Oleh : Yoseph Yapi Taum*)
Malam 10 Mei 1933. Langit Berlin dilumuri asap memerah menandai ritual mantra api. Pidato kebencian Herbert Gutjahr (23)—pemimpin mahasiswa NAZI—menjadi mantra pembuka, “Kami serahkan semua jiwa non-Jerman ke dalam api. Yang lama hancur bersama bara, yang baru akan muncul dari cahaya di dalam hati kami!” Ribuan buku dilemparkan ke dalam kobaran api. Api pun menyambar dan membakar ribuan buku disaksikan 70 ribu manusia yang kerasukan roh keji nasional-sosialisme. Ketika malam bertambah malam, para peserta berwajah sangar mengelilingi api unggun sambil merapalkan mantra api: “Kamilah api, kamilah nyala//Kami kubur jiwa non-Jerman di altar//Kami menabuh genderang keliling negeri//Kami tiupkan terompet perang”.
Sastrawan Christian Johann Heinrich Heine, yang karyanya ikut dibakar, dengan gundah menulis, “Where they have burned books, they will end in burning human beings!” (Ketika orang membakar buku, pada akhirnya mereka juga akan membakar manusia). Ramalan Heinrich Heine pun terbukti. Beberapa tahun kemudian, dimulailah pembantaian massal jutaan orang Yahudi yang dikenang dunia sebagai Holocaust, sebuah kebiadaban genosida terbesar dalam sejarah umat manusia. Mantra api pemusnah buku menjadi catatan hitam sejarah dari masa ke masa (Fernando Baez, 2013).
Pemusnahan buku di Indonesia sudah terjadi sejak masa penjajahan, masa Jepang, masa Orde Lama, dan mencapai puncak kejayaannya di era pemerintahan otoriter Orde Baru. Pembakaran buku dan manusia pun terjadi secara massal di seluruh negeri dalam regim militerisrik ini. Orang-orang yang dituduh PKI dibantai tanpa ampun. Tanpa pengadilan. Penderitaan jutaan keluarga bukan urusan pemerintah. Pemerintah cuci tangan!
Era reformasi adalah hasil perjuangan rakyat yang kecewa terhadap sistem pemerintahan otoritarianisme Orde Baru. Rakyat menginginkan ruang bagi kebebasan berpikir, berpendapat, berorganisasi. Di era reformasi, ketika fantasi kita tentang kebebasan baru mulai bersemi, ternyata mantra api kembali ditiupkan penguasa. Tanggal 5 Maret 2007, Kejaksaan Agung melarang 13 buku dari 10 penerbit. Tanggal 22 Desember 2009 Jaksa Agung RI kembali melarang lima buku. Tahun 2010, buku Gurita Cikeas mendapat kecaman istana (yang waktu itu dihuni Presiden SBY).
Di Era Jokowi, sensor buku masih menjadi ironi. Meskipun tidak seburuk era pemerintahan sebelumnya, kecaman “kelompok masyarakat” dan “oknum aparat” yang merazia dan melarang diskusi buku serta pemutaran film masih memprihatinkan. Buku Harry A Poeze (2014) berjudul Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia gagal diluncurkan. Pasca Pengadilan Rakyat Internasional (International People’s Tribunal) untuk korban pembantaian masal 1965 di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015 dan Simposium Nasional “Membedah Tragedi 1965: Pendekatan Kesejarahan” tiba-tiba di seantero negeri mencuat kembali issu kebangkitan komunisme untuk meniupkan api. Sekelompok paranoid muncul merazia buku-buku kiri, pelarangan pemutaran film kiri, dan simbol-simbol komunis seperti palu arit dan lagu-lagu yang dipopulerkan PKI.
Mantra Penawar Api
Mengapa orang membakar buku, menghancurkan perpustakaannya, hingga membakar orang yang membuat buku tersebut? Fernando Baez (2013) memberikan sebuah jawaban yang meyakinkan, yaitu kebencian ideologi (politik, etnis, dan religius). Kebencian adalah pemicu penggunaan mantra api yang paling mematikan. Ketika status quo dan hegemoni ideologi penguasa tersenggol, kebencian pun ditaburkan ke jantung rakyat untuk menarik dukungan. “Mereka menabuh genderang keliling negeri//Mereka meniupkan terompet perang”. Jika api ini disambut rakyat, tersulutlah kebencian dan kemarahan itu menjadi bara yang membakar.
Akan tetapi Marthin Luther King Jr. memberikan mantra penawar api: kebijakan, kasih, dan damai sejahtera. “Gelap tidak bisa mengusir gelap. Hanya terang yang bisa. Kebencian tidak bisa melawan kebencian. Hanya cinta yang bisa!”