Oleh : Soleman Itlay *)
Kalau bicara Israel, saya lebih Israel. Kalau bicara Palestina, saya lebih prihatin dengan nasib orang Palestina. Kalau bicara Amerika Serikat, Australia, Inggris dan lainnya, saya lebih Indonesia malah.
Kalau bicara Islam, Protestan, Hindu, Buddha, Otordoks, Rastafara, dan lainnya, saya lebih katolik lagi. Tetapi bukan itu yang saya pikir saat ini dari atas tanah Papua.
Seperti Bapa Jhon
Jhon adalah anak perintis, katekis katolik di Papua. Lama di Wamena, Timika, Arso dan lainnya. Sebetulnya dia dari Kei, Maluku Tenggara. Dia lahir besar di Papua. Kerja, kawin dan berkarya lama sekali di tanah Papua.
Dari muda sampai lansia menghabiskan waktu di tanah Papua. Ia menghabiskan waktu bersama orang Papua yang buta aksara: tidak tahu baca, tulis dan hitung. Tidur bangun di honai, hutan belantara, jalan kaki, pikul kayu, sekop, parang dlsb.
“untuk siapkan pastor katolik pribumi Papua saja, saya tidur bangun di honai adat, paroki Kimbim-Woogi, Musatfak (Wamena)”, katanya kepada saya.
Sejak datang langsung menyesuaikan diri dengan kebiasaan hidup masyarakat adat lokal. Kemudian belajar bahasa daerah, karakteristik, mata pencaharian hidup dan lain sebagainya.
Kalau masyarakat makan hepuru, dia ikut makan hepuru. Kalau dorang makan papeda, dia juga ikut makan makanan pokok khas orang pesisir pantai dan gunung daerahnya panas.
Apalagi soal bakar batu, dia justru lebih senang untuk ikut bakar batu dan mengikuti segala sesuatu yang ada di dalam orang Papua.
Dia tidak menawarkan segala sesuatu dari luar Papua, yang baru dan asing bagi orang Papua. Dia selalu mengakui, menghormati, melindungi dan ingin merawat serta melestarikan segala sesuatu yang baik dan benar, yang ada dan lama di dalam diri orang Papua.
Segala pikiran, isi hati dan jiwa raganya sejak kecil diarahkan untuk melayani orang Papua. Berani mengambil resiko untuk berkorban bagi orang Papua yang hidup dalam keterbatasan pendidikan, pengetahuan luar (bukan lokal) dan kesehatan.
Baik ayah dan ibu serta dirinya, anak-anaknya, cucu-cucunya, semua menghabiskan waktu emasnya hanya demi memperuntungkan untuk tanah dan manusia Papua.
Energi di waktu produktif mereka tak sia-sia di tanah ini. Habis untuk dan demi orang Papua. Mereka tahu pengorbanan demikian adalah jalan kebenaran, kehidupan dan keselamatan hidup.
Paling sering pulang kampung. Tapi sampai disana selalu rindu Papua. Ingin kembali kesini. Akhirnya, menetap disini. Banyak dari keluarga mereka sejak kecil dan yang meninggal dunia sekalipun secara katolik Papua.
Dia jarang, bahkan tidak pernah pikir untuk kampung halamannya. Apa yang dia selalu pikir, bergumul dan bergerak adalah untuk bagaimana m membangun tanah Papua dengan membangun manusianya lebih dulu melalui pendidikan berpola asrama katolik dan bidang karya pastoral lainnya.
Dia selalu bicara untuk menjadi gereja katolik Papua utuh, yaitu dengan bagaimana menjadikan semua orang Papua yang buta, tidak tahu baca, tulis dan hitung, menjadi orang yang dibaptis tak hanya melalui air berkat.
Tapi juga dengan membuka wawasan, cakrawala, pengetahuan, kesadaran dan lain sebagainya. Baginya menjadi gereja katolik di tanah Papua berarti kita berani memanggul Salib–penderitaan orang Papua.
Merasakan suka duka bersama orang Papua adalah apa yang dia rindukan dari kita sekalian. Baginya disinilah hakekat menjadi manusia dan gereja katolik yang benar-benar dari mana saja untuk tanah dan manusia Papua.
Jalan pikiran seperti inilah yang saya selalu pikir bahwa bapa Jhon yang notabene migran itu lebih pribumi dan katolik Papua. Ketimbang saya yang asli Papua tapi berhati dan berjiwa tidak jelas: penghianat atau apa istilahnya.
Sama. Saya juga dari Wamena. Dulu saya datang ke Jayapura hanya untuk timba ilmu. Tapi lama-lama saya sadar. Bahwa pola pikir itu salah dan tidak baik. Karena cara demikian, kita hanya menjadi orang yang malas tahu, asal tinggal, tahu makan, tapi tidak tahu kerja atau berterima kasih.
Dengan berjalannya waktu, saya mulai rubah pola pikir kembali. Jika saya memutuskan untuk tinggal, hidup, bekerja dan menetap di Jayapura, berarti saya harus mencintai Jayapura dengan segenap hati, jiwa raga dan akal Budi.
Seperti saya mencintai diri saya, Tuhan, sesama, keluarga, kampung dan daerah asal saya–Wamena. Saya dapat pengalaman, dan pengetahuan di kota, bahkan tanah ini sangat banyak. Kota dan tanah ini sangat baik sama saya dan keluarga saya.
Sehingga, saya pikir untuk memiliki tanggungjawab moral yang sangat besar untuk menjadikan kota Jayapura sebagai rumah saya dengan tetap menjadi katolik tulen di tengah mayoritas saudara-saudara dari Islam dan Kristen Protestan.
