Gemilang Perda Gubernur

Kopi papua
Ilustrasi kopi - foto/istimewa

Oleh: Lonki Makai

Sudah tiga hari Dominkus di pondok, tempat usahanya. Tempat depan rumah papannya. Sebuah pondok papan dengan atap daun sagu.

Di sini ia menyediakan aneka makanan dan minuman sederhana. Ada mie rebus, mie goreng, teh, kopi, dan kopi susu, serta rokok dan barang lainnya yang layak dijual.

Istrinya yang tukang kredit prihatin melihat kesehatan Dominkus, yang menurut dokter tidak bisa lagi bekerja yang berat-berat.

Sebelumnya Dominkus bekerja di PT PELNI sebagai kuli angkut. Kalau tidak sedang bekerja, dia jadi tukang urus akperan kayu di sebuah sawmill industry lokal, milik pengusaha liar.

Dominkus sekarang sudah buka usaha sendiri. Istrinya yang memberi modal untuk Dominkus. Sejuta untuk buka usaha di rumah.

Gunawan, tetangga depan rumah Dominkus itu sudah tiga hari belakangan duduk-duduk di pondok itu bila siang hari. Gunawan yang tukang bangunan itu sedang tidak ada kerja.

Bacaan Lainnya

Daripada bermenung di rumah, daripada duduk sendiri bersempit-sempitan, lebih baik duduk bersama berlapang-lapang bersama Dominkus.

Setiap kali Gunawan ke sana selalu didatangi istrinya, Sumid.

Siang itu, Sumid baru saja menerima telepon dari adiknya di Timika. Sumid  langsung menghampiri pondok yang sampai hari ketiga belum juga ada satu pun pembeli. Orang pribumi saat berdagang memang jarang dapat langganan.

Gunawan sedang termenung di kursi pondok. Sedangkan Dominkus juga termenung di kursi yang satu lagi.

Belum sempat duduk, Sumid ditimpali Dominkus.

“Tidak perlu lagi kau ceritakan tentang kehidupan sanak-saudara kau yang bekerja di Timika itu. Bosan aku. Setiap kau ke sini, itu terus cerita kau,” kata Dominkus bangkit dari ketermenungannya.

Sebenarnya, sebelum Dominkus berjualan, Sumid sudah sering main ke rumah Dominkus. Mengobrol dan bersenda gurau dengan istri Dominkus, Yohana, bila Sumid sedang di rumah siang hari.

Obrolannya macam-macam. Tapi selalu ada yang menyerempet kepada kehidupan sanak saudaranya di Timika.

Sumid kakak-beradik empat orang. Dua perempuan dan dua laki-laki. Dari Jakarta ia merantau ke Papua melalui jalur migrasi.

Kakak laki-laki Sumid yang bekerja di PT Freeport Timika bernama Doni membawa semua adiknya untuk tinggal di Timika. Itu untuk membantu usaha sampingannya.

Jika kelak sudah bisa mandiri, adik-adiknya itu diharapkan bisa pula membuka usaha sendiri.

Sudah lima belas tahun Doni hidup di Timika, sedangkan adik-adiknya sudah sepuluh tahun. Mereka punya toko masing-masing.

Setiap kali mendengar cerita Sumid tentang sanak-saudaranya di Timika, Yohana selalu mengernyitkan kening. Bukan tak percaya, melainkan karena cerita itu dilebih-lebihkan dan diputar berulang-ulang.

Doni sudah punya istri dan anak. Sudah punya rumah, mobil.

Adik-adiknya sudah pula berkeluarga dan punya usaha masing-masing. Cerita itu diputar secara mendetail dan lengkap dengan lika-likunya.

Sumid selalu bilang, ”Begitu orang merantau, sedang kamu asli sini, kok belum punya usaha.”

Perkataan Sumid seperti sedang merendah dan menggurui. Maklumlah,  Yohana tidak punya sanak di rantau atau menjadi pengusaha di Jakarta. Jika ia menyela Sumid takut nanti dibilang iri.

Rupanya cerita-cerita seperti itu tidak diceritakan kepada Yohana saja. Dominku, suami Yohana, pun sudah mendengar cerita Sumid yang selalu berulang-ulang.

Tentu saja Dominkus acuh saja ketika Sumid mulai duduk di sebelah suaminya, pada siang yang terik itu.

“Tidak perlulah cerita-cerita masalah perantauan lagi. Sekarang masalahnya sudah tiga hari aku berjualan, belum ada orang yang membeli jualanku,” kata Dominkus, seraya membatasi cerita Sumid.

“Selama kau duduk di sini, juga suamimu, tidak pernah membeli jualanku. Sekarang belilah jualanku. Kopi atau teh sudah cukup. Tanda pelaris saja,” lanjut Dominkus.

