Orang Su Farek Deng Korona?

Koordinator Kosapa Hengky Yeimo saat divaksin Perdana - Doc. Kosapa
Koordinator Kosapa Hengky Yeimo saat divaksin Perdana - Doc. Kosapa
Oleh : Hengky Yeimo
Meski di media masa TV, Koran, Radio, pemerintah terus mengampanyekan agar semua pihak untuk tetap mematuhi protokol kesehatan [Prokes], yakni jaga jarak, pakai masker, dan tetap mencuci tangan.
Di penghujung Mei 2021 sebagian besar penduduk di Nabire, yang tidak menggunakan masker, jarang mencuci tangan. Di tempat tempat umum juga sudah tidak ada bak air untuk masyarakat mencuci tangan, kesadaran bermasker juga sudah mulai minim. Dan banyak masyarakat juga yang melakukan aktivasi selayaknya tidak ada COVID-19.
Stiker stiker di pasar sudah mulai terkelupas karena terkena hujan. Ada juga stiker berupa pemberitahuan prokes terpampang begitu saja. Ada masyarakat yang membaca ada yang melihat begitu saja. Ada juga yang apatis terhadap situasi itu.
Pradigma COVID-19
Di kalangan masyarakat memandang Pandemi COVID-19 sebagai wabah yang biasa. Hal itu muncul dari pernyataan seperti, “Orang Papua itu kebal COVID-19, karena kulit hitam.” “Wabah COVID-19 hanya untuk mereka yang kulit putih.”
Pernyataan pernyataan ini menjadi satu alasan kuat untuk masyarakat agar mereka tidak mengikuti Protokol Kesehatan [Prokes]. Dan mereka semakin apatis dengan wabah yang mendunia dan memakan jutaan korban di seluruh Dunia.
Pertama, imbas dari Oknum Oknum satgas COVID-19 yang melakukan Korupsi. Membuat masyarakat semakin tidak percaya akan adanya COVID-19. Karena adanya ketidakadilan dalam penyaluran bama.
Kepercayaan masyarakat kepada satgas COVID-19 luntur. Ini akan berdampak pada imbauan satgas COVID-19 kepada masyarakat. Tetapi dengan munculnya pemberitaan krisis mengenai Pandemi COVID-19 di India semoga meneguhkan hati masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan.
Kedua, kesiapan mematuhi ptokes di awal pandemi masih dan sangat kompak. Lama kelamaan tidak semangat mengendor.
Artinya,Mental untuk melawan wabah dunia, masih belum siap. Artinya belum menyadari ancaman kematian di hadapan mata dalam jumlah yang banyak. Disisi lain OAP selalu berhadapan dengan kematian perlahan (slow dead) kekerasan, pembunuhan dsb. Artinya ancaman kepunahan di depan mata.
Ketiga, dalam kondisi terhimpit waraga justru dengan seksama mencari alternatif lain untuk menghadapi ancaman krisis pangan di saat pandemi COVID-19 merajalela. Untuk bertahan hidup bisa. Namun terhindar dari wabah apakah masih memungkinkan?
Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.