I
Gugupmu
Dengan gugupmu menerjemahkan
dalam pikiran sang mentari, bahwa semua peristiwa itu, berasal dari padamu
Meskipun kau menutup wajahmu dengan selembar kain hitam di wajahmu
Gugupmu, aku tahu,
kalau setiap peristiwa yang menimpa sahabat mentariku
Kau adalah dalang dari setiap kematian sahabat mentariku
di negeri kecil itu
(2017)
II
Suratku Untuk Sayangku
Sayangku,
dengan ini aku datang padamu,
dalam jiwa yang masih pedih sujud memanggilmu
di atas tanganmu, aku bermesrahan denganmu,
kalau aku duduk bersamanya, aku tumbang, walau dalam pelukanmu, sayangku
Sayangku,
dengan hati yang pilu, aku menatapmu
bahwa aku terlena dalam lubang singa
yang takkan perna puas karena ia berkuasa
Sayangku,
di bawah telapak kaki dan tanganmu,
mengalir darah seperti yang telah mengalir dari pintumu
di sini, sahabat doma disembeli dengan pisau
Sayangku,
dari lubuk hati yang paling dalam, aku sampaikan padamu
lewat sepucuk surat ini, bahwa sampai saat ini, aku masih terasa dihina oleh saudaraku
Sayangku, aku kekasihmu
dengan surat ini, aku sampaikan kepadamu
beperkaralah padaku, peluklah aku,
beri daku air kedamaian padaku
berakhirlah sudah atas korban-korbanku
Sayangku,
demikian suratku, aku buat dengan sunguh-sungguh kepadamu
Aku berharap, kau dapat membaca suratku
Ku ucapkan terima kasih, sayangku
Salam sayang dariku, untukmu
(2017)
III
BUAYA
Buaya terasa hamil. Sesak dalam perut. Matahari yang silam kembali lahir. Bulan yang silam, juga kembali terlahir. Sebentar lagi, embun-embun menyosong kelahirannya. Tadi pagi, buaya itu telah muntahkan kehamilannya. Kulihat, itu muntah darah. Kupikir, ia ingin melahirkan bayinya. Namun bukan bayi. Tapi buaya itu muntahkan amarah pada sahabatnya. Kulihat, itu barusan ia menembak burung-burung itu jatuh dari pohon, mereka terbaring tenang bersama daun-daun yang telah berlalu. Yang ada, tangisan meratap sang sabda.
Buaya besar itu, masih menelan buaya kecil hingga kini, di negeri itu.
(2017)