Mendengar kata begitu dari Dominkus, Gunawan hanya manggut-manggut dan tidak mengeluarkan kata-kata apa pun. Lalu ia melihat wajah istrinya. Sumid hanya senyam-senyum. Memandang rendah.

“Aku tidak mengopi, Dominkus,” kata Sumid.

“Ya, lakimu, masa tidak ngopi. Atau teh?”

“Tidak biasa dia minum kopi siang hari, Dominkus. Dia kalau minum kopi, pagi dan malam saja.”

Dominkus hanya mendehem. Maklum. Dia sudah begitu kenal watak Sumid.

Istri Gunawan itu pandai benar hidup berhemat, kalau tidak boleh dibilang pelit. Uang hasil jerih payah suaminya dimanfaatkan sebaik-baiknya. Misal beli tempat tidur, kursi sofa, keramik rumah, ataupun mengganti atap rumah yang bocor. Masalah selera Sumid termasuk pelit juga.

Tak pernah Dominkus melihat perempuan itu membeli kue ke warung, atau memanggil pedagang gerobak yang lewat di depan rumahnya.

Lagi pula, di pekarangan rumah, apa pun yang tumbuh, pasti berbuah dan menghasilkan uang. Jambu air berbuah jadi uang. Dijual ke pasar. Sampai daun kunyit untuk menggulai, jika ada orang yang meminta, dia menyuruh untuk beli saja. Lima helai daun kunyit saja harus dibayar seribu rupiah.

Dominkus lalu memilih diam. Sedang tak ingin mengobrol, sebab Gunawan sudah pula mengobrol dengannya tadi. Bosan.

“Kalau begitu aku pulang saja, Dominkus,” kata Sumid sembari mengajak suaminya pulang.

“Tidak asyik Dominkus kini,” katanya lagi ketika sudah lima meter dari pondok.

Selepas Gunawan dan istrinya pulang ke rumahnya, Dominkus masih termenung di pondok. Pandangannya mengarah ke jalan, kepada kendaraan yang melintas satu per satu.

Angin menyepoi, membuat Dominkus ngantuk. Pikirannya mengarah tak tentu. Apa yang Dominkus bayangkan?

Sementara Dominkus termenung, melaju pelan mobil-mobil plat merah di jalan. Kemudian menepi. Dan benar-benar berhenti.

Dominkus kaget. Apa gerangan yang terjadi? Tiga mobil dinas itu menepi tepat di depan pondoknya.

Pintu-pintu mobil pun dibuka. Keluar pejabat-pejabat dari mobil. Dua laki-laki gimbal berjenggot tipis. Serta perempuan mimik wajah rupawan. Bodi aduhai. Baju dasternya batas betis. Itu ciri khas perempuan asli Papua.

Dominkus jadi tambah kaget, semua pejabat itu berjalan mengarah ke pondoknya. Dominkus sedikit tegang ketika pejabat-pejabat itu duduk seorang demi seorang di kursi pondoknya. Hampir saja tak muat andai Dominkus tidak mengeluarkan tiga buah kursi dari dalam rumahnya.

Mereka semua terhitung 14 orang jumlahnya. Pesan macam-macam. Ada yang pesan mie rebus, ada yang mie goreng. Ada juga yang pesan teh, kopi hitam, atau kopi susu.

Saking gembiranya, Dominkus panjar sebungkus rokok di rak papan. Sudah tiga hari dia tidak merokok. Ia mengeluarkan sebatang. Lalu dengan sigap membakarnya.

Dominkus membuatkan minuman. Namun, dia merasa kaget bukan main ketika melihat gelasnya tidak cukup. Ia cari ke dalam rumah. Dapat dua gelas. Masih kurang dua gelas lagi.

Dominkus menggeleng kepala. Dia berpikir, dia harus bagaimana? Dia buatkan dulu teh dan kopi dengan gelas yang tersedia.

Terbit di kepalanya untuk meminjam gelas kepada Sumid tetangganya. Batinnya, “Pinjam gelas Sumid saja.”

Segera dia berlari menyeberangi jalan menuju rumah Sumid.

Dia panggil nama Gunawan. Lalu nama Sumid. Lama memanggil. Tapi tidak ada sahutan.

Dominkus terus memanggil mereka. Masih dengan nada pelan. Akhirnya Sumid keluar dengan wajah yang malas.

“Ada apa, Dominkus?” Tanya Sumid di depan pintu yang terbuka.

“Aku hanya hendak meminjam gelasnya. Dua buah, boleh?” Jawab Dominkus dengan wajah yang tergesa-gesa.

“Tidak bisa, Dominkus! Gelasku baru dibeli. Nanti kotor,” kata Sumid.

“Gelas lama yang ingin aku pinjam. Lagi pula, nanti kan dicuci.”

