Oleh : Soleman Itlay *)
Besok 17 Agustus, hari proklamasi kemerdekaan Indonesia ke-76. Di Indonesia wilayah lain sibuk memikirkan dan menyiapkan segala hal untuk menggelar upacara. Tapi ini beda dengan orang Papua yang ada di Indonesia pada hari ini, Senin, (16/08/2021).
Mereka akan kembali memperingati 16 Agustus 2021 ini sebagai hari rasisme–anti rasisme–hari anti diskriminasi rasial terhadap minoritas kelas zet. Sebuah kelas yang tidak diperhitungkan sama sekali di mata kelompok mayoritas Indonesia yang merasa diri lebih Indonesia, hebat, jago dlsb.
Peringatan ini tentu tak akan hanya dilakukan untuk wilayah pendudukan modern itu. Tetapi sebagian wilayah Indonesia lain, yang menjadi kota studi dan tempat dimana orang Papua tinggal akan merayakan hal yang sama.
MENILIK SEJARAH SEJENAK
Kalau kita melihat sejarah rasisme di Papua sudah terjadi lama. Bahkan sebelum para petualang/penjelajah, saudagar, ilmuan, jurnalis, dan misionaris Eropa menginjak kaki di Papua pada abad ke-14.
Sederhananya, sebelum Ottow dan Geissler memberkati tanah Papua pada abad ke-17–’bukan manusia pribumi’, rasisme yang sesungguhnya berhubungan dengan perbedaan ras, suku, daerah, negara dan lainnya itu sudah tertanam sejak dalam pikiran. Juga sebelum jalan kemari.
Tak hanya itu. Saya memahami aspek pelirikan Soekarno, presiden pertama Indonesia terhadap Papua sebelum dan pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, juga bagian dari benih rasisme dan diskriminasi rasial yang terintegrasi kuat dalam sistem pendudukan modern di tanah Papua.
Dia melihat Papua Barat dengan pandangan rasis. Dimana dia anggap Papua yang berada dalam kekuasaan Hindia-Belanda harus dimasukkan ke dalam bingkai NKRI.
Dasar pemikiran lain yang patut diperhitungkan adalah dia melihat Papua masih terbelakang, tertinggal, primitif, kanibal dan lainnya sebagai. Meskipun demikian, kekayaan alam disana menjadi daya pikat tersendiri baginya.
CIRI KHAS RASISME DI PAPUA–INDONESIA
Dia bahkan generasi penerus, seperti Ali Mortopo, Soeharto, SBY dan Luhut Binsar Panjaitan secara terang-terangan mengatakan “mereka tidak butuh manusianya. Mereka hanya butuh kekayaan alamanya saja”.
Warpo Wetipo, aktivis nasionalis dari KNPB dalam kegiatan syukuran terhadap 7 Tapol Rasisme di asrama Rusunawa, kota Jayapura pada 2020 lalu pernah mengartikan pernyataan rasisme para pemuka Indonesia itu seperti ini: “Ali Mortopo pernah katakan… Bahwa kami tidak butuh mas-mas Papua. Tapi kami hanya butuh emas-emas Papua”.
Memang benar. Faktanya pun sungguh demikian. Mereka hanya memprioritaskan sektor ekonomi: melakukan eksploitasi sumber daya alam Papua tanpa mengimbangi dengan tindakan penyelamatan nasib dan masa depan orang Papua yang tepat.
Manusianya, otoritas pemerintah dan kaumnya anggap orang Papuanya itu seperti binatang liar. Semua orang Papua dan dunia pun tahu akan itu. Pribumi Papua sering disamaratakan dengan monyet, kete, kera, gorila, anjing, babi, bodok, primitif, kanibal, koteka, bau busuk, tidur dengan babi, dan lainnya.
Tetapi kekayaan alam mereka ambil dengan kekuatan penuh. Libatkan aparat keamanan dan militer. Bikin masyarakat adat tak berdaya, takut, trauma. Hingga tidak bisa bertahan hidup dengan lahannya karena perusahaan kuasai.
Anak-anak pemilik tanah adat putus sekolah, sakit-sakitan, dan mati. Sebagian lagi nganggur– kehilangan sumber mata pencaharian hidup, lapangan kerja. Dan kemudian menjadi miskin di atas tanah yang kaya raya, yang katanya surga kecil yang jatuh ke bumi.
Kalau surga kecil itu Papua, tak perlu manusianya hidup sekarat seperti anjing yang tidak makan selama berhari-hari, kelaparan dan mati seperti semut yang termakan busa air sabun Rinso anti noda.
Mengenai ini kalau orang yang waras pasti akan berkata “aneh ya? Tidak tahu malu. Paling biadab dan kurang ajar. Tanahnya dikuras habis-habisan. Tapi perlakuan manusianya tidak manusiawi. Seperti binatang”.
