Oleh :Mecky Tebai
( Sebuah Renungan Bagi Generasi Abal-Abal Yang Belum Menjadi Manusia Seutuhnya)
Saya sebagai generasi milenial Papua yakni mempunyai warisan leluhur yang kaya terutama dari aspek budaya. Menulis ini seakan saya (Penulis) seperti menghakimi diri sendiri sebagai generasi akan tetapi secara langsung berbagi pemahaman kepada generasi milenial saat ini. Sebuah ungkapan ini, untuk mengajak kita agar memahami betul-betul kita berada pada dunia tidak baik-baik saja.
Dalam promblematika budaya dewasa ini, Papua mempunyai kekayaan budaya yang sangat dikagumi oleh dunia. Memahami seluk-beluk budaya yang berkembang di Papua tidak harus dari satu sisi, dia harus mengalir. Mengenal Papua, kita tidak terlepas dari 7 wilayah adat yang ada di seluruh teritori Papua.
Kita juga bisa mengenal tradisi-tradisi yang sudah berkembang dan yang sudah punah dan ada lagi yang baru beradaptasi dari luar. Polemik generasi saat ini tidak terlepas dari unsur budaya yang melekat. Bagaimana generasi mempertahankan sesuai sabda leluhur? Ataukan generasi mengabaikannya seperti candaan belaka dan apakah generasi sudah terobsesi dengan budaya asing? Sebuah bahan dasar kontemplasi antara invididu sebagai generasi yang layak.
Budaya asing merupakan budaya yang berasal dari wilayah adat lain, contohnya budaya barat yang berasal dari negara-negara di benua Eropa, Amerika, Australia, ataupun negara-negara yang identik dengan “kulit putih”. Ada juga budaya timur yang identik dengan negara-negara yang berada di Asia Barat, Papua, dan sebagian pulau yang berbeda ras dengan kita. Meskipun budaya asing yang masuk ke Papua membawa pengaruh positif, akan tetapi ada juga pengaruh negatif yang diakibatkan oleh budaya asing tersebut. Pengaruh negatif budaya asing yang masuk ke Papua menyebabkan keguncangan budaya (cultural shock).
Sejauh mata memandang, pengaruh budaya asing yang masuk ke Papua menyebabkan guncangan budaya (cultural shock). Guncangan budaya yaitu masuknya suatu budaya baru ke dalam budaya lain di suatu negara ataupun wilayah sehingga menyebabkan adanya perubahan mendadak dalam budaya yang ada di wilayah tersebut. Budaya asing yang masuk ke Papua menyebabkan perubahan nilai-nilai budaya yang ada sejak nenek moyang.Selain itu, budaya asing menyebabkan lemahnya budaya dalam negeri karena masyarakat khususnya kalangan muda, lebih tertarik dengan budaya asing dibandingkan dengan mempelajari budaya dalam negeri.
Ada beberapa analisa yang perlu kita gali agar generasi kita tidak salah memahami dalam menjaga koteka agar tidak punah dalam peradaban manusia papua Khusunya di wilayah pegunungan. Mengapa demikian karena tiap generasi mempunyai cita-cita luhur yang sudah seharusnya diterapkan namun gagal paham generasi mulai bertambah.Budaya juga berbicara tentang moderniasi yang meluas. Baik, buruknya suatu kebudayaan bermunculan. Semua tergantung sikap kita menanggani keberadaan budaya asing itu sendiri.
Merasakan dilemah koteka yang berkembang piluh dalam negeri, seakan generasi ibarat gila dalam keadaan sadar. Begini ada beberapa hal yang perlu kita ketahui dalam menjalankan visi perlawanan untuk memboikot koloni. Salah satunya dalam menanggalkan hal-hal yang berkaitan dengan segala macam bentuk penindasan kolonial. Ada beberapa hal yang perlu dijabarkan dan dipahami oleh khayalak bahwa;
- Membusanakan Pakaian; Upaya Meng-Indonesiakan Masyarakat Koteka Di Jaman Orde Baru
Sedikit bercerita. Pertama, sebagai generasi milenial yang mempunyai warisan leluhur budaya dengan segala kekayaan estetikanya.menerjemakan bahasa ini, sebenarnya agak susah dan serasa gagal dalam menjalankan visi leluhur itu sendiri.
