“Selain perut butuh makan, Otak juga perlu serapan pengetahuan. Membaca banding menulis harus merata”.
Jayapura, KOSAPA – Setelah belajar menulis dari wartawan Tabloid Jubi Hengky Yeimo yang kerap disapa kerap disapa Akapakabi dan dikenal sebagai kordinator penerbit (Ko’Sapa) Komunitas Sastra Papua itu, aku sudah menulis beberapa cerpen, Puisi, Artikel/Opini di media Suarameepago.com dan Ko’Sapa. Aku janji, akan kutulis namanya sebagai guru besarku ketika aku hendak terbitkan buku ceritaku kelak. Tak lupa juga Sesilius Kegou, lelaki lembut berjiwa kader itu. Ah, sayang motivator terhebatku. Aku kenal dunia literasi dari mereka.
Sekarang setiap moment musti abadi. Minggu ini Ependi, lelaki tampan tinggi gagap yang takut ketinggalan dari waktu yang bergulir cepet itu terlihat sibuk. pandangku. Jalan urus ini, urus itu hingga tak pikir dirinya sendiri. dia benar-benar berjiwa kepemimpinan yang memiliki kepribadian dan krakter yang cukup memuaskan anggotanya dengan semua tanggung jawabnya. Kali ini tingkaku yang pingin tahu, kenapa sibuknya ini sedikit tak tenang.
“Kaka sibuk ka?”
“Iya ade, saya sibuk. Sibuk kejar waktu dari semua perlengkapan yang perlu saya siapkan hari ini. kegiatan pelatihan kan besok” Jawab Ependi kelihatan sibuk.
“Oh, kegiatan apa kaka?” tanyaku. Tidak heran, manusia banyak tanya. Hahaha.
“Pelatihan Jurnalistik. Pemateri, Kaka Bastian Tebai,” balas Ependi.
“Kaka Bastian Tebai yang mana kaka,” tanyaku lagi
“Itu, kaka Bastian, Penulis buku (Aku peluruh Ketujuh). Jumaat dia akan tiba di Jayapura dan organisasi RPM Simapitowa telah sepakat untuk terima materi darinya hari sabut. Pelatihan ini persiapan cetak Majalah Metro Papua yang ketiga, rombak ketiga ini pemimpin redaksinya teman saya, Pr. Florentinus Tebai. Mahasiswa STFT Fajar Timur” Jawab Ependi seraya menjelaskan sisi yang aku tidak tahu. Yang aku tidak paham sama sekali, seraya memotong ribuan tanyaku.
“Oh, kaka saya boleh ikut pelatihan ka?” Tanyaku dari niat belajar.
“Boleh saja ade, disana kita akan praktek menulis dipandu oleh kaka Bastian sendiri.” gumar Ependi tersenyum tipis.
“Siap kaka” jawabku singkat saja.
“Asyik, saya dapat kesempatan belajar menulis,” teriakku dalam hati. Gembira sekali.
Kini hari sabtu, Tengah di nanti menjelang pagi. Tergopoh gopoh sebagian anggota RPM Simapitowa berlari, nafas tinggal setengah kasih. Mau apa lagi, aku tidak lihat jejak kakinya hingga ujung penuh tintah. Muka pucat seluruhnya akibat belum tidur semalam menguras imajinasi, ada yang “baca buku” menyerap pengetahuan hingga pagi.
Jam dinding telah menunjukan tepat pukul 8:30 wit. “Loncky, ayo.kita pergi. Pelatihan jam 9: 00 wit akan dimulai.” Pagi, ajakan Ependi buru waktu.
Setelah mengendarai motor Metic merek Soul warna biru milik Ependi melitas bukit Skaylane dengan jarak 5,40 km dari waena ke kota raja Abepura. Merebahlah aku di pangguangnya, lalu tuntunlah aku dengan prakrap tua dari setiap gagasannya. Sebagai kerinduaanku selama ini, segala menjelma pekah sampai pujaan raba pikiran. Senang sekali.
Aku hanya bisa menggantung harapan setinggi langit yang tingginya tiada ujung demi menulis. Begitu banyak aku memohon , cukup banyak pula air mata yang menetes ketika berdo’a agar Tuhan pertemukan aku dengan seorang penulis yang bisa menanduku menulis. Tidak ada hasil aku hidup jika memang Tuhan tidak ijinkan aku berkayal walau seditik saja untuk belajar menulis kepada penulis. Aku ingin angkat pena setelah belajar menulis. Aku ingin jadi penulis seperti kaka Akapakai Yeimo.
“Sesilius, tetap jadi motivator untukku”
Tumpuan harapan yang telah karat sekian lama, pagi ini terwujudkan. Kini aku mulai coba netralkan suasana. Untuk belajar menulis aku masih bisa bersahabat dengan situasi. Aku akan jadi pendengar setia dalam materi yang dipaparkan oleh laki-laki “Mee” Papua yang cukup pandai menulis Artikel/Opini, Cerpen, dan puisi.
