Oleh: Andy Tagihuma
Munculnya undang-undang pelestarian dan perlindungan alam di Indonesia saat ini, memiliki sejarah panjang dan sudah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda. Praktik pelestarian alam di zaman Belanda tidak dapat terlepas dari dua peristiwa di tahun 1714.
Saat itu Chastelein mewariskan dua bidang tanah persil seluas 6 hektare di Depok kepada para pengikutnya untuk digunakan sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat). Chastelein mengharapkan agar kawasan tersebut bisa dipertahankan, tidak dipergunakan sebagai areal pertanian.
Selanjutnya, pada 1889 berdasarkan usulan Direktur Lands Plantentuin (Kebun Raya) Bogor, kawasan hutan alam Cibodas ditetapkan sebagai tempat penelitian flora pegunungan, yang kemudian diperluas hingga pegunungan Gede dan Pangrango pada 1925.
Wacana konservasi kembali muncul pada akhir abad 19, tepatnya pada 1896. Saat itu pemerintah kolonial Belanda mendapat tekanan dari luar Hindia Belanda tentang penyelundupan burung cenderawasih secara liar.
Pada tahun-tahun tersebut, cenderawasih dipakai sebagai hiasan (mode) yang tren di Eropa dan setiap tahunnya sekitar 10.000 sampai 30.000 ekor per tahun burung cenderawasih diselundupkan ke Eropa. Tak heran bila pedagang seperti Dumas (pedagang dari Jerman [?]) menetap di Pulau Debi, Hollandia (kini Jayapura), Papua, untuk mengumpulkan cenderawasih untuk dibawa ke Eropa.
Sejarah juga mencatat, para pedagang Cina datang ke Papua untuk mencari cenderawasih selain komoditi lainnya. Zending pada awal tahun 1900 turut melarang perdagangan cenderawasih, dalam Koloniale Studièn 1920.
Di situ ditulis bahwa pada tahun 1898 sebanyak 35 ribu cenderawasih dijual di pasar London, Inggris. Tahun 1904 sampai 1908 jumlah cenderawasih yang masuk ke London sebanyak 155 ribu ekor, ke Perancis sekitar 1.200.000 ekor.
Total penjualan burung cenderawasih selama 1820-1938 ke seluruh Eropa ditaksir kurang dari tiga juta ekor. Pada saat itu, seorang entomolog amatir, M.C. Piepers, yang juga mantan pegawai Departemen Hukum Hindia Belanda mengusulkan agar tindakan perlindungan burung cenderawasih dan beberapa flora dan fauna lainnya yang terancam punah.
Ia menyarankan agar dibuat suatu taman nasional seperti Yellowstone National Park, yang secara resmi melindungi spesies-spesies terancam punah. Perdagangan burung-burung cenderawasih tersebut kemudian melahirkan Undang-Undang Perlindungan Mamalia Liar dan Burung Liar yang dikeluarkan pada 1910.
Undang-undang ini kemudian berlaku di seluruh Indonesia. Kemudian pada tahun 1931 diterbitkan Undang Undang Perlindungan Margasatwa Nomor 266 Tahun 1931 (termasuk di dalamnya perlindungan terhadap cenderawasih).
Setahun kemudian, 1932, diterbitkan Natuur Monumenten Ordonantie atau Ordonansi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. Ordonansi ini kemudian diterbitkan oleh Peraturan Perlindungan Alam. Pada tahun tersebut mulai dimungkinkan adanya kegiatan di kawasan konservasi dengan izin, misalnya, berburu di taman alam.
Di masa pemerintah Indonesia merdeka, telah dibuat Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Alam dan Ekosistem dengan ancaman kurungan penjara 20 tahun dan denda Rp 200 juta bagi siapa pun yang menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memelihara, memiliki, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup atau mati.
Kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 23/1997 tentang Lingkungan, yang menyebutkan, barang siapa menangkap, memelihara, memperniagakan dan menyimpan burung dan bagian-bagiannya dapat diancam dengan hukuman penjara maksimum penjara 5 tahun dan denda Rp 100 juta.
Sayangnya undang-undang yang menjamin kelangsungan hidup cenderawasih ini belum dilaksanakan dengan tegas, meski Pemerintah Provinsi Papua secara resmi menerbitkan larangan penggunaan burung cenderawasih sebagai cenderamata dan aksesoris, sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor 660.1/6501/SET tertanggal 5 Juni 2017, tentang larangan penggunaan Burung Cenderawasih asli sebagai aksesoris dan cinderamata.
Jadi, setiap acara seremonial di Papua tidak diperbolehkan menggunakan burung cenderawasih asli kecuali tiruan atau imitasi.
Sudah selayaknya, baik orang-orang terpelajar, maupun tidak terpelajar, untuk menghentikan eksploitasi cenderawasih dengan alasan apapun. Seharusnya yang tidak buta huruf juga dapat memahami, bahwa cenderawasih dilindungi dan tidak untuk diperdagangkan. (*)
Penulis adalah penggiat sastra di Komunitas Sastra Papua