Oleh : Soleman Itlay *)
Pada 17 Agustus 2021, peringatan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia ke-76 ini, saya mengigat kembali aksi MEMBELAH NKRI, PANCASILA, DAN [AHOK] pada Senin, 15 Mei 2017. Saya sangat senang karena bapa uskup Jayapura, selaku ketua PGGP (Persekutuan Gereja-Gereja di Tanah Papua) pimpin aksi tersebut di kantor gubernur dan DPR Papua.
Tanah Papua pada waktu itu masih berduka pasca 4 pelajar di Paniai dilaporkan tewas pada Desember 2014 dengan bedil-bedil yang hingga saat ini belum diketahui pemiliknya atau dari mana asalnya.
Per awal Mei, peristiwa yang paling menarik perhatian sekaligus menyita dan menyiksa empati semua orang di Papua adalah konflik bersenjata di areal Freeport yang melibatkan TNI/Polri dengan TPNPB/OPM.
Kemudian mengakibatkan masyarakat sipil di daerah Banti yang sering melakukan pendulangan emas dievaluasi oleh pihak berwenang dengan dalil keselamatan hidup (nyawa).
Sedangkan isu di tingkat nasional masih dihantui dengan penistaan agama yang diucapkan oleh gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok kepada agama Islam.
Front Pembela Islam (FPI) pada waktu itu melaporkan dan mengawal persidangan di pengadilan agama Jakarta. Mereka meminta Ahok harus diadili dan dihukum penjara.
Gelombang dukungan terhadap FPI muncul dari seluruh Nusantara. Seolah-olah FPI membelah agama. Seperti halnya juga kaum Nasrani yang lain membelah agama yang dianutnya atas nama Ahok.
Semua orang bingung membaca arah dan kepentingan dibalik bentangan dinamika sosial, politik, Agama dan lainnya.
Tetapi apa yang saya ingat pada waktu itu adalah hanya nama seorang Gur Dur. Kemudian mengenang karena semakin dihangatkan dengan nasihatnya: agama dan Tuhan tak perlu dibelah”.
Mengingat itu, saya langsung pikir soal bagaimana dengan kita membelah NEGARA, PANCASILA DAN AHOK? Saya ingin meminta pendapat kepada Gus Dur, yang paling dicintai oleh orang Papua itu.
Tetapi sayang dan sedih. Karena dia tidak ada.
Sudah lama menghadap, entalah Bapa yang diyakini Romo Mangun atau saya pada batas usia, waktu dan masa yang berbeda atau memang Tuhan yang lain istilah bagi saudara-saudara di seberang.
Pada hari Minggu, 14 Mei 2017, saya ikut misa di gereja katolik, paroki “Kristus Terang Dunia” Waena. Pada misa pertama lagi. Dan itu orang tahu pagi sekali.
Dalam pengumuman, Yang Mulia, bapa uskup mulai mengumumkan melalui dewan paroki setempat. Bahwa dia mengajak umat untuk berpartisipasi dalam aksi yang bertajuk “MEMBELAH NKRI DAN PANCASILA”.
Tetapi agenda lain yang tidak berhubungan dengan tema, juga yang terselubung adalah untuk membelah Ahok yang dianggap pahlawan sejati umat Nasrani di Indonesia.
Saya menyaksikan bagaimana keluarga korban dari beragam peristiwa di Papua yang datang dan ikut misa saat itu. Mereka sangat kaget, gelisah, marah, sedih dan lain sebagainya.
Saya yakin kalau ada, atau ada tapi keluarga korban Paniai Berdarah, Wamena Berdarah, Biak Berdarah, Wasior Berdarah, Abepura Berdarah, Waena Berdarah dan lainnya diam saja, pasti dalam hati akan menangis di dalam gereja itu.
Awalnya saya datang dengan gembira, senang hati, dan sukacita untuk berdoa, bersyukur dan memuji Tuhan dengan harapan pulang dalam damai Tuhan.
Tetapi pengumuman itu mengubah suasana hati. Akhirnya saya dan sebagain keluarga dekat dengan para korban, baik migran dan pribumi katolik pulang dengan tangan rasa aneh, bingung, sedih, kecewa dan lainnya.
Saya sangat senang karena pimpinan gereja katolik dan Kristen di tanah Papua, yang tergabung di dalam Persekutuan Gereja-Gereja di tanah Papua serta kota Jayapura menunjukkan diskriminasi rasial dalam postur gereja masing-masing.
Soal membelah NKRI dan Pancasila serta UUD 45 wajar saja. Sebab setiap warga negara yang baik, termasuk para pastor, pendeta dan Uskup mempunyai tanggung jawab moral untuk menjaga keutuhan negara di tanah Papua.
Tetapi kalau topiknya membelah negara tetapi dihubungkan dengan Ahok yang tidak punya hubungan dengan tajuk demonstrasi, saya kira perlu “diapresiasi” dan disesalkan akan kepintaran para pemuKa agama di Papua yang mengatur strategi sedemikian rupa.
Saya angkat jempol karena Yang Mulia bersama para pimpinan agama di Papua, khususnya di kota/kabupaten Jayapura berani menutup mata orang-orang–umat/jemaat yang ada di depan mata.
Bahkan membisukan suara kenabian terhadap korban Paniai dan pengungsi di kampung Banti dan sekitarnya pada saat itu.
Saya sangat senang karena kobaran semangat untuk membelah negara mampu meninggalkan empati kemanusiaan di depan mata–di depan belakang tokoh-tokoh agama dan gereja disini.