Bastian nama anak muda Mee itu belum pernah aku jumpa sekali pun. Hanya lewat pesan messenger tapi aku cuma kasih stiker, lambaikan tangan saja. Takut mengganggu aktivitasnya nanti jika aku balas. Nama aslinya adalah Topilus B. Tebay. Bulan lalu dia mengabarkan buku karyanya yang kedua, walakin 15 kumpulan cerpen karyanya akan terbit. Judulnya singkat; Newangkawi.
Nemangkawi adalah bahasa amungme yang menyebutkan puncak gunung yang mereka sucikan sekaligus sakralkan. dengan kata lain Newangkawi adalah panah suci perdamaian.
Ironisnya, gunung suci yang sakral itu kini seperti jeruk tanpa isi “menganga” yang telah digeruk emasnya. Kacamata socialnya, rakyat di pegunungan Amungme dataran Kamoro ini hidupnya begitu-begitu saja.
Sekali pun PT. Freport telah lama berdiri kisar geruk emas, batu bara disana, rakyat pemilik hak wilayahnya muda dikatakan miskin harta dan miskin pengetahuan. Terlantar habis. Bukunya itu menjadi kado terindah di suasana pelatihan jurnalistik menggemparkan peserta yang hadir.
***
Aspek menulis, Semoga nurani kecil berdesis haru mengenal dunia antara lisan dan tulisan memuaskan setiap jiwa. RPM Simapitowa menulis dengan hati mampu meminum sukmaku dari gelasnya. Menuliskan roh dan jiwaku dari imajinasinya, “that is my big hope.”
Tahap paparan materi sedetik yang lalu sudah usai. Suasana pelatihan Jurnalistik kni cukup tenang dan ramah. RPM Simapitowa menulis dengan hati. Pesarta mulai hitung dari satu sampai depalan, aku terhitung perseta ketuju dari lima puluh lebih anggota RPM Simapitowa yang hadir ikut pelatihan. 50 an lebih peserta pelatihan itu dibagi perkelompok sesuai nomor hitungan hingga terbagi delapan kelompok. kelompokku ada, Ella, Anton, Nover, Lamek, dll.
Suasana hening sejenak bertanda praktek menulis telah mulai. Ketika itu pengusungan bagan menulis Opini di suruh susung langka-langkanya dengan benar, mengandung analogi tepat. Presentasi perkelompok kemudian.
“Bagaimana kepala suku menyelesaikan masalah ketika ada masalah??”, tanya Lelaki berpostur kode sedikit, berjengkot tipis itu sementara tengah memandu seluruh anggota RPM Simapitowa menulis.
Kelompok yang sana jawabnya ini. yang sini jawabnya itu, banyak jawaban, Aku jadi bingun ketika itu. Aku cobah tanya ke perempuan Mee tanpa make up yang duduk tidak jahu dari Anton. Dia benar-benar cantik, poster tubuhnya juga langsing dan bingar bola matanya yang memikat setiap lelaki pada umumnya;
“Adik Ella, ko bisa bikin bagan begitu kah?”
“Ado kaka, saya tidak tau skali soal itu!” jawab Ella.
Tanyaku lagi, “Baru, Anton, Nover, Lamek, kamu tiga bisa bikin kah tidak?”
“Anton, Nover dll, diam saja tanpa kata”
Lamek, “bah kaka tahu baru, jangan pura-pura tidak tau sudah.”
Jawabku, “Ah, betul ade Lamek, saya tidak tahu skali soal ini, demi.”
***
Aku benar-benar tidak tahu, kalau ‘membaca adalah hikmah yang menghasilkan buah pengetahuan yang luas dan keilmuan yang begitu dalam, kecerdasan serta kesadaran diri yang penuh. Dan menulis merukan penelitian yang cukup menyeluruh dan percobaan yang teruji matang, pengamatan terhadap keterkaitan antara satu perkara dengan yang lain, dan analogi yang dominan antara suatu hal dengan yang lainnya.
“Tentu saja semua penulis akan mati. Tapi dibalik kematiannya itu karyanya akan tetap abadi. Maka tulislah sesuatu yang membahagiakan diri di akhirat nanti. Berjanjilah, aku akan terus membaca dan menulis.”
Saat angan entah kemana, pikiran sudah kuterbangkan. Kini seakan aku duduk tanpa raga dalam suatu ruang yang cukup luas, rasaku. Di antara 50 an lebih peserta pelatihan, semua gagasan “Bastian” Cerpenis muda Papua ini berhamburan. Dia bagi pengetahuannya untuk menuliskan jejak yang telah dan akan kita jalani dengan keluh-kesah. Tentang kita, mari angkat pena demi tanah air dan manusianya.
