Oleh : Gembala Dr. Socratez Yoman
Ada seorang guru Sekolah Dasar di Papua memberikan nama putra pertama Obeth Petrus Mote.
Pada suatu hari anak ini meminta kepada ayahya untuk dibuatkan mainan layang-layang. Orang tuanya menuruti permintaan putra pertama yang bernama Obeth Petrus Mote.
Setelah ayahnya buatkan layang-layang ini dan pada sayap layang-layang itu ditulis OPM singkatan dari nama putranya, yaitu Obeth Petrus Mote.
Pada sore hari, Obeth Petrus Mote dengan sangat senang pergi bermain layang-layang itu di halaman rumah dan layang-layangnya itu putus talinya dan terbang jatuh persis atau tepatnya di depan hamaman kantor Koramil. Komandan dan anggota Koramil pegang layang-layang itu dan juga tahan anak ini, karena ada tulisan OPM pada layar layang-layang itu. Orang tua Obeth datang marah-marah kepada
Komandan dan anggota Koramil di Pos karena anaknya ditahan.
Komandannya sampaikan kepada pak guru ini. “Anda, jangan macam-macam, karena Anda mendidik anakmu menjadi anggota OPM.”
Pak guru membantah. “Pak Komandan, saya ini guru NKRI bukan guru OPM. Lepaskan anak saya.”
Komandan sampaikan alasan penangkapan dan penahanan anaknya. “Pak guru, kami tangkap anakmu dan tahan dia karena ada tulisan OPM di sayap layang-layang ini.”
Pak guru menjawab: “Oh…maaf pak Komandan, ini singkatan dari nama anak saya. Nama anak saya ini Obeth Petrus Mote dan selalu dipanggil OPM.”
Pesan moral:
Sebagian besar rakyat Indonesia menilai bahwa semua orang asli Papua terbelakang, tertinggal, tidak punya budaya. Orang-orang yang tidak punya martabat kemanusiaan dan orang-orang yang “jahat”, karena selama 58 sejak 1 Mei 1963-2021 ini penguasa Indonesia membuat mitos-mitos/stigma negatif tentang Orang Asli Papua, yaitu OPM, separatis, makar, kkb, dan teroris. Jangan menilai yang tampak di depan, tapi pelajari lebih dalam dan hati-hati untuk mengerti akar persoalan di Papua.
Saudara-saudara Indonesia jangan salah menilai dan jangan melihat kami rendah karena kami berkulit hitam dan rambut keriting, tetapi darah kami tidak putih, darah kami tidak kuning dan berwana coklat, darah kami merah seperti darah orang Melayu dan bangsa-bangsa lain di bumi. Anda juga adalah gambar Allah yang unik dan kami juga gambar yang sama uniknya (Kejadian 1:26).
Kesetaraan adalah cita-cita kami. Menghargai martabat kemanusiaan adalah doa dan harapan kami. Kami mau hidup harmoni dan penuh kedamaian dengan sesama sebagai manusia merdeka dan berdaulat, tetapi bukan sebagai bangsa budak.
Selamat menikmati. Tuhan memberkati.
Ita Wakhu Purom, Selasa, 12 Oktober 2021