Ahok pada waktu itu berada di Jakarta dengan jarak tempuh dengan Papua berkisar 3.463 kilo meter. Sedangkan korban Paniai Berdarah dan lainnya, serta sebagian keluarga dari pengungsi dari kampung Banti dan sekitarnya yang lain ada di depan kita.
Pada hari Senin 15 Mei 2017 lalu, saya ikuti betul. Mama-mama Papua yang jualan di emperan jalan buka mata lebar-lebar. Pelajar dan mahasiswa yang kesulitan bayar biaya, dan putus sekolah sekalipun mondar mandir disana sini.
Saya lihat seorang ibu asal Anggruk, Yalimo, pedalaman Papua, yang sedang berjualan di depan tokoh krans bunga di jalan masuk Universitas Sains dan Teknologi Jayapura (USTJ).
Dia sedang berjualan pinang di depan tokoh milik para migran dengan menahan terim matahari, menahan keringat dan sambil menyusui bayi yang sedang menggendongnya di samping.
Nasib ibu ini sama dengan perempuan Tabi satu yang berjualan pinang di depan Auditorium Universitas Cenderawasih (Uncen). Nasib mereka dua ini sama dengan perempuan lain yang jualan sepanjang jalan raya Abepura–Jayapura.
Sebagian senang karena pimpinan agama dan gereja turun langsung di jalan. Pimpin masa berjalan kaki dan kendaraan dari Sentani, Abepura, Entrop, Polimak, APO dan dok dua JayapuRa kota.
Mereka sangat senang karena pimpinan agama dan gereja disini baru satu kali membelah agama dan Ahok atas nama atau dengan dalil membelah NKRI dan Pancasila di tanah Papua secara terang-terangan–siang bolong.
Saya langsung ingat Firman Tuhan tentang selumbar balok di mata (Matius 7:3): “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui”.
Saat itu saya ingin palang jalan dan menghadang uskup Jayapura sendiri di tengah jalan.
Tujuan saya pada waktu itu adalah tahan bapa uskup baru bertanya: bapa uskup bisa kah tidak, kalau pimpinan aksi demonstrasi damai seperti ini untuk korban Paniai Berdarah, pengungsi Bantu dan lainnya di tanah Papua, mama-mama Papua yang jualan di pinggir jalan, anak-anak yang nyaris putus sekolah dan nanggur dlsb?
Tapi saya takut lagi, karena takut dipukul, dan dikeroyok oleh masa aksi. Saya kemudian memilih diam karena sangat senang melihat bapa uskup membelah negara pada saat orang Papua lebih membutuhkan pertolongan konkrit darinya.
Saya memilih menjadi bodok karena pada saat itu bapa uskup membelah Indonesia di bawah matahari pada saat korban Paniai Berdarah dan lainnya sedang merindukan gembala, suara kenabian, keadilan dan perdamaian.
Disisi lain saya melanggar Yakobus 7:14 yang mengatakan: “jika seorang tahu bagaimana ia harus melakukan, tetapi tidak melakukannya, maka ia berdosa”.
Saya melanggar ini pada satu sisi karena dogma gereja katolik mengajarkan saya agar selalu setia, tidak mengingatkan, menegur dan mengkritisi para klerus. Karena mereka adalah wakil Allah.
Sungguh pun salah dan dosa melampaui langit dan bumi, umat diharuskan diam seribu bahasa. Karena dogma gereja katolik “melarang umat melawan dan protes pastor dan uskup”.
Karena bagi gereja katolik, melawan mereka sama halnya dengan orang melawan Tuhan. Membelah negara atas nama agama dan Ahok sekalipun, saya harus diam karena itu uskup lakukan dengan “rahmat Allah”.
Saya pun tidak heran apabila pada belakangan ini gereja katolik di Papua harus mengucap syukur Hari Kemerdekaan Indonesia hingga mengibarkan bendera di halaman dan di dalam gereja katolik.
Bahkan diatas luka, kesakitan, penderitaan, dan tangisan orang Papua. Saya akan selalu hormati pimpinan gereja dan agama di Papua yang aktif melakukan beragam kegiatan dalam menyongsong dan merayakan 17 Agustus setiap tahun.
Sangat bersyukur jika pada hari ini, atau dalam Minggu ini ada yang membelah negara pada saat umat di tanah Papua sibuk membelah Victor Yeimo dan mengharapkan suara kenabian bagi masyarakat sipil di Nduga, Intan Jaya, Puncak, Serambakon, dan lainnya.
Terimakasih banyak bagi pimpinan gereja-gereja di tanah Papua yang mengibarkan bendera merah putih untuk merayakan ulang tahun Indonesia yang ke-76.
Terimakasih banyak juga jika melupakan orang Papua, baik migran dan pribumi pada saat mereka membutuhkan pertolongan untuk menunjukkan bahwa Indonesia benar-benar merdeka di tanah Papua.
Terimakasih banyak karena selalu saja ada diskriminasi rasial dalam postur agama dan gereja-gereja di tanah Papua, khususnya gereja katolik di tanah Papua.
Dirgahayu RI ke-76. Tapi Indonesia belum benar-benar merdeka di tanah Papua. Sekalipun juga ada Otsus Papua, pasang serta berbagi Bendera Merah Putih dengan dana yang sangat besar jumlahnya dimana-mana.
Semoga itu bukan kebijakan, dan nasionalisme semu. Semoga saja membagi/menerima bendera atau membelah negara dengan kesadaran penuh. Bukan karena desakan, uang apalagi paksaan. Tuhan Yesus Memberkati.