RASISME DI PAPUA BERAKAR PADA SISTEM PENDUDUKAN
Sungguh, ini bukan lain lagi. Walaupun harus menghubungkan dengan alam yang dirasa tidak memiliki kaitan erat dengan rasisme dan diskriminasi rasial, tetapi kalau kita melihat dengan jelih pasti akan ketemu keterkaitannya.
Sampai disini kita akan sadar, ternyata rasisme di Papua itu benar-benar berhubungan dengan kepentingan politik dan ekonomi. Dan itu memberikan ciri khas rasisme dan diskriminasi rasial tersendiri bagi orang Indonesia terhadap orang Papua di dunia ini.
Bahkan dari hal itulah yang menurut saya dapat menunjukkan perbedaan motif dasar rasisme dan diskriminasi rasial yang dialami orang kulit hitam di Indonesia dengan di Afrika, Inggris, Amerika Serikat, China dan negara lain.
Di Afrika Selatan dikenal dengan sistem Aparteid. Sedangkan di Amerika Serikat orang tahu dengan segregasi rasis yang tentunya juga sedikit mempunyai hubungan dengan sistem Aparteid yang menjadi simbol penindasan dan perlawannya.
Disini saya justru melihat rasisme dan diskriminasi rasial yang berhubungan dengan kepentingan politik dan ekonomi ideologis itu ternyata memiliki indikasi kuat dengan sistem perbudakan modern di tanah Papua, yaitu sistem pendudukan aneksasionis.
Artinya, segala sesuatu pemerintah dan kaumnya selalu memaksakan. Memaksa orang Papua untuk menerima pikiran dan kemauan orang Indonesia di jaman modern yang penuh dengan kemajuan teknologi, informasi dan ilmu pengetahuan yang amat besar.
Barangkali pemrintah mendikte sistem kerja paksa yang pernah diterima oleh Indonesia. Sebuah sistem perbudakan kolonial Belanda yang menekankan pada aspek pertanian, perkebunan, dan pembangunan di segala sektor yang juga sarat dengan kepentingan politik dan ekonomi.
Indonesia sedang menerapkan sistem kerja paksa dalam bentuk yang baru–tidak hanya menitik beratkan pada aspek perekonomian seperti yang dilakukan Belanda pada waktu itu.
Tetapi dengan berjalannya waktu merubah bentuk pendudukan sesuai konteks dan tekanan internasional yang secara disiplin menghindari perilaku demikian dengan sejumlah konvenan tentang rasisme dan diskriminasi rasial, yang di dalamnya juga terdapat Indonesianya.
BENTUK RASISME YANG PALING BAHAYA
Kita coba kembali selangkah untuk memahami sejarah perkembangan rasisme dan diskriminasi rasial di Papua. Ini sangat penting untuk kita pahami bahwa benih rasisme dan diskriminasi rasial di Papua dan terhadap orang Papua sudah tumbuh lama sebelum Papau menjadi bagian yang utuh dari Indonesia secara de joure dan de facto (kontroversial).
Lihat pada mula-mula. ecara fisik mereka–orang Eropa dan Indonesia ini, dari dulu hingga saat ini datang dengan apa adanya. Bahkan tidak mengatakan kami datang untuk berpikir, bertindak, bersikap, berucap dan berperilaku rasis.
Mereka juga tidak berani katakan “kami akan memperlakukan kamu di pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, NTT, NTB, dan Maluku” ketika ketemu anak-anak–orang Papua yang sekolah, kerja dan berkunjung kesana dengan agenda tertentu, seperti studi banding, rekreasi dll.
Namun, bukan tidak mungkin bahwa perlakuan yang merendahkan martabat manusia–orang Papua sudah terjadi sejak lama. Sebelum orang-orang yang merasa diri lebih superior dari orang Papua itu, sejak berpikir tentang tanah dan manusia Papua sudah berpikir rasis terselubung.
Syukur karena dulu dunia belum berkembang dan maju seperti hari ini. Masalah utamanya adalah teknologi, informasi dan ilmu pengetahuan sangat terbatas, sehingga benang hitam rasisme–diskriminasi rasial dulu dulu kelihatan tidak nampak. Bahkan tidak ada dalam buku-buku, arsip, dokumen dan lainnya.
Tetapi saya percaya bahwa perlakuan yang melihat orang Papua sangat rendah, tidak punya apa-apa, tak berdaya, terbelakang, tertinggal dan lainnya, walaupun berpikiran positif untuk menolong dan membantu, tetap ada yang nama rasisme dan diskriminasi rasial itu.
Kadang kala para pelaku tak akan, bakal menghindari hal-hal sensitif. Maka mereka tidak Bakan mengatakan kamu, orang Papua itu begini dan begitu. Tetapi dalam hati dan pikiran, mereka sudah memandang orang Papua memang kaum yang pantas dikategorikan sebagai kelompok inferior.