Caranya sederhana, selalu berusaha untuk menjaga nama baik kota Jayapura atau tanah Papua. Berusaha aktif untuk melihat persoalan di kota dan tanah Papua dengan rasa memiliki yang tinggi. Hanya dengan begitu, saya boleh dikatakan orang yang punya hati untuk kota Jayapura, Papua.
Katolik Papua yang Merdeka
Apa yang saya pikir adalah bagaimana kita yang lahir besar–entalah pribumi ataupun migran, yang lama hidup dan berkarya, bahkan akan mati dikubur di tanah Papua ini menjadi katolik Papua yang sebenar-benarnya.
Dengan kata lain, menjadi gereja katolik yang benar-benar tanpa sedikitpun membangun kepentingan bisnis terselubung dalam postur gereja, tanpa menjadikan gereja sebagai tempat cari makan minum, pekerjaan, mencari nafkah, memperbaiki tarif hidup, lapangan kerja dlsb.
Tentu saja jauh dari kesan marginalisasi manusia dan nilai-nilai kearifan lokal dalam gereja; diskriminasi rasial secara sistematis dalam hirearki gereja katolik. Sebaliknya, membangun honai yang satu, universal, kudus, apostolik, papuanis dan misionalis.
Menjadi Papua yang sebenar-benarnya berarti gereja yang dibangun dengan semangat Santo Petrus di Roma, Italia. Tetapi juga di lain sisi diwarnai dengan semangat para misionaris yang meletakan dasar gereja katolik Papua diatas pundak leluhur Australo Melanosoid di tanah Papua.
Semakin kokoh, karena berkembang dengan saling menghargai dan menghormati satu sama lain, yang menjadi ciri khas gereja katolik yang dikenal netral dan independen diatas buku, kertas dan layar media masa, tetapi “kurang ajar” di jalan-jalan sunyi, tertutup dan rahasianya.
Katolik Papua yang sebenarnya, bagi saya hidup rukun dan damai sebagai sesama manusia dan katolik yang sama-sama memiliki hak, harkat, martabat dan derajat yang sama rendah dan sama tinggi. Tanpa membeda-bedakan satu sama lain.
Hal lain karena dia harus/telah berani dan rela meninggalkan keluarga, suku, daerah, dan lainnya. Kemudian giat memilih dan memutuskan untuk menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dinamika pastoral dan sosial yang nyata.
Dalam menjadi Katolik Papua yang sebenar-benarnya tidak butuh orang pintar, orang yang sekolah tinggi-tinggi, memiliki kekayaan, kehormatan, pujian dan harta benda lainnya.
Dalam hal ini kita butuh orang yang berani seperti Yesus Kristus, yaitu: berani meninggalkan tahta, kerajaan, kekuasaan, kehormatan dan kemuliaan di kerajaan sorga.
Kita butuh orang-orang, awam maupun imam yang berani lahir bersama umat yang dihina–kandang hina, besar dalam kemiskinan, penderitaan, pengangguran, marginalisasi, kekerasan dan kejahatan serta penindasan yang menuju pada bak pemusnahan.
Menjadi katolik Papua yang benar tidak butuh pertanyaan: ko pendatang, ko asli Papua; ko dari mana, sa dari mana?
Hanya butuh sosok-sosok yang memiliki hati dan jiwa raga untuk tanah dan manusia Papua. Siap hidup, berkarya juga rela mati demi perjuangan akan perdamaian sejati Papua.
Boleh Nasionalis, Tapi Haruslah Realistis
Atau boleh ideologis, tapi realistis. Boleh nasionalis, tapi juga harus patriotis sedikit disini. Boleh Indonesianis, tapi jangan lupa menjadi papuanis.
Di lain sisi, kita boleh nasionalis dengan memeluk sebuah negara. Baik itu Amerika Serikat, Australia, PNG, Vanuatu atau apa saja. Tapi jangan pernah menyangkal bumi dimana kaki dan gereja kita dipijak, dibangun, tumbuh, berkembang dan kokoh.
Boleh berideologi dengan apa saja, tetapi jangan lupa untuk menghargai, apalagi menjadi seorang yang patriotis di tempat dimana kita makan, minum, dan mampu mensejahterakan kita walaupun itu dengan buah kerja keras dan keringat kita sendiri– seperti Yesus Kristus yang melakukan sesuatu tanpa pedulikan asalnya.
Rumah Bersama
Papua itu rumah bersama. Tanah air bersama. Tanah leluhur tanpa mengenal batas diskriminasi rasial. Disini rumah sumber segala kehidupan dan keselamatan hidup bagi siapa saja.
Jangan kita merasakan surganya orang asing dan nerakanya pribumi. Namun mari, jadikan rumah kehidupan dan keselamatan kita bersama. Dengan menjadikan katolik sebagai tali, pagar dan pintu kesejukan, kedamaian dan kebahagiaan sejati dari Allah.
Mari menjadi katolik Papua, walaupun berdarah Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTT, NTB dan lainnya, tetapi berhati dan berjiwa besar untuk manusia dan tanah Papua. Bahkan melampaui orang pribumi Papua sendiri.
Katolik Papua yang sebenar-benarnya bagi saya adalah menjadikan suka duka umat adalah suka duka gereja katolik. Juga menjadikan suka duka sesama adalah suka duka bersama.
Bahkan suka duka orang migran Papua adalah suka duka orang pribumi Papua. Atau sebaliknya, suka duka kaum pribumi Papua adalah suka duka kaum migran di Papua. Bagi saya demikian, kalau bicara gereja katolik Papua yang sebenar-benarnya.*