Koteka adalah sebuah pakaian tradisional sebagai pembungkus alat kelamin pria. Koteka terbuat dari buah labu yang bentuknya panjang. Isi buahnya dibuang lalu kulitnya dibakar dan dikeringkan, sehingga berwarna cokelat kehitaman. Koteka digunakan oleh orang-orang yang tinggal di wilayah pegunungan. Namun sayang, kini diyakini koteka terancam punah.
Sejarah mencatat, koteka dianggap masalah pada zaman orde baru di indonesia. Lantas dibuatlah operasi koteka. Mengapa demikian? Apa yang menyebapkan koteka menjadi perihal permasalahan utama, sampai dibuat keputusan presiden RI Nomor 75 tahun 1969 hingga dibentuklah task Force Pembangunan masyarakat pedalaman di irian jaya. Kemudian disempurnakan dengan keputusan presiden RI nomor 1970.
Pada jaman orde baru, banyak sekali kerumitan yang terjadi dalam menanggani wilayah pegunungan demi membusanakan masyarakat koteka pada umumnya. Demi mencapai semuanya, maka salah satu program tim task force ini memperkenalkan penggunaaan pakaian modern kepada masyarakat, untuk mengantikan koteka. Program ini disebut operasi koteka pada suku mee.
Program membusakan masyarakat ini ternyata memiliki kerumitan tersendiri. Ada banyak cara mulai dari baik tidaknya suatu Tindakan dari militer dan pimpinan waktu itu. Banyak hal, sampai demi meng-indonesiakan masyarakat koteka, mereka melakukan tindak kekerasan yang tidak manusia. Perlakuan yang dilakukan dengan tidak manusiawi juga di lakukan sungguh-sungguh karena demi menjaga indonesia yang utuh.Salah satu pendekatan yang di lakukan adalah dengan bermain bola kaki. Ini adalah upaya melepaskan koteka, yang lainnya melalu operasi koteka tingka kekerasaan yang tinggi. ini sungguh memalukan dan seharusnya dipidanakan dalam hukum yang berlaku.
Ketika situasi seperti ini, sebenarnya apa yang salah kalau dibawah dalam konteks perlawanan. Mengapa kita tidak melawan balik, memakai koteka itu sebagai simbol perlawanan. Apakah generasi ini sudah buta?
- Problematika Koteka Dalam Generasi Milenial
Problematika. Sesungguhnya, permasalahan koteka sama sekali tidak ada, akan tetapi, kita harus berfikir baik bahwa yang menjadi problematikanya itu antara generasinya dan budaya koteka yang menjadi marwa agung leluhurnya.
Melihat renik-pelik peristiawa perjalanan koteka sepertinya budaya asing perlahan-lahan merambat dengan cepat. Apalagi sudah menjiwai. Daerah perkotaan ini menjadi salah satu hal dominan yang berdampak sangat besar, dalam aspek karaktar maupun psikologi tumbuh-kembang generasi.
Peta pemikiran anak-anak yang tumbuh di tengah kota berbedah dengan mereka yang terlahir di tengah para tetua adat di kampung halaman. Apakah betul? Ini masih menjadi suatu pertanyaan, karena belum tentu yang di kampung ikut menjaga dan yang di kota tidak . koteka antara punah dan hidup. Ketika melihat sejauh ini, koteka sepertinya sudah anggap basih! Yah, basih. Mengapa demikian, karena perkembangan generasi sekarang lebih menganggap budaya adalah hal yang paling kuno dan tak bersakral. Sekarang, siapa yang salah.
Beberapa ulasan permasalahan yang dianggap membunuh pikiran generasi saat ini.
- Generasi Individualistik
Generasi Individualistik adalah generasi yang sifat dan karakternya mengarah pada kepentingan pribadi. Sifat generasi ini memiliki pola pikir yang beranggapan bahwa segalah sesuatu itu tentang kepentingan perut, misalnya takaayuwe manaa, ibo dimii manaa, eii akagaa manaa, bee akagaa manaa, dimii ki dabayaikai manaa dan lain.