Itulah yang mengapa saya justru melihat rasisme dan diskriminasi rasial yang paling berbahaya itu dalam hati dan pikiran. Dengan kata lain, rasisme dan diskriminasi rasial itu paling banyak terjadi sejak ada di dalam rahim hati, dan pikiran.
Kadang kala rasisme dan diskriminasi rasial secara fisik sangat kurang. Para pelaku sangat pintar. Mereka selalu menghindari perilaku yang lebih menekankan pada ungkapan dam tindakan langsung.
Kasus rasisme di Surabaya, Malang, Semarang pada 2019 lalu, bahkan kasus Steven Yadohanang yang tidak lama–awal Agustus di Merauke, Papua ini, hanya bagian dari apa yang terjadi secara sengaja atau sengaja dalam sebuah skenario terselubung–mengalihkan perhatian dengan isu-isu hangat tertentu. Misalnya, isu penolakan Otsus Papua dll.
Tetapi hal serupa, bahkan yang paling banyak terjadi itu dengan menggunakan perilaku bisu yang tak tersampaikan melalui hati, pikiran, sikap, mata, telinga dan lainnya di jalan raya, sekolah, pasar, gereja, masjid, rumah sakit, kantor-kantor birokrasi, kios, tokoh, ruko, cafe, hotel dan lainnya masih banyak.
Saya mau ambil satu kasusnya. Di Gereja Katolik di tanah Papua itu saya sering lihat. Dimana oknum orang-orang migran tertentu yang kalau melihat orang Papua yang mukanya kotor, pakaian pu kotor dan bau busuk, atau bersih sekalipun akan berpandangan sinis.
Kadang kala mereka buang ludah, tutup hidung, balik muka, menjauh, atau menghindari orang Papua dengan mencari tempat duduk. Hal seperti ini juga saya sering alami di dalam taxi, pasar, mall dan lain sebagainya.
SAMPAI KAPANPUN RASISME AKAN ADA
Saya sangat yakin bahwa sampai kapanpun rasisme dan diskriminasi rasial itu akan terus terjadi terhadap orang Papua, selama sejarah mengatakan orang Papua dipaksakan gabung dengan Indonesia yang berbeda ras, pulau, leluhur, adat istiadat, budaya, bahasa, dan lainnya.
Orang Papua dan Indonesia itu beda. Selama perbedaan itu akan selalu ada, selama itu pula rasisme akan tumbuh dan berkembang maju di Indonesia. Orang Papua akan selalu menjadi kelompok yang paling rentang mendapatkan tindak dan ujaran rasisme–diskriminasi rasial.
Bahkan selama sejarah Papua politik di dalam Indonesia belum diluruskan, dan kasus-kasus HAM dari dulu hingga saat ini, juga rasisme seperti yang dialami Victor Yeimo yang dalam peradilan hukum Indonesia pun sangat diskriminatif seperti ini akan menyuburkan rasisme dalam akar persoalan politik yang berurat akar dengan sistem politik aneksasi.
SATU JALAN KELUAR YANG SEDERHANA
Rasisme Indonesia terhadap Papua itu benar-benar akan tidak ada selamanya, yang sebenarnya hanya untuk sekedar mengurangi resiko berat, adalah kecuali meluruskan sejarah politik, menyelesaikan Pepera 1969, kasus pelanggaran HAM, menata kebijakan Otsus Papua sekalipun dan lainnya di meja perundingan internasional.
Mengapa harus kesana, karena Papua itu masuk ke Indonesia melalui perundingan, seperti New York Agreement, Roma Agreement, Kontrak Karya Freeport dan lainnya, maka untuk menyelesaikan ragam peristiwa di Papua harus melalui jalan perundingan internasional.
Tapi perundingan bukan dalam skala Jakarta-Papua yang ditawarkan oleh JDP. Tetapi konsep JDP untuk melibatkan semua pihak terkait sangat dibutuhkan. Hanya saja perundingan internasional yang dimaksud adalah perundingan segitiga yang difasilitasi oleh pihak ketiga yang legal, netral, independen, berkompeten dan profesional.
SEGERA BEBASKAN VICTOR YEIMO
Itu tahap yang paling penting tapi membutuhkan waktu untuk menuju ke sana. Tetapi yang perlu saat ini pikirkan pada hari rasisme orang Papua ini, bahkan dalam rangka memperingati kemerdekaan Indonesia ke-76, pada Selasa, 17 Agustus 2021 ini, pemerintah dan orang Papua harus pikir soal Victor Yeimo.
Pemerintah tahu bahwa kalau masih ngotot merawat isu rasisme atau dengan menahan Victor Yeimo di Mako Brimob Polda Papua dengan kesehatan yang membutuhkan penanganan medis lebih intensif itu sangat bahaya bagi keutuhan NKRI di Papua.
