belas.

Metode ajar dapat di temukan disana Ketika dapat di ketahui apa yang mereka inginkan. Metode semacam ini yang perlu kita terapkan di papua, lagi pula banyak masyarakat di pedalaman yang sama sekali buta huruf atau ada tetapi tidak tahu apa hakikat dari pada Pendidikan itu sendiri.

 

Padahal, seperti di atas di gambarkan bahwa Pendidikan terutama literasi dasar dapat bermanfaat bagi masyarakat di pedalaman untuk menunjang kehidupan sehari-hari terutama dalam acara-acara, ibadah pelayanan karena hamper sebagaian orang tua buta huruf.

 

Literasi dasar seperti baca tulis dan berhitung juga dapat dilakukan untuk  para orang tua, minimal bisa baca dan tulis.

 

Pentingnya Gerakan Literasi Bagi Generasi Pedalaman

 

Pada perkembangan manusia di seluruh dunia, tidak terlepas dari Gerakan literasi.  Literasi baca tulis dan menghitung merupakan hal paling dasar dalam perkembangan umat manusia di dunia. Paolo Freire menekan dan melakukan kegiatan literasi bagi masyarakat ada dan masyarakat marginal di daerah dimana iab erasal di Brasil. Ia, melakukan proses dan Gerakan literasi untuk bagaimana masyarakat setempat keliuar dari angka buta huruf yang membuat mereka hidup dalam penindasan dan kemiskinan struktral yang para penindas ciptakan.

 

Dalam konteks Papua, sangat perlu melakukan Gerakan literasi di setiap daerah pedalaman papua sebagai proses kemerdekaan bagi manusia setempat. Langkah utama yang harus dilakukan oleh generasi yang sudah tahu hakikat dari Pendidikan, kita harus menjadi garda terdepan dalam memaajukan papua melalui Pendidikan yang harus kontekstual dengan kultur dan kehidupan masyarakat setempat.

Pendidikan haruslah menjadi alat yang dapat mengubah suatu daerah yang mana kaya akan sumber daya ala mini [Papua].

 

Gerakan literasi ini sangat penting bagi setiap generasi muda karena  ini kegiatan Pendidikan yang sangat mendasar. Mulai dari  dasar Gerakan literasi ini yang dapat menentukan manusia  atau generasi muda Papua pada masa depan yang akan datang. Para fasilitator bisa membagi kelas dalam beberapa kelas untuk mempermuda dalam kelas mengajar bagi anak-anak usia dini sampai usia dewasa.

 

Untuk usia dini, bisa di bagi dalam lebih kepada proses pengenalan dan ke main-main dan proses pengenalan huruf. Dan pada usia dewasa yang sudah bisa dapat membaca masuk kelas literasi terapan  seperti mengambil bagian, memimpin rapat dan memetakkan apa yang perlu di bahas Bersama atau juga mengadvokasi suatu ketidak jika menghadapi masalah.

 

Pendidikan Kontekstual ala Papua

 

Sejarah Pendidikan kontekstual berkembang pada tahun 1916 oleh John Dewey. Dewey menyarakan kurikulum dan metode pembelajaran langsung dapat  dikaitkan dengan minat dan pengalaman kehidupan sehari-hari siswa. Dewey tidak menyetujui pemebelajaran di sekolah dengan kegitan  setiap individu siswa. Oleh karena itu,  model pembelajaran telah jauh berkembang oleh ahli-ahli Pendidikan dan bukan barang baru salah satunya John Dewey dengan metodenya Learning by doing.

Kemudian pada era tahun 1970-1980 lebih dikenal dengan applied learning, pada tahun 1990-an model kontekstual ini dikenal dengan school to work. Kemudian pada era tahun 2000-an, model kontekstual ini lebih efektif digunakan (http://education-mantap.blogspot.com/2010/08/sejarah-pembelajaran-kontekstual.html). Pemikiran yang lain juga adalah pemikiran Paulo Freire di Brasil yang menekan Pendidikan dengan metodenya Pengajaran hadap masalah atau lebih kepada Pendidikan yang memanusiakan manusia dalam jurnal yang di tulisoleh  (“Moh. Zaini :Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Budi Utomo Malang”).