Sifat ini, melambangkan status sosial budaya luar yang menyapa generasi saat ini. Lebih menjunjung tinggi budaya luar dari pada dalam negeri. Melukias peristiwa ini perluh kita lihat lagi bahwa cara berpakaian generasi saat ini mulai tak ada etika “Mee” itu sendiri.
Generasi individualistik ini seakan mengklaim bahwa kami gagal. Gagal menjadi generasi yang mampu mengukukan Diyo dou manaa *. Ibaratnya begini dalam bahasa sederhananya “ sa punya motor, dan ko juga punya motor sama-sama bagus. Tiap hari ko datang minta pake sa motor saja, sedangkan ko motor itu masih bagus dan layak di pake Jujur itu sa akan ganas”
Begitulah kehidupan tentang budaya, ada point-point budaya yang harus dijaga dan dirawat bukan di buang lalu terobsesi dengan budaya asing yang modernisasikan manusia dan budaya itu.
- Generasi Konsumtif
Generasi konsumtif. Generasi Papua yang memiliki sifat konsumtif. Bagaimana generasi ini candu akan hal-hal yang lain diluar dari budaya dalam negeri itu sendiri. Salah satunya mencinta produk dan budaya luar dibandingkan budaya-budaya dalam negeri. Ini mengakibatkan banyaknya generasi lupa menjaga budayanya sendiri. Ibarat menikam manusia tanpa sebila pisau. Itulah keadaan generasi saat ini.
Perlahan-lahan budaya yang terkandung dalam unsur-unsur kebudayaan itu mulai punah. Siapa yang memunahkan itu, yah itu generasi sendiri lah aktor utama yang mematikan budaya itu sendiri. Bagaimana generasi ini menjadi partisipasifisme yang aktif mengonsumsi produk-produk luar dibandingkan produk dalam negeri.
Sebuah kelemahan dasar penting generasi saat ini yang sulit dilepas begitu saja, karena sudah menjadi darah daging dalam psikologi. Apa saran yang terbaik untuk generasi seperti ini, apakah leluhurnya yang salah atau generasinnya yang salah ataukah budayanya yang tidak berbobot.
- Generasi Online dan generasi budaya
Sebut saja, generasi saat ini sepertinya sudah candu online. Kita seakan berada pada titik dua kontraversi paling kuat antara generasi online dan generasi budaya. Sebagian dari 50% itu adalah generasi yang paling takut memakai koteka, katanya “Takut” tapi kalau memakai pakaian yang kebarat-baratan mereka lebih hebat. Soal berpakaian baju sampai kelihatan buah dada lalu mengumbar di dinding Fb. Celana sampai segalanya kentara lalu mengumbar di status Fb, akan tetapi ketika giliran disuruh memakai koteka, malah dibilang “ee aduh maaf demi saya takut”. Wah, ini hal yang paling biadab dalam sejarah peradaban.
Generasi online lebih terobsesi dalam stigma modernisasi luar yang betul-betul sudah dirasuki generasi saat ini. Sehingga, untuk memboikot semuanya agar perjalanan perlawanan tetap stabil, maka harus dilakukan rehabilitasi generasi besar-besaran untuk meresponsif dan memersuasikan paradigma dan praktisme dalam konfrensi peta pikiran generasi kedepannya.
Pertanyaan ini kembali menggugah, bahwa generasi saat ini yang notabenenya lebih terfokus pada online, bisa dikatakan akan punah perlahan tapi seakan ada jaminan kepastian.
- KOTEKA; SIMBOL PERLAWANAN BUDAYA YANG PALING DITAKUTI PENJAJAH
Penjajah akan merasa takut dan seakan diancam ketika kita kembali memboikot sistim perlawanan melalui budaya kita sendiri. Salah-satunya mengembalikan marwa koteka yang sudah dianggap paling basi ini. Sadar ataupun tidak kita masih dianggap paling gagal dalam menjalankan amana leluhur tentang budaya koteka yang ada.
Budaya koteka. Ketika, generasi mulai berfikir dan sadar bagaimana dunianya dijajah, maka salah satu perlawanan yang paling ampuh untuk mengembalikan marwa koteka adalahmengambil langkah mengenangkan tradisi koteka itu kembali. Generasi harus betul-betul paham, selamah langkah ini tidak diambil, maka selama itu juga gerakan memboikot perlawanan akan terasa sulit dalam dunia pergerakan.