“Gelas lamaku sudah pecah semua,” kata Sumid acuh, lalu beranjak ke dalam rumah. Meninggalkan Dominkus yang berdiri dengan muka yang nampak iba.

Dominkus kembali menyeberangi jalan, menuju pondoknya dengan perasaan tak enak. Bermacam-macam pikirannya tentang Sumid.

Tapi dia mencoba meredakan pikiran bermacam-macam itu. Dia takut berburuk sangka.

Perasaannya jadi takut salah. Takut kalau pejabat-pejabat yang sudah duduk di pondoknya kesal. Bahkan marah. Ini orang mau beli kok, malah keluyuran.

Maka Dominkus pun menyatakan hal yang dialaminya terus-terang bahwa gelasnya kurang dua. Untuk sementara dua pejabat ditunda dulu minum tehnya. Untuk dua pejabat yang belum dapat teh, menunggu dua pejabat yang makan mie dulu. Dua gelas yang makan mie dengan air putih itu yang akan dipakai buat teh nanti.

Lalu Dominkus segera menyalakan LPG dan mulai memasak mie. Sedang Dominkus merebus air di dandang sambil menghisap rokok, seorang pejabat perempuan yang duduk di kursi ujung sebelah kiri berkata, ”Buatkan saja dulu teh untuk dua laki-laki ini, biar kami yang lain ini minum air bergantian gelasnya.”

Dominkus terharu. Ia merasa diperhatikan dan terbantu. Maka, dia pun mulai membuatkan teh untuk dua pejabat itu.

“Enak juga orang Papua kalau jualan, orang Papua datang beli.”

Begitu lamunan perempuan yang sama-sama pejabat tadi. Kemudian Dominkus memotong lamunan mereka.

“Tuan-puan ini dari mana?” Tanya Dominkus santun seraya membuatkan mereka teh.

“Aku dari Merauke, sebelah yang tinggi-tinggi ini dari Wamena, terus yang jenggot ini dari Paniai, dan mace bahenol ini dari Yahukimo. Tapi kami semua ini masih bersaudara. Maksudnya sebagai orang asli Papua,” pace dari Merauke memperkenalkan mereka pada saudara yang satu ini, pewaris tradisi Puyaka, Pak Dominkus.

Lalu Dominkus tahu kemudian, bahwa mereka adalah rombongan bupati yang diutus gubernur sebagai panitia khusus peraturan daerah atau pansus perda.

Habis mengunjungi Kali Biru, Genyem, mereka melintas di pinggir Danau Sentani. Danau dipenuhi bukit yang bergulung. Pemandangannya bagai surga.

Tentu mereka jalan meloloskan misi Peraturan Daerah Berdayakan Pangan Lokal Pribumi, sebagai upaya untuk mengembangkan ekonomi masyarakat asli Papua.

Di sini dibagi persen dengan ajak produk lokal, ubi, saku, kopi, kacang, dan lainnya. Dengan itu jalur ekspor pun terbuka lebar. Cukup menjamin. Masyarakat mudah bangun relasi dagang. Bayangkan saja.

Pejabat-pejabat tadi yang mampir di pondok Dominkus sudah pergi. Dalam hatinya tak henti-henti ia bersyukur. Hatinya membesar, kecil, berkedip. Senang dan haru jadi satu. Mengalir bagai sungai.

Sementara dia sedang menghitung uang, terdengar dari sebelah, Sumid dan suaminya, Gunawan, bertengkar di teras rumah.

“Mengapa pintu dapur kau biarkan terbuka, Mas?” Kata Sumid dengan suara yang keras, membentak-bentak.

“Aku tidak tahu kalau ada sayur di dapur, Mak.” Balas Gunawan, suami Sumid yang tak kalah kerasnya.

“Sumid, sayur baru aku ambil di belakang. Masalahnya bukan sayur. Sayur itu masalah sepele. Dan bisa diambil lagi. Masalahnya gelas-gelasku pecah ditanduk oleh sapi itu.”

“Piring juga pecah?” Kata Gunawan pura-pura bertanya.

“Tentu iya lah. Piring dan gelas satu tempat juga.”

Setelah itu mereka jalani hidup seperti biasa. Dominkus sibuk jualan. Sumid mengomel karena jualannya kadang tidak laku.

Lambat laun, ekonomi keluarga pak Dominkus meningkat. Melihat itu. Sumid dan suaminya, Gunawan kecewa.

Lama-kelamaan, Gunawan menjadi bosan dengan keadaan seperti ini. Lalu melakukan perpindahan wilayah. Pindah kota.

Namun semua pintu usaha telah dikuasai oleh orang Papua sendiri melalui Perda BPLP Gubernur Papua. Akhirnya Gunawan dan Sumid, istri Gunawan pulang ke tanah asal mereka di Jakarta.

Bukan soal mustahil, setidaknya boleh dicoba. []

Berikan Komentar Anda

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.