 

Pada perkembangan era digitalisasi saat ini kita perlu dapat menyesuaikan diri deengan perkembangan dunia namun kita tidak boleh kehilangan Pendidikan yang mengajarkan tentang identitas sebagai manusia Papua.

 

Dalam buku yang berjudul Sekolah Bermata Runcing, di tulis oleh Butet Manurung dkk yang merintis sekoalah Rimbah [Sokola Institut] menekan bahwa Pendidikan harus kontekstual dengan masalah dan kehidupan daerah setempat.

 

Pendidikan dilakukan harus memahami masalah dan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat adat terutama. Di Papua, kita memilki banyak masalah, kendala terbesar Pendidikan di Papua tidak menjawab persoalan Papua karena pendekatan dan metode yang di tetapkan oleh pusat tidak tepat sasaran atau tidak sesuai konteks.

 

Sebentara, angka buta huruf di Papua sangat tinggi, ini satu masalah yang perlu kita benahi terlebih dahulu. Kita tidak bisa serta merta langsung menerapkan metode yang mana harus ikut keinganan Jakarta.

 

Masalah kita sekarang adalah masalah “Tingginya angka Buta Huruf di Papua”. Mengklirkan masalah buta huruf terlebih dahulu, yang paling terpenting adalah tahu dulu apa hakikat dari pada sekolah itu sendiri. Untuk apa, kenapa untuk siapa saya harus sekolah. Inipertanyaan kecil yang perlu di jawab oleh para pengambil kebijakan dan menerapkan system dan metode yang kontekstual dengan kehidupan dan masalah orang Papua, Ketika mereka sekolah, mampumemecahkan persoalan dan ikut serta dalam memajukan dunia melalui Pendidikan.

 

Pendidikan dalam konteks Papua ini, dapat lebih kepada metode dengan konteks kepapuaan. Konteks ini dapat disesuaikan dengankondisi daerah masing-masing. Bagaimana dapat mendidik generasi untuk mengetahui sejarah asal-usul masing-masing dan inidapat di dokumentasikan dalam bentuk buku dan lain-lain. Lain hal juga adalah, sekalipun dapat belajar ilmu-ilmu yang sesuai dengan pada umumnya tetapi siswa mampu dapat di kontekskan dengan budaya  masing. “ Sekolah tidak harus seragam” kalimat ini yang dapat di tuliskan atau di katakan oleh pendidiri sekolah alternatif di Jogjakarta. Sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM JOGJA).

 

Kesimpulan

 

       Menurut pemikir Pendidikan di dunia Paolo Freire menekan bahwa Pendidikan medel bank (Banking Sistem) dapat membuat siswa yang sebetulnya aktif tetapi membuat pasif terlibat dalam kondisi sosial yang tentunya harus terjun di dalamnya.

Karena pada dasarnya setiap kita yang sekolah atau berpendidikan setelah selesaiakan berhadapan dengan masyarakat lebih luas yang tentunya banyak masalah. Hal serupa juga yang mendorong Butet Manurung dkk. Mendirikan Sokola Rimba (Sokola Institut) yang sudah ada di beberapa daerah di indoensia juga sama hal dengan sekolah alternatif di Jogjakarta (Salam Jogja).

 

Bagi papua sangat penting untuk perlu mendorong Pendidikan dan metode seperti ini agar siswa anak-anak genarasi muda Papua yang dapat bersaing dengan anak-anak di daearah lain.

Professor Surya mengatakan bahwa tidak ada anak yang bodoh hanya setiap anak membutuhkan guru yang baik dengan metode yang tepat. Papua butuh guru yang baik dengan metode yang tepat untuk menjadi Mutiara dari ufuk timur tanah Papua.

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.