Masih ingat 2019-2020? Kasus rasisme di Surabaya sangat berdampak besar di Papua. Ketika 7 tahanan rasisme–politik, yakni; Buchtar Tabuni, Agus Kossay, Steven Itlay, Ferry Kombo, Alex Gobai, Hengky Hilapok dan Irwanus Uropmabin di kota Jayapura hingga Kalimantan apa yang terjadi di Papua?
Pemerintah rasa menahan mereka sama saja sudah amankan Papua. Tetapi buktinya bara dan asap rasisme akibat diskriminasi rasial di peradilan hukum Indonesia masih saja terjadi. Orang Papua terus menuntut keadilan yang utuh karena apa yang orang Papua–korban yang alami tak sepandan dengan perbuatan pelaku di asrama mahasiswa Papua, Kamasan III Surabaya, Jawa Timur.
Melihat kesehatan Victor, semua orang sudah mendesak. Rupanya pemerintah ingin memetakan kekuatan dan kelemahan Victor dan orang Papua dengan proses hukum kepadanya. Lihat rakyat Papua semakin sadar dan bangkit dalam suasana pandemi Covid-19 sekalipun.
Hari ini orang Papua akan peringati hari rasis. Bahkan akan melakukan demonstrasi damai di kota Jayapura untuk menutut Yeimo harus dipindahkan di Lapas Kelas II B Jayapura atau dibebaskan tanpa syarat.
Aksi hari ini tak perlu dilakukan kalau aparat tak menangkap, menahan dan memproses hukum. Kepada Yeimo.
Sebab kasus rasisme itu, Buchtar Tabuni dari ULMWP, Agus Kossay dan Steven Itlay serta Alex Gobai dkk sudah mempertanggungjawabkan secara hukum di peradilan hukum Indonesia, Kalimantan (2019-2020).
Indonesia jangan bermimpi di siang bolong kalau akan menginternalisasi isu politik, pelanggaran HAM dan rasisme dari internasionalisasi. Lebih baik, dalam rangka 17 Agustus ini, Victor Yeimo harus dan segera dibebaskan.
Kalau tidak pasti akan ada korban jiwa dari rakyat sipil. Baik dari orang asli Papua dan migran. Juga harta benda dan material lainnya.
Jangan salahkan para korban dan demonstrasi bila kota Jayapura dan Papua pada umumnya kembali panas. Karena yang memanaskan, meniup bara api dan menyiram minyak tanah dan bensin adalah pemerintah berwenang sendiri.
Solusinya sederhana: segera bebas Victor Yeimo atau keutuhan NKRI di Papua goyang kembali? Mau bebaskan Yeimo sekarang atau mau dapat tekanan dan malu di dunia internasional. Demi nama baik Indonesia, Victor Yeimo harus dibebaskan kembali.
Jika apa yang pemerintah nuntut kepada orang Papua harus mencintai Indonesia, Pancasila dan UUD 45, saya siapa mencintainya. Dan soal ini jangan pernah ragukan cinta saya terhadap Indonesia. Saya ini lahir besar, tumbuh dan berkembang dalam bingkai NKRI.
Sekarang saya mau tanya: kalau saya katakan demikian dengan hati, apakah pemerintah akan mendengar saya yang menuntut untuk bebaskan Victor Yeimo sebagai orang Papua yang mencintai Indonesia?
Jika pemerintah anggap saya atau orang Papua lain sebagai warga negara Indonesia, tolong dengar kami: “bebaskan Victor Yeimo”. Tanpa melihat latar belakang diskriminasi rasial: ideologi politis, daerah, agama dan lainnya, yang selayaknya kita sebagai bangsa yang majemuk.
Jika pemerintah tidak mau mendengar suara hati nurani orang Papua yang mencintai Indonesia–membebaskan Yeimo seperti saya, berarti saya pikir pemerintah sendiri masih merawat rasisme dan diskriminasi rasial.
Juga pemerintah tidak punya hati nurani untuk membangun Papua. Kalau benar-benar merasa kami ini bangsa Indonesia yang suaranya perlu didengar tanpa diskriminatif, cobalah sekali-kali kabulkan harapan kami meskipun dalam hati penuh kecurigaan.
Sekali lagi, jika pemerintah benar-benar cinta sama orang Papua dan ingin menjaga kedamaian dan kedaulatan di Papua, Victor Yeimo harus dibebaskan kembali tanpa syarat apapun.
Bisakah tidak? Pada 17 Agustus ini bebaskan Victor Yeimo atas nama kemanusiaan dan Indonesia? Meskipun kita tahu butuh proses dan urusan administrasi tertentu. Bebaskan Victor Yeimo sudah, ‘Wei……’
‘Ko’ tahan untuk apa? Biji seee