Dasar-dasar teknik kepenulisan terpapar jelas di tengah-tengah 50 an lebih peserta, tentu itu sudah melampaui tingka pemikiran. Yang jelas semua paham.
Kali ini nasehatnya yang menginspirasi pribadiku, mungkin juga semua. Dia bilang, ”kamu orang-orang hebat! Lakukanlah hal-hal yang mendatangkan kebaikan bagi agama dan tanah leluhur kalian. Terus mengasa otak hingga kamu mencapai puncak keabadian dalam suatu karya. Jangan pedulikan omelan dan cacian orang, Sebab tidak akan pernah ada jalan untuk membuat mereka semua lega dan terima. Tidak akan ada pula cara untuk menyatukan hati mereka.” Kita hendak berkarya.
Kaka, bagaimana caranya menjadi seorang penulis. Aku tanya kaka Bastian dengan rendahnya hati dalam suasana pelatihan.
Kaka Bastian jawab, “Ade pernah menulis atau membaca ka tidak”
Jawabku, “Jujur, tidak pernah sama sekali kaka”
Jawab kaka Bastian lagi, “Untuk hasilkan karya yang bagus, ade banyak menbaca, ini tips bagus untuk menulis.”
Jadi, satu hal yang perlu diketahui oleh ade-ade sekalian adalah, menulis bukan langsung menulis tapi baca dulu lebih banyak bukunya. Sebab idealiasme hanya dimiliki oleh seorang pembaca buku yang hebat.
Kekhasan atau kebiasaan menulis bukan dibentuk oleh aktivitas menulis, melainkan oleh aktivitas membaca. Banyak penulis-penulis hebat yang menulis tidak ada kaitannya dengan keberuntungan mutu menulis. Baca dan menulis saja, tidak usah ragu. Salah, ulang lagi to.
Ibiroma Wamla, pendiri Komunitas Sastra Papua (Ko’Sapa), dia tulis di majalah dinding yang sudah popular akhir-akhir ini kan, dia bilang; “Setitik barah api bisa membuat api yang besar, sebuah buku mampu menyerap pengetahuan yang cukup luas. Pasang api, baca buku. Keduanya memiliki proses yang sama, jadi kamu jangan lupa baca buku terus menulis eee”
Tidak mengerti tapi ini yang telah aku lalui, selalu dan selalu semesta dengan segala kerinduan sudah tunai. Bahan bacaan tidak mesti berupa teks atau wacana. Dia berbentuk gambar atau lukisan. Alam seisinya merupakan bahan bacaan yang senantiasa sangat menarik perhatian, kemudan kita abadikan dalam tulisan. Unik ya!
Menikmati sisi terpuruk dengan senyum keabadian terus bermain pena menuang imajinasi, menahan tangis yang seolah olah berhenti berderai untuk menguras berbagai ide dari rasa yang tersirat. “kami punya foto di jembatan merah dan perjalanan kita kemarin dengan Afiq, Zaver, Thina, Lamek, Nella, Meu dan Andy itu juga bisa jadi sebuah tulisan. Asyik to.”
***
Kali ini aku bandingkan dengan aspek keterampilan berbahasa yang lain, seperti membaca, berbicara, dan mendengarkan. Aspek menulis dan keterampilan berbahasa yang paling rumit dan sangat penting. Sering membosankan merumitkan ketenangan dalam merakit kata. Kadang pula rasa malas merugikan waktu untuk merangkai sebuah kalimat.
Sesekali kembali ke lorong kecil yang akhir ini tidak ada penghuni. Yang tengah aku tempati sekarang telah membanjiri terjang lumuran darah bukannya tintah, mendekap diri dan kembali bernafas terbata bata tanpa nada. Jika menulis ini berkaitan dengan nilai-nilai keabadian dan kebaikan bisa mengangkat dimensi kemanusian dan ketuhanan. Aku ingin menulis sesuatu yang membuatku merasa diri bahagia kelak di akhirat. Bukan hanya menguraikan sesuatu yang akan membuatku berduka dan tidak layak di kenang.
Tentang kita, senjata api terus berapi-api jika teriak. Tidak berarti diam, juga percuma kembali, trus berjalan. duduk di rasa kenyamanan tidak berujung di analogi. Perihal mencari terang sudah tak lagi terbayang.
“Hupsss. Kapankah lagi literasi di tanah Papua kita bangun. Teriak dalam tulisan”
Aku akan ingat pesan ini, “Penulis profesional adalah pembaca buku yang hebat,” ya paling tidak untuk menulis catatan harianku. Salam literasi.
Penulis Loncky H. Makay, Mahasiswa UNCEN, jurusan Administrasi Publik. Ia juga pernah menulis beberapa cerpen, opini/artikel di media online suarameepago.com