Ada beberapa poin yang sering dilakukan penjajah demi merebut dan mengambil ahli yang mereka punya. Salah satunya adalah menghakimi dan mengelabuhi budaya setempat untuk memersuasikan generasi demi hal yang tak sepantasnya. Jadi mengapa sistem perlawanan dari koteka tidak di lakukan, apakah itu hal najis?
- Saran Dan Rekomenasi
Tiada yang abadi selain karya nyata yang bersifat turun-temurun yakni budaya, tetapi selama budaya tidak dianggap paling dibutukan maka selamanya generasi serta budayanya akan menjadi cerita menarik dalam beberapa dekade berjalan. Oleh karena itu penulis ingin merekomendasikan beberapa poin kepada khayalak untuk mengetahui yang seharusnya diketahui sebagai saran dan rekomendasi;
- Untuk melawanan penjajah demi merebut kembali tanah air, Koteka adalah senjata sakral yang harus dihidupkan kembali.
- Monumen koteka harus berdiri tegak sebagai simbol perlawanan masyarakat koteka. Monumen ini harus didirikan ditiap-tiap kabupaten yang notabenenya adalah pemakai koteka.
- Orang tua yang sudah lama mendiami perkotaan wajib memakaikan koteka kepada anaknya yang berumur 2-5 tahun dan memberikan pemahaman regenerasi budaya yang mapan.
- Jika ada generasi yang masih takut memakai koteka pada jaman sekarang, dia bukan lagi makodo mee tapi patut dipertanyakan seperti apa dia sesungguhnya.
- Dewan adat, pemerintah, agama, tokoh masyarakat, pemuda (Wilayah Lapapgo dan Meepago) harus bicarakan masalah hari raya koteka sebagai simbol perlawanan dan jati diri bangsa.ini juga sekaligus mengajarkan kita bagaimana melestarikan budaya koteka itu sendiri.
- Kepada pemerintah untuk segera mengeluarkan perdasus terkait dengan penerapan pemakaian koteka dalam sistim pendidikan. Demi melestarikan ini, ada satu hari (dari senin-sabtu) dimana siswanya harus memakai busana koteka. Ini adalah salah satu bentuk kontrubusi menjaga marwa koteka yang kian punah.
- Generasi sekarang harus perlu direhabilitasi. Saya takut. Ketika 10-20 tahun mendatang, budaya ini dianggap jadi lelucon dan dongen tidur bagi kanak-kanak yang ada.
- Festival Koteka adalah solusi bagaimana kita mengenang budi luhur leluhur kita dan mengangkat kembali jati diri. Ini sebagai bentuk perlawanan paling ampuh demi menjatuhkan sistem kolonial di teritori west Papua.
Ikuti Jejak Mahatma gandhi. Untuk memerdekaan india, dia mulai mengerakan rakyatnya melalui beberap gerakan termasuk gerakan swadia. Salah satu gerakan memboikot penjajah dengan mencintai produk negerinya.Mengapa dulu ada operasi koteka, karena penjajah merasa terancam kedudukannya di bumi papua. Keberadaanya selalu tidak dianggap alhasilnya munculnya dekrit presiden, dan gerakan operasi koteka demi membunuh mindshet generasi yang sedang berkembang kala itu dan berdampak besar saat ini.
Sesungguhnya, jika adalah operasi koteka ditahun 1971 di wilayah pengunungan kalah itu, maka salah satu solusinya untuk memboikot perlawanan itu kembali adalah menanggalkan apa yang sudah menjadi milik kolonial. Dalam artinya bahwa kita kembali mengenangkan koteka sebagai simbol perlawanan yang damai tanpa melibatkan Kekerasaan.
Dalam barikade generasi saat ini, jika ada manusia yang memiliki polah pikir seperti ini (Mulai dari DPR, Bupati, Gubernur dan masyarakat koteka lainya) maka, untuk merebut kembali kemerdekaan yang sesungguhnya pula, koteka harus kembali berbicara dan bersuara demi kemerdekaan yang sesungguhnya yakni kebebasan sejati kelak.